Lelaki kurus berpostur jangkung ini ternyata jago silat. Tapi melihat penampilannya yang sederhana dan sedikit pemalu, tak banyak orang tahu kalau Syahru, kelahiran Asir-Asir 23 Mai 1987 adalah salah seorang atlit silat yang dipersiapkan untuk PON nanti dari Aceh.
Syahru mengenakan jaket parasut menahan udara dingin Takengon, saat datang ke Batas Kota di suatu sore pertengahan bulan Nopember. Beberapa orang wartawan sudah menunggu kehadiran Syahru untuk wawancara.
Sambil tersenyum. Syahru menyalami para wartawan. Syahru bukan orang asing bagi wartawan di Takengon. Karena di Kota kecil yang dingin ini, mereka yang berprestasi akan dikenal. Isu dari mulut ke mulut akan cepat berkembang. Apakah isu positif maupun negatif. Masyarakat gayo menilai seseorang dari ucapan dan tindakan.
Syahru menekuni silat sejak masih duduk di Madrasah Tsanwiyah Boom Takengon. Kecintaan Syahru pada silat semakin mendalam saat merasakan silaturrahmi yang kuat di olah raga silat asli Indonesia ini.
“Silat itu mencari sahabat, bukan musuh”, ulas Syahru. Matanya menerawang memandangi jalanan Takengon-Bireuen didepan kantin. Sementara dua wartawan yang jujur bejejer di kursi bar Kantin terus menunggu kelanjutan ceritanya sambil dudu berjejer.
Selepas MTsN Boom, Syahru melanjutkan ke sekolah khusus bagi olahragawan Aceh di Kutereje, sebutan warga gayo untuk Banda Aceh. Sekolah ini disebut Diklat Olahraga Tunas Bangsa. Seperti anak mata panah yang dilepaskan dari busurnya. Seperti peluru yang dilepas dari larasnya, Syahru terus melesat jauh.
Berbagai prestasi diraihnya baik di tingkat regional maupun Sumatera. Demikian juga kisah kekalahannya dalam pertandingan silat. “Pertama bertanding saya langsung kalah. Ternyata demikian sulit mencari poin untuk sebuah kemenangan”, tutur Syahru.
Sadar akan kekalahan di pengalaman pertama itu, Syahru memacu diri dengan meningkatkan latihan fisik dan tehnik silat yang telah dipelajarinya. Syahru mulai mengukir prestasi seiring waktu dengan kesungguhannya itu.
Bahkan dimasa Darurat Militer Aceh, Syahru memenangkan piala tetap Siliwangi . Tsunami yang menerjang Aceh beberapa tahun silam, membuat Syahru harus Pulkam karena rusaknya sarana dan prasarana Diklat di Banda Aceh.
Syahru mulai menjajaki prestasi paling bergengsi di Aceh dengan Pekan Olah Raga Daerah (Porda). Porda Takengon, Syahru meraih medali perak kelas F Putra. Di kelas yang sama, Syahru mencatatkan namanya dengan medali emas pada Porda Bireuen lalu.
Pengalaman menjadi atlit, membuat Syahru sadar bahwa silat bukanlah tujuan hidupnya. Tapi bagian dari penyaluran bakat dan hobinya. Sementara hidup harus tetap berlangsung. “Kita tidak bisa hidup dari silat. Harus ada pekerjaan”, kata Syahru.
Apalagi di Takengon, tambahnya. Penghargaan pada atlit berprestasi sangat rendah dan cenderung diabaikan meski sering mengharumkan nama daerah di tingkat luar kabupaten. “Banyak atlit yang berprestasi, setelah tidak lagi menjadi atlit, harus mencari penghidupan dengan sangat miris. Ada yang jadi tukang becak atau bekerja serabutan”, ucap Syahru dengan nada tersekat.
Syahru terdiam. Demikian juga wartawan yang meliputnya. Suasana sejenak sepi. Meski Terompet Kenny G yang melantunkan ‘The Moment” mengalir lambat dari komputer kantin. Tak ingin berlama-lama dengan suasana sendu itu, Mahyadi, dari sebuah harian terbitan Aceh, member beberapa pertanyaan pada Syahru demi mencairkan suasana yang membeku.
Di Tahun 2007, Syahru coba mengubah nasib. Dia yang ingin mengabdi sebagai hamba hokum, coba mendaftar ikut tes masuk polisi. Saat itu, kenang Syahru, dia berada di posisi sangat sulit. Betapa tidak, saat lamarannya menjadi polisi sudah dilayangkan, pada saat yang sama, Syahru juga diikutkan sebagai atlit Pra PON mewakili Aceh di Padepokan Silat TMII.
Syahru kemudian harus menerima dua konsekwensi dari dua pilihan itu. Nama Syahru Mubarak dikeluarkan dari atlit Pra PON Aceh . Sementara menjadi perwira polisipun dia gagal. Tapi Syahru menerima kedua konsekwensi itu dengan tegar. Setegar menahan pukulan dan tendangan saat bertanding.
Syahru kemudian melayangkan lamaran menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Takengon karena menyadari tak bisa hidup dari silat yang belum dihargai sesuai prestasi. “Tapi lamaran saya menjadi anggota Satpol PP juga kandas”, katanya sambil tersenyum getir.
Sakitnya tidak dihargai meski mengharumkan nama daerah, papar Syahru, suatu hari, dia pernah membungkus baju silatnya dan akan diberikan kepada sahabatnya sesama atlit silat dan berniat berhenti sebagai petarung.
“Tapi nilai silaturrahmi, persaudaraan yang kuat membuat saya tidak bisa meninggalkan silat”, ungkap Syahru terharu. Sebagai atlit silat yang masuk pelatihan Pra PON, Syahru menilai semua atlit untuk PON adalah yang terbaik dan punya kesempatan yang sama menjadi juara.
“Target saya menampilkan yang terbaik dengan prestasi terbaik. Kalau sudah mandi harus basah sekalian”, sebut Syahru sangat tegas. Setegas gerakannya. Kini Syahru sudah masuk di semester VII pada Fakultas Tehnik Universitas Gajah Putih Takengon.
Anak bontot dari Sembilan bersaudara dan tidak merokok ini patut berbangga karena mampu membiayai sendiri kuliahnya tanpa merepotkan keluarganya. “Meski saya sering meninggalkan bangku kuliah untuk bertanding, saya percaya dan berharap , masa depan saya akan lebih baik nantinya”, pungkas Syahru Mubarak yang baru kehilangan sang Bapak sambil pamitan untuk kuliah (Win RB/02)
Lanjutkan perjuanganmu teman, jangan berhenti walaupun pernah gagal untuk yg ke 99 karena mungkin Allah menyimpan kesuksesanmu di Angka ke 100.. Cayooo My best friend