B
12/8/2018 pada 20:20
Lihin Lg
Minggu
Fotoni Ari Salman yoga
Sekretariat PKA-7 ATeng
Kemarin
Zulfikar:SENIN 13 Agustus 2018 1. Panggung Apresiasi Taman Ratu Syafiatuddin Ada 5 jenis eksebisi permainan rakyat, sesuai juknis. 3. Lomba Jalo ( Adu Perau) Jam : 08:30 - 11:30 Lokasi : Jembatan Lamnyong Darussalam 2. Lomba Melukis Jam 10:00 - 18:00 Lokasi : Taman Bustanus Salatin (Taman Sari) 3. Seminar Budaya Jam 08:00 -17:00 Lokasi : Anjung Mon Mata Peserta : Nama peserta seminar Budaya 1. Dr. Joni, 2.Iwan Asri, 3. Salman Yoga, 4. Bachtiar Gayo, 5. Mustafa, S.Pd, 6. Zahara Zakaria,
Joni
Kemarin
Salman kutarengen nome ilenne sine ke Gere irungu Mera Gere inget te ya
Alma Madhyana
Kemarin
Nama : Alma Madhyna Alfarasi Ttl : Takengon ,17 Januari 2000 Anak ke : 3 , dari pasangan Ayah : Salman Alfarasi Ibu: Ainal Mardiah Sekarang kegiatan saya masih kuliah kak di universitas medan area jurusan psikologi pak Alhamdulillah saya sering mengikuti ajang ajang peragaan busana / fashion show pak seperti - fashion show peragaan muslimah , best catwalk - 10 besar putri bunga thn 2010 - finalis 5 besar duta wisata aceh tengah - putri batik aceh tengah 2015
Alma Madhyana
Kemarin
Tulisanya udah siap, tinggal menunggu data Iwan. Terima kasih ananda. Aceh Tengah Raih Juara Dua Lomba Busana di PKA Banda Aceh |Aceh Tengah kembali meraih juara dalam Pekan Kebudayaan Aceh. Kali ini disumbangkan pasangan Iwan Ramadhan dan Alma Madhyana Alfarisi. Jaka dan dara Gayo meraih juara dua lomba busana yang dilangsungkan di Anjung Mon Mata (pendopo Gubernur Aceh), Minggu (12/8/2018) malam. Dalam peragaan busana kabupaten dari Gayo lebih mendominasi. Selain Aceh Tengah, kabupaten Gayo lues dan Bener Meriah juga masuk dalam klasifikasi enam besar. Juara pertama diraih Aceh Selatan, disusul Aceh Tengah, Aceh Besar. Gayo Lues berada diperingkat ke 4, dibawahnya Banda Aceh, baru Bener Meriah diperingkat 6. “Alhamdulilah, kerja keras semua pihak membuahkan hasil. Walau kita berada diurutan ke dua, namun kita sudah berupaya maksimal,” sebut Uswatuddin, ketua kontingen PKA Aceh Tengah, kepada media, Senin (13/8/2018) pagi di Banda Aceh. Iwan Ramadhan merupakan anak pasangan .......... Iwan berpasangan dengan Alma dalam peragaan busana adat di event PKA ini. Alma gadis kelahiran Takengon, 17 Januari 2000, merupakan pasangan Salman Alfarisi- Ainal Mardiah, penduduk Jalan Lintang, Genesha Baru, Aceh Tengah. Gadis dengan penampilan anggun ini, kini sedang menempa ilmu di Universitas Medan Area, jurusan Psikologi. Gadis peramah dan murah senyum ini, memang memiliki hobi dalam persoalan busana. Dia sering ikut fashion show peragaan muslimah. Pada tahun 2010, ketika itu usianya menjelang 11 tahun, dia masuk 10 besar putrid bunga. Pernah menjadi finalis 5 duta wisata Aceh Tengah. Bahkan Alma meraih juara 3 putri batik yang diselenggarakan di Banten. Pasangan Win dan Ipak Gayo ini sangat serasi ketika mengenakan pakaian adat kebesaran Gayo dengan motif kerawangnya. “Terima kasih dukungan semua pihak, sehingga kamu mampu melakukan yang terbaik untuk negeri ini. Event ini menjadi pengalaman yang sangat berharga,” sebut Alma.
Sekretariat PKA-7 ATeng
Kemarin
Aceh Tengah Raih Juara Dua Lomba Busana di PKA Banda Aceh | Gadis cantik dan pemuda ganteng dari Gayo Lut mengharumkan nama Aceh Tengah di Pekan Kebudayaan Aceh. Pasangan win dan ipak ini meraih juara dua lomba busana dengan pakaian khas Kerawang Gayo, yang dilangsungkan di Anjung Mon Mata (pendopo Gubernur Aceh), Minggu (12/8/2018) malam. Iwan Ramadhan dan Alma Madhyana Alfarisi, sudah berusaha maksimal untuk mendapatkan juara satu, namun mereka kalah tipis dengan pasangan dari Aceh Selatan. Jaka dan dara Gayo ahirnya berada di posisi kedua. Dalam peragaan busana kabupaten dari Gayo lebih mendominasi. Selain Aceh Tengah, kabupaten Gayo lues dan Bener Meriah juga masuk dalam klasifikasi enam besar. Juara pertama diraih Aceh Selatan, disusul Aceh Tengah, Aceh Besar. Gayo Lues berada diperingkat ke 4, dibawahnya Banda Aceh, baru Bener Meriah diperingkat 6. “Alhamdulilah, kerja keras semua pihak membuahkan hasil. Walau kita berada diurutan ke dua, namun kita sudah berupaya maksimal,” sebut Uswatuddin, ketua kontingen PKA Aceh Tengah, kepada media, Senin (13/8/2018) pagi di Banda Aceh. Iwan Ramadhan merupakan anak kedua dari pasangan M. Rasyid dengan Tri Syam, penduduk Ujung Gergung, Aceh Tengah. Iwan baru saja menyelesaikan pendidikan di SMA 1 Takengon. Pria kelahiran 19 Desember 2000 ini, baru pertama kali mengikuti lomba busana. “Diluar dugaan, saya terkejut, karena baru kali ini mengikuti lomba busana dan levelnya langsung untuk PKA. Alhamdulilah, kami mendapatkan juara dua,” sebut Iwan ketika diminta keteranganya. Remaja ini merencanakan akan melanjutkan pendidikanya di Universitas yang ada di Banda Aceh. Berbeda dengan Iwan, pasanganya dalam peragaan busana, sudah banyak merasakan asam garam dalam dunia fashion. Alma Madhyana Alfarisi, gadis kelahiran Takengon, 17 Januari 2000, sudah sering mengikuti perlombaan busana. Anak dari pasangan Salman Alfarisi- Ainal Mardiah, penduduk Jalan Lintang, Genesha Baru, Aceh Tengah, terlihat anggun. Kini dia sedang menempa ilmu di Universitas Medan Area, jurusan Psikologi. Gadis peramah dan murah senyum ini, memang memiliki hobi dalam persoalan busana. Dia sering ikut fashion show peragaan muslimah. Pada tahun 2010, ketika itu usianya menjelang 11 tahun, dia masuk 10 besar putri bunga. Pernah menjadi finalis 5 duta wisata Aceh Tengah. Bahkan Alma, meraih juara 3 putri batik yang diselenggarakan di Banten. Pasangan Win dan Ipak Gayo ini sangat serasi ketika mengenakan pakaian adat kebesaran Gayo dengan motif kerawangnya. “Terima kasih dukungan semua pihak, sehingga kami mampu melakukan yang terbaik untuk negeri ini. Event ini menjadi pengalaman yang sangat berharga,” sebut Alma. Pasangan ini telah menunjukan karyanya dengan Kerawang Gayo, bahwa negeri di pedalaman Aceh, diantara awan dalam pelukan gunung menyimpan sejuta pesona. Bukan hanya alamnya yang indah, manusianya yang ramah, namun budayanya terkenal luhur. (Tim PKA AT)
Mushumas
Kemarin
Aceh Tengah Raih Juara Dua Lomba Busana di PKA Banda Aceh | Gadis cantik dan pemuda ganteng dari Gayo Lut mengharumkan nama Aceh Tengah di Pekan Kebudayaan Aceh. Pasangan win dan ipak ini meraih juara dua lomba busana dengan pakaian khas Kerawang Gayo, yang dilangsungkan di Anjung Mon Mata (pendopo Gubernur Aceh), Minggu (12/8/2018) malam. Iwan Ramadhan dan Alma Madhyana Alfarisi, sudah berusaha maksimal untuk mendapatkan juara satu, namun mereka kalah tipis dengan pasangan dari Aceh Selatan. Jaka dan dara Gayo ahirnya berada di posisi kedua. Dalam peragaan busana kabupaten dari Gayo lebih mendominasi. Selain Aceh Tengah, kabupaten Gayo lues dan Bener Meriah juga masuk dalam klasifikasi enam besar. Juara pertama diraih Aceh Selatan, disusul Aceh Tengah, Aceh Besar. Gayo Lues berada diperingkat ke 4, dibawahnya Banda Aceh, baru Bener Meriah diperingkat 6. “Alhamdulilah, kerja keras semua pihak membuahkan hasil. Walau kita berada diurutan ke dua, namun kita sudah berupaya maksimal,” sebut Uswatuddin, ketua kontingen PKA Aceh Tengah, kepada media, Senin (13/8/2018) pagi di Banda Aceh. Iwan Ramadhan merupakan anak kedua dari pasangan M. Rasyid dengan Tri Syam, penduduk Ujung Gergung, Aceh Tengah. Iwan baru saja menyelesaikan pendidikan di SMA 1 Takengon. Pria kelahiran 19 Desember 2000 ini, baru pertama kali mengikuti lomba busana. “Diluar dugaan, saya terkejut, karena baru kali ini mengikuti lomba busana dan levelnya langsung untuk PKA. Alhamdulilah, kami mendapatkan juara dua,” sebut Iwan ketika diminta keteranganya. Remaja ini merencanakan akan melanjutkan pendidikanya di Universitas yang ada di Banda Aceh. Berbeda dengan Iwan, pasanganya dalam peragaan busana, sudah banyak merasakan asam garam dalam dunia fashion. Alma Madhyana Alfarisi, gadis kelahiran Takengon, 17 Januari 2000, sudah sering mengikuti perlombaan busana. Anak dari pasangan Salman Alfarisi- Ainal Mardiah, penduduk Jalan Lintang, Genesha Baru, Aceh Tengah, terlihat anggun. Kini dia sedang menempa ilmu di Universitas Medan Area, jurusan Psikologi. Gadis peramah dan murah senyum ini, memang memiliki hobi dalam persoalan busana. Dia sering ikut fashion show peragaan muslimah. Pada tahun 2010, ketika itu usianya menjelang 11 tahun, dia masuk 10 besar putri bunga. Pernah menjadi finalis 5 duta wisata Aceh Tengah. Bahkan Alma, meraih juara 3 putri batik yang diselenggarakan di Banten. Pasangan Win dan Ipak Gayo ini sangat serasi ketika mengenakan pakaian adat kebesaran Gayo dengan motif kerawangnya. “Terima kasih dukungan semua pihak, sehingga kami mampu melakukan yang terbaik untuk negeri ini. Event ini menjadi pengalaman yang sangat berharga,” sebut Alma. Pasangan ini telah menunjukan karyanya dengan Kerawang Gayo, bahwa negeri di pedalaman Aceh, diantara awan dalam pelukan gunung menyimpan sejuta pesona. Bukan hanya alamnya yang indah, manusianya yang ramah, namun budayanya terkenal luhur. (Tim PKA AT)
Sekretariat PKA-7 ATeng
Kemarin
Zulham:
Joni
Kemarin
1. Bahtiar Gayo, Mustafa, S.Pd. 3.Iwan Asri, 4. Zahara zakaria, 5. Salman Yoga, 6.Joni
Pesan
WARTAWAN GAY0
6/7/2018
Irwandi:http://leuserantara.com/teror-petugas-medis-reje-karang-bayur-diadukan-ke-dprk/
Acehnese
30/7/2018
Pemred:Debat terbuka ulama FPI dan Ansor ttg Islam Nusantara Jakarta - Di Cianjur, Jawa Barat, pada hari Sabtu 28 Juli 2018 mulai pukul 22 : 30 WIB digelar Munazhoroh atau debat terbuka antara FPI dan Ansor di Ponpes Hibatussa'diyyah, Pimp KH. Cepy Hibatullah. Kyai Salman, Lc, selaku narasumber pertama dari kubu pro Islam Nusantara menyampaikan bahwa Islam Nusantara bukanlah mazhab baru akan tetapi Isnus adalah konsep beragama Islam Ahlusunnah wal Jamaah yang santun, ramah dan mengedepankan pendekatan budaya dalam dakwah, sebagaimana hal ini terwujud di nusantara sejak berabad-abad yang lalu. Sementara itu, Habib Hanif Alathas, Lc. sebagai Ketua Umum FSI menyampaikan materi menggunakan power point dengan judul " Islam Nusantara, antara Konsep dan Realita " di awal pemaparannya beliau sampaikan bahwa dalam menilai Islam Nusantara jangan sampai tertipu dengan bungkus dan teori, namun kita juga harus melihat kepada substansi dan realita yang ada. Beliau memaparkan bahwa jika melihat konsep tertulis yang ditawarkan, khususnya yang dirumuskan dalam hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur di Malang, yaitu Islam Nusantara adalah ajaran Ahlusunnah wal Jamaah yang anti Radikal dan Liberal, juga Syiah dan Wahabi, dengan cara dakwah yang sopan santun serta mengedepankan akhkaqul karimah, Maka defenisi ini sangat bagus dan menarik. Namun realita dan fakta di lapangan membuktikan sebaliknya, Islam nusantara dibajak oleh kelompok Liberal untuk mengkampanyekan kebencian kepada Arab. Di samping itu, Isnus juga kerap dijadikan kendaraan untuk meligitimasi ajaran-ajaran yang menyimpang seperti Rofidhoh, Liberalisme, Pluralisme bahkan sampai Komunisme, juga banyak tokoh-tokoh Isnus menganggap ajaran Islam seperti Cadar, Gamis, Jenggot, dll sebagai BUDAYA ARAB, bahkan menebar kebencian kepada para Habaib. Untuk membuktikan ini semua Habib Hanif menampilkan fakta tak terbantahkan berupa tampilan video-video pernyataan nyeleneh para petinggi Islam Nusantara, seperti KH Said Agil Siroj, KH Yahya Kholil Tsaquf, Ulil Abshar Abdalah, Dll. Bahkan menariknya, beliau sekaligus membantah semua statemen nyeleneh para petinggi Isnus dengan nukilan-nukilan dari berbagai Karya Hadhrotusyekh KH Hasyim Asy'ari, sehingga nampak jelas bahwa berbagai kengawuran yang nampak dari tokoh-tokoh tersebut pada hakikatnya adalah penyimpangan terhadap koridor yang telah digariskan pendiri NU. Beranjak dari hal tersebut, Habib Hanif menuturkan bahwa ada kesenjangan yang begitu dalam antara teori yang indah dan fakta yang menyakitkan sehingga beliau mengatakan " Jangan sampai Islam Nusantara ini seperti sarden babi cap onta , bungkusnya menarik namun isinya rusak, beda jauh " Habib Hanif dalam hal ini juga meminta maaf kepada moderator karena waktu persentasi beliau melebihi durasi yang disediakan, karena khawatir jika dipotong akan menjadikan pemahamannya rancu, sebab pemahaman yang keliru lebih bahaya dari sekedar melewati waktu karenanya Habib Hanif juga mempersilahkan manakala pihak pro Islam Nusantara ingin diberikan waktu tambahan, agar adil. Dalam sesi tanggapan, Kyai Salman mengutarakan bahwa Habib Hanif telah keluar dari Tema Islam Nusantara, beliau lebih fokus kepada pemikiran-pemikiran negatif KH. Said Agil Siroj, padahal Said Agil hanya salah satu dari Pengusung Islam Nusantara. Habib Hanif dengan lugas menjawab bahwa dia tidak sama sekali keluar dari tema, justru judul materi beliau adalah Membandingkan Islam nusantara antara konsep dan realita yang ada, KH Said Agil adalah pemilik Ide Islam Nusantara ( Beliau menunjukkan Video pengakuan Said Agil bahwa ISNUS adalah Idenya) sehingga statemen-statemen beliau menjadi cerminan dari Islam Nusantara itu sendiri, ini yang menjadi persepsi umum. Andai kata yang mengucapkan semua statemen adalah soerang santri maka tidak akan menjadi masalah, namun yang mengucapkan adalah para petinggi PBNU, maka akan menjadi representasi dari Islam Nusantara itu sendiri. Habib Hanif melanjutkan bahwa lain halnya jika PBNU langsung membantah pernyataan-pernyataan yang nyeleneh ini dan menyatakan bahwa i…
Sekretariat PKA-7 ATeng
2/8/2018
B:https://steemit.com/esteem/@rahmadsanjaya/aceh-tengah-ready-to-follow-the-pka-7-parade-fcc0c9c47cdb2
Sekretariat PKA-7 ATeng
2/8/2018
+62 852-6018-6607:Mantaap ketua
Sekretariat PKA-7 ATeng
2/8/2018
Zulham:
Sekretariat PKA-7 ATeng
2/8/2018
Uswatudin:
Sekretariat PKA-7 ATeng
2/8/2018
+62 852-7704-6892:
Mushumas
5/8/2018
Gajah Putih Dan Bendera Kerajaan Linge Ramaikan Pawai PKA Banda Aceh | Gayo yang memiliki nilai sejarah di Aceh, pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke- 7, dipercayakan mengarak gajah putih dan kuda, memeriahkan pawai yang diperkirakan akan diikuti sekitar 2.500 peserta. Gajah putih yang kini menjadi lambang Kodam Iskandar Muda, berasal dari Gayo. Untuk menghormati asal muasal gajah putih ini, pada PKA ke 7, Gayo Lut dipercayakan untuk membawa gajah keliling kota Banda Aceh, bersama 5 ekor kuda. Menurut ketua panitia PKA Aceh Tengah, Uswatin, segala persiapan untuk pawai yang akan dilaksanakan Senin (6/8/2018), negeri Gayo akan berupaya tampil maksimal. “Gajah putih dan penunggangnya dengan pakaian adat kerawang Gayo, sudah siap menyemarakkan PKA,” sebutnya. Menurut Salman Yoga, yang akan menunggangi gajah putih lengkap dengan pakaian adat Gayo, ketika diminta tanggapanya, menyatakan sudah siap untuk menunjukan kebesaran Gayo.” Saya sudah latihan menaiki gajah. Alhamdulilah gajah yang saya tunggangi ternyata dia tahu bahwa dia akan ditunjukan ke publik sebagai gajah kebesaran Aceh, yang berasal dari Gayo”. Gaja putih dan kuda Gayo akan disalupi dengan pakaian kerawang Gayo. Bahkan joki cilik dari dengan menunang kuda membawa bendera kerajaan Linge yang akan diarak keliling Banda Aceh. “ Ketika saya menungangi gajah, selain memperkenalkan gajah putih, saya akan membacakan titah kerajaan Linge kepada sultan Aceh,” sebut Salman Yoga. Demikian dengan penunggang kuda, tambah M. Joni, ketua seksi pawai budaya dan mobil hias. “Lima penunanggang kuda dengan pakaian kebesaran adat Gayo, sudah siap untuk ditampilkan. Khusus untuk mobil hias, Gayo Lut akan memunculkan ciri khasnya.” Ciri khas yang dimaksud Joni, mobil itu akan dihias dengan rumah sfesifik Gayo (supu serule). Rumah dengan atapnya terbuat dari daun serule, yang merupakan daun khas berasal dari Gayo. Peserta pawai dari Aceh Tengah yang berjumlah 100 orang semuanya mengenakan pakaian kerawang Gayo. Jadi bukan hanya gajah dan kuda yang dibungkus dengan kerawang Gayo, namun peserta pawai semuanya mengenakan kerawang Gayo, sebut Uswatuddin, menambahkan. ( Tim Humas PKA AT)
Sekretariat PKA-7 ATeng
5/8/2018
Gajah Putih Dan Bendera Kerajaan Linge Ramaikan Pawai PKA Banda Aceh | Gayo yang memiliki nilai sejarah di Aceh, pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke- 7, dipercayakan mengarak gajah putih dan kuda, memeriahkan pawai yang diperkirakan akan diikuti sekitar 2.500 peserta. Gajah putih yang kini menjadi lambang Kodam Iskandar Muda, berasal dari Gayo. Untuk menghormati asal muasal gajah putih ini, pada PKA ke 7, Gayo Lut dipercayakan untuk membawa gajah keliling kota Banda Aceh, bersama 5 ekor kuda. Menurut ketua panitia PKA Aceh Tengah, Uswatin, segala persiapan untuk pawai yang akan dilaksanakan Senin (6/8/2018), negeri Gayo akan berupaya tampil maksimal. “Gajah putih dan penunggangnya dengan pakaian adat kerawang Gayo, sudah siap menyemarakkan PKA,” sebutnya. Menurut Salman Yoga, yang akan menunggangi gajah putih lengkap dengan pakaian adat Gayo, ketika diminta tanggapanya, menyatakan sudah siap untuk menunjukan kebesaran Gayo.” Saya sudah latihan menaiki gajah. Alhamdulilah gajah yang saya tunggangi ternyata dia tahu bahwa dia akan ditunjukan ke publik sebagai gajah kebesaran Aceh, yang berasal dari Gayo”. Gaja putih dan kuda Gayo akan disalupi dengan pakaian kerawang Gayo. Bahkan joki cilik dari dengan menunang kuda membawa bendera kerajaan Linge yang akan diarak keliling Banda Aceh. “ Ketika saya menungangi gajah, selain memperkenalkan gajah putih, saya akan membacakan titah kerajaan Linge kepada sultan Aceh,” sebut Salman Yoga. Demikian dengan penunggang kuda, tambah M. Joni, ketua seksi pawai budaya dan mobil hias. “Lima penunanggang kuda dengan pakaian kebesaran adat Gayo, sudah siap untuk ditampilkan. Khusus untuk mobil hias, Gayo Lut akan memunculkan ciri khasnya.” Ciri khas yang dimaksud Joni, mobil itu akan dihias dengan rumah sfesifik Gayo (supu serule). Rumah dengan atapnya terbuat dari daun serule, yang merupakan daun khas berasal dari Gayo. Peserta pawai dari Aceh Tengah yang berjumlah 100 orang semuanya mengenakan pakaian kerawang Gayo. Jadi bukan hanya gajah dan kuda yang dibungkus dengan kerawang Gayo, namun peserta pawai semuanya mengenakan kerawang Gayo, sebut Uswatuddin, menambahkan. ( Tim Humas PKA AT)
Sekretariat PKA-7 ATeng
5/8/2018
Sek:
Mushumas
5/8/2018
Gajah Putih Dan Bendera Kerajaan Linge Ramaikan Pawai PKA Banda Aceh | Gayo yang memiliki nilai sejarah di Aceh, pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke- 7, dipercayakan mengarak gajah putih dan kuda, memeriahkan pawai yang diperkirakan akan diikuti sekitar 2.500 peserta. Gajah putih yang kini menjadi lambang Kodam Iskandar Muda, berasal dari Gayo. Untuk menghormati asal muasal gajah putih ini, pada PKA ke 7, Gayo Lut dipercayakan untuk membawa gajah keliling kota Banda Aceh, bersama 5 ekor kuda. Menurut ketua panitia PKA Aceh Tengah, Uswatudin, segala persiapan untuk pawai yang akan dilaksanakan Senin (6/8/2018), negeri Gayo akan berupaya tampil maksimal. “Gajah putih dan penunggangnya dengan pakaian adat kerawang Gayo, sudah siap menyemarakkan PKA,” sebutnya. Menurut Salman Yoga, yang akan menunggangi gajah putih lengkap dengan pakaian adat Gayo, ketika diminta tanggapanya, menyatakan sudah siap untuk menunjukan kebesaran Gayo.” Saya sudah latihan menaiki gajah. Alhamdulilah gajah yang saya tunggangi ternyata dia tahu bahwa dia akan ditunjukan ke publik sebagai gajah kebesaran Aceh, yang berasal dari Gayo”. Gaja putih dan kuda Gayo akan disalupi dengan pakaian kerawang Gayo. Bahkan joki cilik dari dengan menunang kuda membawa bendera kerajaan Linge yang akan diarak keliling Banda Aceh. “ Ketika saya menungangi gajah, selain memperkenalkan gajah putih, saya akan membacakan titah kerajaan Linge kepada sultan Aceh,” sebut Salman Yoga. Demikian dengan penunggang kuda, tambah Joni, ketua seksi pawai budaya dan mobil hias. “Lima penunanggang kuda dengan pakaian kebesaran adat Gayo, sudah siap untuk ditampilkan. Khusus untuk mobil hias, Gayo Lut akan memunculkan ciri khasnya.” Ciri khas yang dimaksud Joni, mobil itu akan dihias dengan rumah sfesifik Gayo (supu serule). Rumah dengan atapnya terbuat dari daun serule, yang merupakan daun khas berasal dari Gayo. Peserta pawai dari Aceh Tengah yang berjumlah 100 orang semuanya mengenakan pakaian kerawang Gayo. Jadi bukan hanya gajah dan kuda yang dibungkus dengan kerawang Gayo, namun peserta pawai semuanya mengenakan kerawang Gayo, sebut Uswatuddin, menambahkan. ( Tim Humas PKA AT)
Sekretariat PKA-7 ATeng
5/8/2018
Gajah Putih Dan Bendera Kerajaan Linge Ramaikan Pawai PKA Banda Aceh | Gayo yang memiliki nilai sejarah di Aceh, pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke- 7, dipercayakan mengarak gajah putih dan kuda, memeriahkan pawai yang diperkirakan akan diikuti sekitar 2.500 peserta. Gajah putih yang kini menjadi lambang Kodam Iskandar Muda, berasal dari Gayo. Untuk menghormati asal muasal gajah putih ini, pada PKA ke 7, Gayo Lut dipercayakan untuk membawa gajah keliling kota Banda Aceh, bersama 5 ekor kuda. Menurut ketua panitia PKA Aceh Tengah, Uswatudin, segala persiapan untuk pawai yang akan dilaksanakan Senin (6/8/2018), negeri Gayo akan berupaya tampil maksimal. “Gajah putih dan penunggangnya dengan pakaian adat kerawang Gayo, sudah siap menyemarakkan PKA,” sebutnya. Menurut Salman Yoga, yang akan menunggangi gajah putih lengkap dengan pakaian adat Gayo, ketika diminta tanggapanya, menyatakan sudah siap untuk menunjukan kebesaran Gayo.” Saya sudah latihan menaiki gajah. Alhamdulilah gajah yang saya tunggangi ternyata dia tahu bahwa dia akan ditunjukan ke publik sebagai gajah kebesaran Aceh, yang berasal dari Gayo”. Gaja putih dan kuda Gayo akan disalupi dengan pakaian kerawang Gayo. Bahkan joki cilik dari dengan menunang kuda membawa bendera kerajaan Linge yang akan diarak keliling Banda Aceh. “ Ketika saya menungangi gajah, selain memperkenalkan gajah putih, saya akan membacakan titah kerajaan Linge kepada sultan Aceh,” sebut Salman Yoga. Demikian dengan penunggang kuda, tambah Joni, ketua seksi pawai budaya dan mobil hias. “Lima penunanggang kuda dengan pakaian kebesaran adat Gayo, sudah siap untuk ditampilkan. Khusus untuk mobil hias, Gayo Lut akan memunculkan ciri khasnya.” Ciri khas yang dimaksud Joni, mobil itu akan dihias dengan rumah sfesifik Gayo (supu serule). Rumah dengan atapnya terbuat dari daun serule, yang merupakan daun khas berasal dari Gayo. Peserta pawai dari Aceh Tengah yang berjumlah 100 orang semuanya mengenakan pakaian kerawang Gayo. Jadi bukan hanya gajah dan kuda yang dibungkus dengan kerawang Gayo, namun peserta pawai semuanya mengenakan kerawang Gayo, sebut Uswatuddin, menambahkan. ( Tim Humas PKA AT)
Sekretariat PKA-7 ATeng
6/8/2018
B:http://lintasgayo.co/2018/08/06/pka-ke-7-gayo-tunjukkan-eksistensinya-dengan-menampilkan-gajah-putih-dan-bendera-reje-linge
Kontak
Salman Fisipol
Jika hidupmu tak bisa seindah harapanmu.. Minimal jangan rusak hidupmu... Dengan harapan yang buruk..
Salman St
Tetap tercurah nikmat Mu ya Allah untuk Ine ni kami
Mushumas
6/8/2018
Reje Linge Ingin Kembalikan Kejayaan Negeri Gajah Putih kini kembali menjadi pembahasan di Aceh, bahkan nasional. Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang saat ini sedang dilangsungkan, telah membuat harta yang terpendam di bumi Aceh itu (gajah putih), kembali menjadi trend. Gajah putih kini menjadi simbol Kodam Iskandar Muda. Semua kisah sejarah ini berasal dari pedalaman Aceh, bumi Gayo, bumi Linge tempat asal muasalnya gajah ini. Reje (raja) linge memberikan persembahan kepada sultan Aceh berupa seekor gajah perkasa, berwarna putih. Pada pawai PKA ke -7, Senin (6/8) di Blang Padang Banda Aceh, negeri asal Gajah ini, menyuguhkan parade gajah putih yang diiringi 5 ekor kuda. Kejayaan masa lalu itu diulang Aceh Tengah, ketika Reje Linge menyampaikan titah kepada sultan Aceh. Salman Yoga, seorang penyair yang juga dosen dipercayakan sebagai reje Linge yang menunggangi gajah menyampaikan titah kepada Sultan. Salman dalam syair yang dibacakanya menukilkan kisah Sultan Alaidin Johansyah menaklukan Putroe Neng (Nio Niang Lingke). Bagaimana ketulusan dan bersihnya hati reje linge mempersembahkan gajah putih yang datang dari ranting dan merahnya buah kopi. Reje Linge berharap kesejukan negeri, kedamaian rakyat, serta sehatnya para pemimpin dan yang paling esensial adalah mengembalikan kejayaan negeri ini. Salman merangkum syair syairnya dari nukilan sejarah itu. Aman Renggali ini, bukan hanya ingin menunjukkan bahwa gambar di bahu kiri TNI yang bertugas di Aceh, asal muasalnya dari Gayo. Ayah empat anak ini juga menyampaikan, gajah putih menjadi roh kekuatan untuk mengembalikan kejayaan negeri. Alumnus UIN Sumatra Utara saat meraih gelar MA ini juga mengirimkan pesan, bagaimana andilnya Gayo dalam membangun tatanan kerajaan Aceh di masa lalu. Peranan Linge tidak bisa dilupakan dari sejarah Aceh, karena Linge-lah Aceh ini berkibar. Satu kehormatan diberikan kepada seniman Gayo ini, saat dia menungangi gajah dalam pawai PKA ke 7. Aceh kembali membahas hewan tambun dengan belalai dan gadingnya. Datanglah kau gajah putih, negeri Linge memberikan persembahan. Kembalikan kejayaan negeri ini. Gajah putih rohnya Aceh. Kodam Iskandar Muda sudah menabalkanya bagian dari uniform kesatuan. Persatuan dan kedamaian Aceh ada jiwa kerajaan Linge di dalamnya. Mari kembalikan kejayaan negeri ini. Tim Humas PKA AT
Sekretariat PKA-7 ATeng
6/8/2018
Reje Linge Ingin Kembalikan Kejayaan Negeri Gajah Putih kini kembali menjadi pembahasan di Aceh, bahkan nasional. Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang saat ini sedang dilangsungkan, telah membuat harta yang terpendam di bumi Aceh itu (gajah putih), kembali menjadi trend. Gajah putih kini menjadi simbol Kodam Iskandar Muda. Semua kisah sejarah ini berasal dari pedalaman Aceh, bumi Gayo, bumi Linge tempat asal muasalnya gajah ini. Reje (raja) linge memberikan persembahan kepada sultan Aceh berupa seekor gajah perkasa, berwarna putih. Pada pawai PKA ke -7, Senin (6/8) di Blang Padang Banda Aceh, negeri asal Gajah ini, menyuguhkan parade gajah putih yang diiringi 5 ekor kuda. Kejayaan masa lalu itu diulang Aceh Tengah, ketika Reje Linge menyampaikan titah kepada sultan Aceh. Salman Yoga, seorang penyair yang juga dosen dipercayakan sebagai reje Linge yang menunggangi gajah menyampaikan titah kepada Sultan. Salman dalam syair yang dibacakanya menukilkan kisah Sultan Alaidin Johansyah menaklukan Putroe Neng (Nio Niang Lingke). Bagaimana ketulusan dan bersihnya hati reje linge mempersembahkan gajah putih yang datang dari ranting dan merahnya buah kopi. Reje Linge berharap kesejukan negeri, kedamaian rakyat, serta sehatnya para pemimpin dan yang paling esensial adalah mengembalikan kejayaan negeri ini. Salman merangkum syair syairnya dari nukilan sejarah itu. Aman Renggali ini, bukan hanya ingin menunjukkan bahwa gambar di bahu kiri TNI yang bertugas di Aceh, asal muasalnya dari Gayo. Ayah empat anak ini juga menyampaikan, gajah putih menjadi roh kekuatan untuk mengembalikan kejayaan negeri. Alumnus UIN Sumatra Utara saat meraih gelar MA ini juga mengirimkan pesan, bagaimana andilnya Gayo dalam membangun tatanan kerajaan Aceh di masa lalu. Peranan Linge tidak bisa dilupakan dari sejarah Aceh, karena Linge-lah Aceh ini berkibar. Satu kehormatan diberikan kepada seniman Gayo ini, saat dia menungangi gajah dalam pawai PKA ke 7. Aceh kembali membahas hewan tambun dengan belalai dan gadingnya. Datanglah kau gajah putih, negeri Linge memberikan persembahan. Kembalikan kejayaan negeri ini. Gajah putih rohnya Aceh. Kodam Iskandar Muda sudah menabalkanya bagian dari uniform kesatuan. Persatuan dan kedamaian Aceh ada jiwa kerajaan Linge di dalamnya. Mari kembalikan kejayaan negeri ini. Tim Humas PKA AT
Sekretariat PKA-7 ATeng
6/8/2018
Joni:mantap
Sekretariat PKA-7 ATeng
7/8/2018
Zulham: Mantab Bg Bahtiar
Lihin Lg
7/8/2018
Reje Linge Ingin Kembalikan Kejayaan Negeri Gajah Putih kini kembali menjadi pembahasan di Aceh, bahkan nasional. Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang saat ini sedang dilangsungkan, telah membuat harta yang terpendam di bumi Aceh itu (gajah putih), kembali menjadi trend. Gajah putih kini menjadi simbol Kodam Iskandar Muda. Semua kisah sejarah ini berasal dari pedalaman Aceh, bumi Gayo, bumi Linge tempat asal muasalnya gajah ini. Reje (raja) linge memberikan persembahan kepada sultan Aceh berupa seekor gajah perkasa, berwarna putih. Pada pawai PKA ke -7, Senin (6/8) di Blang Padang Banda Aceh, negeri asal Gajah ini, menyuguhkan parade gajah putih yang diiringi 5 ekor kuda. Kejayaan masa lalu itu diulang Aceh Tengah, ketika Reje Linge menyampaikan titah kepada sultan Aceh. Salman Yoga, seorang penyair yang juga dosen dipercayakan sebagai reje Linge yang menunggangi gajah menyampaikan titah kepada Sultan. Salman dalam syair yang dibacakanya menukilkan kisah Sultan Alaidin Johansyah menaklukan Putroe Neng (Nio Niang Lingke). Bagaimana ketulusan dan bersihnya hati reje linge mempersembahkan gajah putih yang datang dari ranting dan merahnya buah kopi. Reje Linge berharap kesejukan negeri, kedamaian rakyat, serta sehatnya para pemimpin dan yang paling esensial adalah mengembalikan kejayaan negeri ini. Salman merangkum syair syairnya dari nukilan sejarah itu. Aman Renggali ini, bukan hanya ingin menunjukkan bahwa gambar di bahu kiri TNI yang bertugas di Aceh, asal muasalnya dari Gayo. Ayah empat anak ini juga menyampaikan, gajah putih menjadi roh kekuatan untuk mengembalikan kejayaan negeri. Alumnus UIN Sumatra Utara saat meraih gelar MA ini juga mengirimkan pesan, bagaimana andilnya Gayo dalam membangun tatanan kerajaan Aceh di masa lalu. Peranan Linge tidak bisa dilupakan dari sejarah Aceh, karena Linge-lah Aceh ini berkibar. Satu kehormatan diberikan kepada seniman Gayo ini, saat dia menungangi gajah dalam pawai PKA ke 7. Aceh kembali membahas hewan tambun dengan belalai dan gadingnya. Datanglah kau gajah putih, negeri Linge memberikan persembahan. Kembalikan kejayaan negeri ini. Gajah putih rohnya Aceh. Kodam Iskandar Muda sudah menabalkanya bagian dari uniform kesatuan. Persatuan dan kedamaian Aceh ada jiwa kerajaan Linge di dalamnya. Mari kembalikan kejayaan negeri ini. (Rel)
Lihin Lg
7/8/2018
Aku sara kamar rum.salman yoga akati kenge wan kamar ejeb upload kecuali aku ideret.
Lihin Lg
7/8/2018
Salman nipe kupen Gere Sur we kin co ni tapi Gere kukunei hana masalah he.
Lihin Lg
7/8/2018
salman ari jemen mi lagu noya pak, gere sur dor peren ne..
Joni
8/8/2018
“Penyair Di Atas Gajah Putih” “Datanglah kau gajah putih, negeri Linge memberikan persembahan. Kembalikan kejayaan negeri ini”. Suara yang datang dari atas gajah putih, dengan pakaian kebesaran kerawang Gayo, melengking ke udara. Hadirin terdiam. Pawai budaya Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7 yang dipersembahkan Aceh Tengah mampu menghipnotis. Mereka terbawa larut, bahkan bulu sukmanya “terbangun”, ketika syair syair indah yang dilantunkan Salman Yoga dari atas gajah putih menggema di udara. Persembahan dari ranting dan buah kopi yang memerah di negeri di balik awan ini mengingatkan hadirin akan peranan kerajaan Linge dalam mendirikan kerajaan megah di Aceh, sebuah kerajaan yang diakui dunia, Aceh Darussalam. Saya dan Salman merupakan tim PKA Aceh Tengah. Walau berbeda seksi yang ditangani, namun panitia menempatkan kami satu kamar. Sebagai tim dari Gayo Lut, saya membantu sebisa yang saya bantu, walau itu bukan tugas saya. Merinding bulu di tubuh saya, ketika Salman memeluk saya di lapangan Blang Padang menjelang pawai. “Bang, abang orang tua kami. Penuh harapan, abang harus membantu. Persoalan pawai ini saya serahkan kepada abang. Jaga marwah Gayo,” sebut Salman sebelum menaiki gajah putih. Onot Kemara, Dr Joni, yang ketika itu berada di samping saya, juga menaruh harapan penuh kepada saya, agar menyukseskan pawai PKA atas nama kontingen Aceh Tengah. Karena hanya saya sendiri di sana yang bukan peserta pawai, jadi saya bisa “mengurus” berbagai sisi yang diperlukan. Peluh keringat yang mengalir disekujur tubuh saya saat sengatan matahari menyambar, semuanya terasa nikmat saya rasakan. Alhamdulilah kepercayaan mendadak yang diberikan kepada saya, untuk melobi panitia dan keperluan lainya, diberikan Allah jalan terbaik. Ketika tim Aceh Tengah bergerak melakukan pawai, saya pandangi, tanpa terasa menetas air mata saya. Rasa bahagia tersemat di dalamnya. Terima kasih ya Allah, daku telah kau pertemukan dengan manusia yang ihlas berbuat untuk daerahnya.
Mushumas
8/8/2018
Wanita Tangguh Gayo Ada Di Sengkaran Utem Bagaimana bila Anda akan dibawa menikmati suasana hutan? Suara alam di rimba raya, kicauan burung, gemericik air, desau angin diantara pepohonan. Anda juga disuguhkan dengan tarian 7 wanita cantik. Angin akan membelai tubuh Anda. Kaki akan tersentak mengikuti irama. 7 wanita cantik dengan pakaian kerawang Gayo, menggerakan tanganya, lemah gemulai dan lincah mengikuti irama. Uniknya, irama itu terlahir dari kumpulan alat musik yang sangat sederhana. Sengaja dibuat agar nampak natural dengan alam. Itulah kemampuan Aceh Tengah, dalam menyuguhkan yang terbaik untuk PKA ke-7. Ana Kobath, sang pelatih tari, mengambarkan bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam menyikapi hidup. Wanita yang menyisir hutan, semak belukar untuk mendapatkan kayu bakar. “Nenek kita, orang tua kita dulu, bagaimana gigihnya mencari kayu bakar ke dalam hutan. Kayu itu dikumpulkan, sebagian dipergunakan untuk sendiri, sebagian lagi dijual guna memenuhi kebutuhan hidup. Sungguh sosok wanita Gayo itu tangguh. Itulah filosofi tari sengkaran utem ini,” sebut Ana Kobath, menjawab Pers, Rabu (8/8/2018) menjelang tampilnya Aceh Tengah di Taman Budaya Banda Aceh. Ide tari itu muncul, kata Ana, terinspirasi dari buku karya Salman Yoga “Perempuan Berjangkat Utem”. 7 wanita yang dipilih Ana Kobath untuk berperan sebagai kaum ibu tangguh Gayo, bukanlah mereka yang sudah berumur. Namun penarinya masih remaja, masih duduk dibangku sekolah. Tari ini diiringi musik kreasi yang juga unik. Ada gerantung (lonceng kerbau yang terbuat dari bambu). Ada bambu yang sengaja dikemas mengeluarkan suara gemercik air. Teritit (suara memanggil burung) juga ikut ambil bagian. Gegedem dan kanvas didong tidak ketinggalan. Ada musik modern menyertai berupa gitar dan keyboard. Untuk suara alam di tengah hutan muncul dari alat musik kayu (biji ridu). Alat musik ini panjang hampir 1,5, bagian bawah lebih besar dari bagian atas yang dipergunakan untuk ditiup. Ada lubang tembus ditengahnya, sehingga mengeluarkan suara dari dalam hutan. Musik kreasi dikemas Edy Ranggayoni menjadi kesatuan musik yang serasi dan mampu mengikuti gerak tari “Sengkaran Utem”. Anak artis Gayo ini (Sakdiah), sudah lama menekuni dunia musik, sehingga dia hafal betul dengan suara yang keluar dari setiap benda yang ikut diperlombakan ini. Dalam memainkan musiknya, Edy dibantu sejumlah anak muda Gayo yang kreatif; putra peniup biji ridu. Kenko mengalunkan suling, Ahmad Dahlan meniup teririt dan gegedem, Ruslan memainkan uluh piring (bambu yang dibuat untuk musik). Dalam tim ini juga ada Sukri dan Rizki. Bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam mengumpulkan kayu bakar, dalam tarian ini juga mengambarkan keseharian meraka, masih dapat bercanda disela sela lelah yang menyelimuti. Mereka melepaskan beban dengan teriakan kegembiraan “ Aaaaaaaa hoooooiiiiiii wwwwwiiiwww”. Kemudian diringi dengan tawa. Saat tari kreasi ini tampil di Taman Budaya Banda Aceh, Rabu sore, penonton dan dewan juri terpukau dibuatnya. Suasana hening. Usai pertunjukan baru gemuruh aplusan menggema. Wanita tangguh dari Gayo dalam Sengkaran Utem benar benar mempesona. Siapa pemenangnya, nanti malam akan diumumkan. (Tim PKA Aceh Tengah)
Sekretariat PKA-7 ATeng
8/8/2018
Wanita Tangguh Gayo Ada Di Sengkaran Utem Bagaimana bila Anda akan dibawa menikmati suasana hutan? Suara alam di rimba raya, kicauan burung, gemericik air, desau angin diantara pepohonan. Anda juga disuguhkan dengan tarian 7 wanita cantik. Angin akan membelai tubuh Anda. Kaki akan tersentak mengikuti irama. 7 wanita cantik dengan pakaian kerawang Gayo, menggerakan tanganya, lemah gemulai dan lincah mengikuti irama. Uniknya, irama itu terlahir dari kumpulan alat musik yang sangat sederhana. Sengaja dibuat agar nampak natural dengan alam. Itulah kemampuan Aceh Tengah, dalam menyuguhkan yang terbaik untuk PKA ke-7. Ana Kobath, sang pelatih tari, mengambarkan bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam menyikapi hidup. Wanita yang menyisir hutan, semak belukar untuk mendapatkan kayu bakar. “Nenek kita, orang tua kita dulu, bagaimana gigihnya mencari kayu bakar ke dalam hutan. Kayu itu dikumpulkan, sebagian dipergunakan untuk sendiri, sebagian lagi dijual guna memenuhi kebutuhan hidup. Sungguh sosok wanita Gayo itu tangguh. Itulah filosofi tari sengkaran utem ini,” sebut Ana Kobath, menjawab Pers, Rabu (8/8/2018) menjelang tampilnya Aceh Tengah di Taman Budaya Banda Aceh. Ide tari itu muncul, kata Ana, terinspirasi dari buku karya Salman Yoga “Perempuan Berjangkat Utem”. 7 wanita yang dipilih Ana Kobath untuk berperan sebagai kaum ibu tangguh Gayo, bukanlah mereka yang sudah berumur. Namun penarinya masih remaja, masih duduk dibangku sekolah. Tari ini diiringi musik kreasi yang juga unik. Ada gerantung (lonceng kerbau yang terbuat dari bambu). Ada bambu yang sengaja dikemas mengeluarkan suara gemercik air. Teritit (suara memanggil burung) juga ikut ambil bagian. Gegedem dan kanvas didong tidak ketinggalan. Ada musik modern menyertai berupa gitar dan keyboard. Untuk suara alam di tengah hutan muncul dari alat musik kayu (biji ridu). Alat musik ini panjang hampir 1,5, bagian bawah lebih besar dari bagian atas yang dipergunakan untuk ditiup. Ada lubang tembus ditengahnya, sehingga mengeluarkan suara dari dalam hutan. Musik kreasi dikemas Edy Ranggayoni menjadi kesatuan musik yang serasi dan mampu mengikuti gerak tari “Sengkaran Utem”. Anak artis Gayo ini (Sakdiah), sudah lama menekuni dunia musik, sehingga dia hafal betul dengan suara yang keluar dari setiap benda yang ikut diperlombakan ini. Dalam memainkan musiknya, Edy dibantu sejumlah anak muda Gayo yang kreatif; putra peniup biji ridu. Kenko mengalunkan suling, Ahmad Dahlan meniup teririt dan gegedem, Ruslan memainkan uluh piring (bambu yang dibuat untuk musik). Dalam tim ini juga ada Sukri dan Rizki. Bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam mengumpulkan kayu bakar, dalam tarian ini juga mengambarkan keseharian meraka, masih dapat bercanda disela sela lelah yang menyelimuti. Mereka melepaskan beban dengan teriakan kegembiraan “ Aaaaaaaa hoooooiiiiiii wwwwwiiiwww”. Kemudian diringi dengan tawa. Saat tari kreasi ini tampil di Taman Budaya Banda Aceh, Rabu sore, penonton dan dewan juri terpukau dibuatnya. Suasana hening. Usai pertunjukan baru gemuruh aplusan menggema. Wanita tangguh dari Gayo dalam Sengkaran Utem benar benar mempesona. Siapa pemenangnya, nanti malam akan diumumkan. (Tim PKA Aceh Tengah)
Ana Cobat
8/8/2018
Wanita Tangguh Gayo Ada Di Sengkaran Utem Bagaimana bila Anda akan dibawa menikmati suasana hutan? Suara alam di rimba raya, kicauan burung, gemericik air, desau angin diantara pepohonan. Anda juga disuguhkan dengan tarian 7 wanita cantik. Angin akan membelai tubuh Anda. Kaki akan tersentak mengikuti irama. 7 wanita cantik dengan pakaian kerawang Gayo, menggerakan tanganya, lemah gemulai dan lincah mengikuti irama. Uniknya, irama itu terlahir dari kumpulan alat musik yang sangat sederhana. Sengaja dibuat agar nampak natural dengan alam. Itulah kemampuan Aceh Tengah, dalam menyuguhkan yang terbaik untuk PKA ke-7. Ana Kobath, sang pelatih tari, mengambarkan bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam menyikapi hidup. Wanita yang menyisir hutan, semak belukar untuk mendapatkan kayu bakar. “Nenek kita, orang tua kita dulu, bagaimana gigihnya mencari kayu bakar ke dalam hutan. Kayu itu dikumpulkan, sebagian dipergunakan untuk sendiri, sebagian lagi dijual guna memenuhi kebutuhan hidup. Sungguh sosok wanita Gayo itu tangguh. Itulah filosofi tari sengkaran utem ini,” sebut Ana Kobath, menjawab Pers, Rabu (8/8/2018) menjelang tampilnya Aceh Tengah di Taman Budaya Banda Aceh. Ide tari itu muncul, kata Ana, terinspirasi dari buku karya Salman Yoga “Perempuan Berjangkat Utem”. 7 wanita yang dipilih Ana Kobath untuk berperan sebagai kaum ibu tangguh Gayo, bukanlah mereka yang sudah berumur. Namun penarinya masih remaja, masih duduk dibangku sekolah. Tari ini diiringi musik kreasi yang juga unik. Ada gerantung (lonceng kerbau yang terbuat dari bambu). Ada bambu yang sengaja dikemas mengeluarkan suara gemercik air. Teritit (suara memanggil burung) juga ikut ambil bagian. Gegedem dan kanvas didong tidak ketinggalan. Ada musik modern menyertai berupa gitar dan keyboard. Untuk suara alam di tengah hutan muncul dari alat musik kayu (biji ridu). Alat musik ini panjang hampir 1,5, bagian bawah lebih besar dari bagian atas yang dipergunakan untuk ditiup. Ada lubang tembus ditengahnya, sehingga mengeluarkan suara dari dalam hutan. Musik kreasi dikemas Edy Ranggayoni menjadi kesatuan musik yang serasi dan mampu mengikuti gerak tari “Sengkaran Utem”. Anak artis Gayo ini (Sakdiah), sudah lama menekuni dunia musik, sehingga dia hafal betul dengan suara yang keluar dari setiap benda yang ikut diperlombakan ini. Dalam memainkan musiknya, Edy dibantu sejumlah anak muda Gayo yang kreatif; putra peniup biji ridu. Kenko mengalunkan suling, Ahmad Dahlan meniup teririt dan gegedem, Ruslan memainkan uluh piring (bambu yang dibuat untuk musik). Dalam tim ini juga ada Sukri dan Rizki. Bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam mengumpulkan kayu bakar, dalam tarian ini juga mengambarkan keseharian meraka, masih dapat bercanda disela sela lelah yang menyelimuti. Mereka melepaskan beban dengan teriakan kegembiraan “ Aaaaaaaa hoooooiiiiiii wwwwwiiiwww”. Kemudian diringi dengan tawa. Saat tari kreasi ini tampil di Taman Budaya Banda Aceh, Rabu sore, penonton dan dewan juri terpukau dibuatnya. Suasana hening. Usai pertunjukan baru gemuruh aplusan menggema. Wanita tangguh dari Gayo dalam Sengkaran Utem benar benar mempesona. Siapa pemenangnya, nanti malam akan diumumkan. (Tim PKA Aceh Tengah)
Salman Yoga
8/8/2018
Wanita Tangguh Gayo Ada Di Sengkaran Utem Bagaimana bila Anda akan dibawa menikmati suasana hutan? Suara alam di rimba raya, kicauan burung, gemericik air, desau angin diantara pepohonan. Anda juga disuguhkan dengan tarian 7 wanita cantik. Angin akan membelai tubuh Anda. Kaki akan tersentak mengikuti irama. 7 wanita cantik dengan pakaian kerawang Gayo, menggerakan tanganya, lemah gemulai dan lincah mengikuti irama. Uniknya, irama itu terlahir dari kumpulan alat musik yang sangat sederhana. Sengaja dibuat agar nampak natural dengan alam. Itulah kemampuan Aceh Tengah, dalam menyuguhkan yang terbaik untuk PKA ke-7. Ana Kobath, sang pelatih tari, mengambarkan bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam menyikapi hidup. Wanita yang menyisir hutan, semak belukar untuk mendapatkan kayu bakar. “Nenek kita, orang tua kita dulu, bagaimana gigihnya mencari kayu bakar ke dalam hutan. Kayu itu dikumpulkan, sebagian dipergunakan untuk sendiri, sebagian lagi dijual guna memenuhi kebutuhan hidup. Sungguh sosok wanita Gayo itu tangguh. Itulah filosofi tari sengkaran utem ini,” sebut Ana Kobath, menjawab Pers, Rabu (8/8/2018) menjelang tampilnya Aceh Tengah di Taman Budaya Banda Aceh. Ide tari itu muncul, kata Ana, terinspirasi dari buku karya Salman Yoga “Perempuan Berjangkat Utem”. 7 wanita yang dipilih Ana Kobath untuk berperan sebagai kaum ibu tangguh Gayo, bukanlah mereka yang sudah berumur. Namun penarinya masih remaja, masih duduk dibangku sekolah. Tari ini diiringi musik kreasi yang juga unik. Ada gerantung (lonceng kerbau yang terbuat dari bambu). Ada bambu yang sengaja dikemas mengeluarkan suara gemercik air. Teritit (suara memanggil burung) juga ikut ambil bagian. Gegedem dan kanvas didong tidak ketinggalan. Ada musik modern menyertai berupa gitar dan keyboard. Untuk suara alam di tengah hutan muncul dari alat musik kayu (biji ridu). Alat musik ini panjang hampir 1,5, bagian bawah lebih besar dari bagian atas yang dipergunakan untuk ditiup. Ada lubang tembus ditengahnya, sehingga mengeluarkan suara dari dalam hutan. Musik kreasi dikemas Edy Ranggayoni menjadi kesatuan musik yang serasi dan mampu mengikuti gerak tari “Sengkaran Utem”. Anak artis Gayo ini (Sakdiah), sudah lama menekuni dunia musik, sehingga dia hafal betul dengan suara yang keluar dari setiap benda yang ikut diperlombakan ini. Dalam memainkan musiknya, Edy dibantu sejumlah anak muda Gayo yang kreatif; putra peniup biji ridu. Kenko mengalunkan suling, Ahmad Dahlan meniup teririt dan gegedem, Ruslan memainkan uluh piring (bambu yang dibuat untuk musik). Dalam tim ini juga ada Sukri dan Rizki. Bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam mengumpulkan kayu bakar, dalam tarian ini juga mengambarkan keseharian meraka, masih dapat bercanda disela sela lelah yang menyelimuti. Mereka melepaskan beban dengan teriakan kegembiraan “ Aaaaaaaa hoooooiiiiiii wwwwwiiiwww”. Kemudian diringi dengan tawa. Saat tari kreasi ini tampil di Taman Budaya Banda Aceh, Rabu sore, penonton dan dewan juri terpukau dibuatnya. Suasana hening. Usai pertunjukan baru gemuruh aplusan menggema. Wanita tangguh dari Gayo dalam Sengkaran Utem benar benar mempesona. Siapa pemenangnya, nanti malam akan diumumkan. (Tim PKA Aceh Tengah)
Sekretariat PKA-7 ATeng
8/8/2018
+62 852-2283-1578:
Uswatudin
8/8/2018
Wanita Tangguh Gayo Ada Di Sengkaran Utem Bagaimana bila Anda akan dibawa menikmati suasana hutan? Suara alam di rimba raya, kicauan burung, gemericik air, desau angin diantara pepohonan. Anda juga disuguhkan dengan tarian 7 wanita cantik. Angin akan membelai tubuh Anda. Kaki akan tersentak mengikuti irama. 7 wanita cantik dengan pakaian kerawang Gayo, menggerakan tanganya, lemah gemulai dan lincah mengikuti irama. Uniknya, irama itu terlahir dari kumpulan alat musik yang sangat sederhana. Sengaja dibuat agar nampak natural dengan alam. Itulah kemampuan Aceh Tengah, dalam menyuguhkan yang terbaik untuk PKA ke-7. Ana Kobath, sang pelatih tari, mengambarkan bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam menyikapi hidup. Wanita yang menyisir hutan, semak belukar untuk mendapatkan kayu bakar. “Nenek kita, orang tua kita dulu, bagaimana gigihnya mencari kayu bakar ke dalam hutan. Kayu itu dikumpulkan, sebagian dipergunakan untuk sendiri, sebagian lagi dijual guna memenuhi kebutuhan hidup. Sungguh sosok wanita Gayo itu tangguh. Itulah filosofi tari sengkaran utem ini,” sebut Ana Kobath, menjawab Pers, Rabu (8/8/2018) menjelang tampilnya Aceh Tengah di Taman Budaya Banda Aceh. Ide tari itu muncul, kata Ana, terinspirasi dari buku karya Salman Yoga “Perempuan Berjangkat Utem”. 7 wanita yang dipilih Ana Kobath untuk berperan sebagai kaum ibu tangguh Gayo, bukanlah mereka yang sudah berumur. Namun penarinya masih remaja, masih duduk dibangku sekolah. Tari ini diiringi musik kreasi yang juga unik. Ada gerantung (lonceng kerbau yang terbuat dari bambu). Ada bambu yang sengaja dikemas mengeluarkan suara gemercik air. Teritit (suara memanggil burung) juga ikut ambil bagian. Gegedem dan kanvas didong tidak ketinggalan. Ada musik modern menyertai berupa gitar dan keyboard. Untuk suara alam di tengah hutan muncul dari alat musik kayu (biji ridu). Alat musik ini panjang hampir 1,5, bagian bawah lebih besar dari bagian atas yang dipergunakan untuk ditiup. Ada lubang tembus ditengahnya, sehingga mengeluarkan suara dari dalam hutan. Musik kreasi dikemas Edy Ranggayoni menjadi kesatuan musik yang serasi dan mampu mengikuti gerak tari “Sengkaran Utem”. Anak artis Gayo ini (Sakdiah), sudah lama menekuni dunia musik, sehingga dia hafal betul dengan suara yang keluar dari setiap benda yang ikut diperlombakan ini. Dalam memainkan musiknya, Edy dibantu sejumlah anak muda Gayo yang kreatif; putra peniup biji ridu. Kenko mengalunkan suling, Ahmad Dahlan meniup teririt dan gegedem, Ruslan memainkan uluh piring (bambu yang dibuat untuk musik). Dalam tim ini juga ada Sukri dan Rizki. Bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam mengumpulkan kayu bakar, dalam tarian ini juga mengambarkan keseharian meraka, masih dapat bercanda disela sela lelah yang menyelimuti. Mereka melepaskan beban dengan teriakan kegembiraan “ Aaaaaaaa hoooooiiiiiii wwwwwiiiwww”. Kemudian diringi dengan tawa. Saat tari kreasi ini tampil di Taman Budaya Banda Aceh, Rabu sore, penonton dan dewan juri terpukau dibuatnya. Suasana hening. Usai pertunjukan baru gemuruh aplusan menggema. Wanita tangguh dari Gayo dalam Sengkaran Utem benar benar mempesona. Siapa pemenangnya, nanti malam akan diumumkan. (Tim PKA Aceh Tengah)
Sekretariat PKA-7 ATeng
8/8/2018
Sek:
Sekretariat PKA-7 ATeng
8/8/2018
+62 852-7704-6892:
Lihin Lg
8/8/2018
Wanita Tangguh Gayo Ada Di Sengkaran Utem Bagaimana bila Anda akan dibawa menikmati suasana hutan? Suara alam di rimba raya, kicauan burung, gemericik air, desau angin diantara pepohonan. Anda juga disuguhkan dengan tarian 7 wanita cantik. Angin akan membelai tubuh Anda. Kaki akan tersentak mengikuti irama. 7 wanita cantik dengan pakaian kerawang Gayo, menggerakan tanganya, lemah gemulai dan lincah mengikuti irama. Uniknya, irama itu terlahir dari kumpulan alat musik yang sangat sederhana. Sengaja dibuat agar nampak natural dengan alam. Itulah kemampuan Aceh Tengah, dalam menyuguhkan yang terbaik untuk PKA ke-7. Ana Kobath, sang pelatih tari, mengambarkan bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam menyikapi hidup. Wanita yang menyisir hutan, semak belukar untuk mendapatkan kayu bakar. “Nenek kita, orang tua kita dulu, bagaimana gigihnya mencari kayu bakar ke dalam hutan. Kayu itu dikumpulkan, sebagian dipergunakan untuk sendiri, sebagian lagi dijual guna memenuhi kebutuhan hidup. Sungguh sosok wanita Gayo itu tangguh. Itulah filosofi tari sengkaran utem ini,” sebut Ana Kobath, menjawab Pers, Rabu (8/8/2018) menjelang tampilnya Aceh Tengah di Taman Budaya Banda Aceh. Ide tari itu muncul, kata Ana, terinspirasi dari buku karya Salman Yoga “Perempuan Berjangkat Utem”. 7 wanita yang dipilih Ana Kobath untuk berperan sebagai kaum ibu tangguh Gayo, bukanlah mereka yang sudah berumur. Namun penarinya masih remaja, masih duduk dibangku sekolah. Tari ini diiringi musik kreasi yang juga unik. Ada gerantung (lonceng kerbau yang terbuat dari bambu). Ada bambu yang sengaja dikemas mengeluarkan suara gemercik air. Teritit (suara memanggil burung) juga ikut ambil bagian. Gegedem dan kanvas didong tidak ketinggalan. Ada musik modern menyertai berupa gitar dan keyboard. Untuk suara alam di tengah hutan muncul dari alat musik kayu (biji ridu). Alat musik ini panjang hampir 1,5, bagian bawah lebih besar dari bagian atas yang dipergunakan untuk ditiup. Ada lubang tembus ditengahnya, sehingga mengeluarkan suara dari dalam hutan. Musik kreasi dikemas Edy Ranggayoni menjadi kesatuan musik yang serasi dan mampu mengikuti gerak tari “Sengkaran Utem”. Anak artis Gayo ini (Sakdiah), sudah lama menekuni dunia musik, sehingga dia hafal betul dengan suara yang keluar dari setiap benda yang ikut diperlombakan ini. Dalam memainkan musiknya, Edy dibantu sejumlah anak muda Gayo yang kreatif; putra peniup biji ridu. Kenko mengalunkan suling, Ahmad Dahlan meniup teririt dan gegedem, Ruslan memainkan uluh piring (bambu yang dibuat untuk musik). Dalam tim ini juga ada Sukri dan Rizki. Bagaimana tangguhnya wanita Gayo dalam mengumpulkan kayu bakar, dalam tarian ini juga mengambarkan keseharian meraka, masih dapat bercanda disela sela lelah yang menyelimuti. Mereka melepaskan beban dengan teriakan kegembiraan “ Aaaaaaaa hoooooiiiiiii wwwwwiiiwww”. Kemudian diringi dengan tawa. Saat tari kreasi ini tampil di Taman Budaya Banda Aceh, Rabu sore, penonton dan dewan juri terpukau dibuatnya. Suasana hening. Usai pertunjukan baru gemuruh aplusan menggema. Wanita tangguh dari Gayo dalam Sengkaran Utem benar benar mempesona. Siapa pemenangnya, nanti malam akan diumumkan. (Tim PKA Aceh Tengah)
Salman Yoga
8/8/2018
Puisi Aceh Tengah Raih Juara Dua PKA 7 Banda Aceh | Sikap panitia tidak konsisten dalam juknis lomba baca puisi PKA ke 7. Namun walau tidak sesuai dengan Juknis, tidak membuat Zuliana Ibrahim kecewa. Penyair yang sekaligus membacakan puisi karyanya pada lomba baca puisi di ajang PKA ini berlapang dada. Zuliana Ibrahim penyair sekaligus pembaca puisi pada PKA ke 7 hanya mampu meriah juara kedua. Sementara juara pertama diraih kabupaten Aceh Besar, Aceh Tengah disusul Bireun. Namun Zuliana menunjukkan kelasnya saat membacakan karyanya, ruangan hening dibuatnya. Event yang diselenggarakan di Taman Budaya Banda Aceh ini, berlangsung Rabu (8/8/2018). Sebelumnya panitia sudah menyiapkan juknis yang disebar ke seluruh kabupaten peserta lomba baca puisi. Dalam juknis itu disebutkan, puisi diciptakan sendiri oleh peserta. Dibuat dalam dua bahasa, Indonesia dan etnik. Namun kenyataanya, hanya Zuliana Ibrahim dari Aceh Tengah yang menciptakan puisi untuk dibacakanya. Daerah lain membacakan puisi karya orang lain. Namun Zuliana Ibrahim dengan puisi karyanya “ Malam Beguru” mampu meriah juara dua. Dari semua peserta hanya Zuliana Ibrahim yang merupakan sastrawati. Peserta lainya baru muncul ketika ada event. Zualiana benar benar sastrawati yang terlahir dan dibesarkan di bumi Gayo dan kini sedang meraih gelar master pendidikan (Mpd) bidang sastra di Unsyiah Banda Aceh. Salman Yoga S, pengarah puisi untuk Zuliana Ibrahim memberikan semangat kepada Zuliana agar berlapang dada menerima kenyataan ini. “ Biarkan orang lain membacakan karya orang lain, namun kamu selaku duta Aceh Tengah sudah melakukanya sesuai Juknis. Menciptakan puisi sendiri,” sebut Salman. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi bila aturan benar benar diterapkan, sebut Salman. Dalam event budaya ini, rasanya sangat malu, bila tidak berbudaya. Seharusnya dalam event ini kita menunjukan sikap yang jujur, berhati bersih, agar sikap itu ditiru kelak oleh anak cucu,” kata Salman. “Semoga ke depanya, semuanya komitmen dengan apa yang sudah ditetapkan. Aturan itu dibuat untuk dijalankan, bukan justru untuk diabaikan,” pinta Salman. Inilah rangkaian kata kata puisi karya Zuliana Ibrahim yang meraih juara dua di event PKA ke 7; MALAM BEGURU Oleh : Zuliana Ibrahim Malam ini terhidang di atas nampan pengharapan disulut dalam doa-doa, setiap waktu setiap jengkal napas Kepada yang dikabulkan mimpi langit telah membenam sebuah nama di hati nama yang harum di antara kembang ranum Malam ini dibalutsebuku teduh sang ibu kata-kata lebih menghunus dari runcing anak panah mengarus di nadi, isak dirangkul ulen-ulen yangmabuk petuah melingkari tubuh pemuda dengan detak Malem Dewa Oi, malam ini udara terasa sesak baginya di ujung jari akan terikat janji saksi menghunus pandang padanya di sisi kanan kiri malaikat turut campur melafal doa khusyuk terbentang Malam ini jadi singkat di kepalanya canang di tangan perempuan tua seperti menggertak ubun-ubun sorak mulawimenemani tidur yang sulit lelap aroma uyem dan kepulan asap dari balik jendela menyusup ke dalam kamar pengantin pelan-pelan Malam ini lebih bernyawa calon mayak menghadap ke kiblat senyumnya berbeda matanya ikut bicara
Sekretariat PKA-7 ATeng
8/8/2018
Puisi Aceh Tengah Raih Juara Dua PKA 7 Banda Aceh | Sikap panitia tidak konsisten dalam juknis lomba baca puisi PKA ke 7. Namun walau tidak sesuai dengan Juknis, tidak membuat Zuliana Ibrahim kecewa. Penyair yang sekaligus membacakan puisi karyanya pada lomba baca puisi di ajang PKA ini berlapang dada. Zuliana Ibrahim penyair sekaligus pembaca puisi pada PKA ke 7 hanya mampu meriah juara kedua. Sementara juara pertama diraih kabupaten Aceh Besar, Aceh Tengah disusul Bireun. Namun Zuliana menunjukkan kelasnya saat membacakan karyanya, ruangan hening dibuatnya. Event yang diselenggarakan di Taman Budaya Banda Aceh ini, berlangsung Rabu (8/8/2018). Sebelumnya panitia sudah menyiapkan juknis yang disebar ke seluruh kabupaten peserta lomba baca puisi. Dalam juknis itu disebutkan, puisi diciptakan sendiri oleh peserta. Dibuat dalam dua bahasa, Indonesia dan etnik. Namun kenyataanya, hanya Zuliana Ibrahim dari Aceh Tengah yang menciptakan puisi untuk dibacakanya. Daerah lain membacakan puisi karya orang lain. Namun Zuliana Ibrahim dengan puisi karyanya “ Malam Beguru” mampu meriah juara dua. Dari semua peserta hanya Zuliana Ibrahim yang merupakan sastrawati. Peserta lainya baru muncul ketika ada event. Zualiana benar benar sastrawati yang terlahir dan dibesarkan di bumi Gayo dan kini sedang meraih gelar master pendidikan (Mpd) bidang sastra di Unsyiah Banda Aceh. Salman Yoga S, pengarah puisi untuk Zuliana Ibrahim memberikan semangat kepada Zuliana agar berlapang dada menerima kenyataan ini. “ Biarkan orang lain membacakan karya orang lain, namun kamu selaku duta Aceh Tengah sudah melakukanya sesuai Juknis. Menciptakan puisi sendiri,” sebut Salman. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi bila aturan benar benar diterapkan, sebut Salman. Dalam event budaya ini, rasanya sangat malu, bila tidak berbudaya. Seharusnya dalam event ini kita menunjukan sikap yang jujur, berhati bersih, agar sikap itu ditiru kelak oleh anak cucu,” kata Salman. “Semoga ke depanya, semuanya komitmen dengan apa yang sudah ditetapkan. Aturan itu dibuat untuk dijalankan, bukan justru untuk diabaikan,” pinta Salman. Inilah rangkaian kata kata puisi karya Zuliana Ibrahim yang meraih juara dua di event PKA ke 7; MALAM BEGURU Oleh : Zuliana Ibrahim Malam ini terhidang di atas nampan pengharapan disulut dalam doa-doa, setiap waktu setiap jengkal napas Kepada yang dikabulkan mimpi langit telah membenam sebuah nama di hati nama yang harum di antara kembang ranum Malam ini dibalutsebuku teduh sang ibu kata-kata lebih menghunus dari runcing anak panah mengarus di nadi, isak dirangkul ulen-ulen yangmabuk petuah melingkari tubuh pemuda dengan detak Malem Dewa Oi, malam ini udara terasa sesak baginya di ujung jari akan terikat janji saksi menghunus pandang padanya di sisi kanan kiri malaikat turut campur melafal doa khusyuk terbentang Malam ini jadi singkat di kepalanya canang di tangan perempuan tua seperti menggertak ubun-ubun sorak mulawimenemani tidur yang sulit lelap aroma uyem dan kepulan asap dari balik jendela menyusup ke dalam kamar pengantin pelan-pelan Malam ini lebih bernyawa calon mayak menghadap ke kiblat senyumnya berbeda matanya ikut bicara
Mushumas
8/8/2018
Puisi Aceh Tengah Raih Juara Dua PKA 7 Banda Aceh | Sikap panitia tidak konsisten dalam juknis lomba baca puisi PKA ke 7. Namun walau tidak sesuai dengan Juknis, tidak membuat Zuliana Ibrahim kecewa. Penyair yang sekaligus membacakan puisi karyanya pada lomba baca puisi di ajang PKA ini berlapang dada. Zuliana Ibrahim penyair sekaligus pembaca puisi pada PKA ke 7 hanya mampu meriah juara kedua. Sementara juara pertama diraih kabupaten Aceh Besar, Aceh Tengah disusul Bireun. Namun Zuliana menunjukkan kelasnya saat membacakan karyanya, ruangan hening dibuatnya. Event yang diselenggarakan di Taman Budaya Banda Aceh ini, berlangsung Rabu (8/8/2018). Sebelumnya panitia sudah menyiapkan juknis yang disebar ke seluruh kabupaten peserta lomba baca puisi. Dalam juknis itu disebutkan, puisi diciptakan sendiri oleh peserta. Dibuat dalam dua bahasa, Indonesia dan etnik. Namun kenyataanya, hanya Zuliana Ibrahim dari Aceh Tengah yang menciptakan puisi untuk dibacakanya. Daerah lain membacakan puisi karya orang lain. Namun Zuliana Ibrahim dengan puisi karyanya “ Malam Beguru” mampu meriah juara dua. Dari semua peserta hanya Zuliana Ibrahim yang merupakan sastrawati. Peserta lainya baru muncul ketika ada event. Zualiana benar benar sastrawati yang terlahir dan dibesarkan di bumi Gayo dan kini sedang meraih gelar master pendidikan (Mpd) bidang sastra di Unsyiah Banda Aceh. Salman Yoga S, pengarah puisi untuk Zuliana Ibrahim memberikan semangat kepada Zuliana agar berlapang dada menerima kenyataan ini. “ Biarkan orang lain membacakan karya orang lain, namun kamu selaku duta Aceh Tengah sudah melakukanya sesuai Juknis. Menciptakan puisi sendiri,” sebut Salman. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi bila aturan benar benar diterapkan, sebut Salman. Dalam event budaya ini, rasanya sangat malu, bila tidak berbudaya. Seharusnya dalam event ini kita menunjukan sikap yang jujur, berhati bersih, agar sikap itu ditiru kelak oleh anak cucu,” kata Salman. “Semoga ke depanya, semuanya komitmen dengan apa yang sudah ditetapkan. Aturan itu dibuat untuk dijalankan, bukan justru untuk diabaikan,” pinta Salman. Tim PKA Aceh Tengah Inilah rangkaian kata kata puisi karya Zuliana Ibrahim yang meraih juara dua di event PKA ke 7; MALAM BEGURU Oleh : Zuliana Ibrahim Malam ini terhidang di atas nampan pengharapan disulut dalam doa-doa, setiap waktu setiap jengkal napas Kepada yang dikabulkan mimpi langit telah membenam sebuah nama di hati nama yang harum di antara kembang ranum Malam ini dibalutsebuku teduh sang ibu kata-kata lebih menghunus dari runcing anak panah mengarus di nadi, isak dirangkul ulen-ulen yangmabuk petuah melingkari tubuh pemuda dengan detak Malem Dewa Oi, malam ini udara terasa sesak baginya di ujung jari akan terikat janji saksi menghunus pandang padanya di sisi kanan kiri malaikat turut campur melafal doa khusyuk terbentang Malam ini jadi singkat di kepalanya canang di tangan perempuan tua seperti menggertak ubun-ubun sorak mulawimenemani tidur yang sulit lelap aroma uyem dan kepulan asap dari balik jendela menyusup ke dalam kamar pengantin pelan-pelan Malam ini lebih bernyawa calon mayak menghadap ke kiblat senyumnya berbeda matanya ikut bicara
Mushumas
8/8/2018
Puisi Aceh Tengah Raih Juara Dua PKA 7 Banda Aceh | Sikap panitia tidak konsisten dalam juknis lomba baca puisi PKA ke 7. Namun walau tidak sesuai dengan Juknis, tidak membuat Zuliana Ibrahim kecewa. Penyair yang sekaligus membacakan puisi karyanya pada lomba baca puisi di ajang PKA ini berlapang dada. Zuliana Ibrahim penyair sekaligus pembaca puisi pada PKA ke 7 hanya mampu meriah juara kedua. Sementara juara pertama diraih Kodya Banda Aceh, Aceh Tengah disusul Bireun. Namun Zuliana menunjukkan kelasnya saat membacakan karyanya, ruangan hening dibuatnya. Event yang diselenggarakan di Taman Budaya Banda Aceh ini, berlangsung Rabu (8/8/2018). Sebelumnya panitia sudah menyiapkan juknis yang disebar ke seluruh kabupaten peserta lomba baca puisi. Dalam juknis itu disebutkan, puisi diciptakan sendiri oleh peserta. Dibuat dalam dua bahasa, Indonesia dan etnik. Namun kenyataanya, hanya Zuliana Ibrahim dari Aceh Tengah yang menciptakan puisi untuk dibacakanya. Daerah lain membacakan puisi karya orang lain. Namun Zuliana Ibrahim dengan puisi karyanya “ Malam Beguru” mampu meriah juara dua. Dari semua peserta hanya Zuliana Ibrahim yang merupakan sastrawati. Peserta lainya baru muncul ketika ada event. Zualiana benar benar sastrawati yang terlahir dan dibesarkan di bumi Gayo dan kini sedang meraih gelar master pendidikan (Mpd) bidang sastra di Unsyiah Banda Aceh. Salman Yoga S, pengarah puisi untuk Zuliana Ibrahim memberikan semangat kepada Zuliana agar berlapang dada menerima kenyataan ini. “ Biarkan orang lain membacakan karya orang lain, namun kamu selaku duta Aceh Tengah sudah melakukanya sesuai Juknis. Menciptakan puisi sendiri,” sebut Salman. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi bila aturan benar benar diterapkan, sebut Salman. Dalam event budaya ini, rasanya sangat malu, bila tidak berbudaya. Seharusnya dalam event ini kita menunjukan sikap yang jujur, berhati bersih, agar sikap itu ditiru kelak oleh anak cucu,” kata Salman. “Semoga ke depanya, semuanya komitmen dengan apa yang sudah ditetapkan. Aturan itu dibuat untuk dijalankan, bukan justru untuk diabaikan,” pinta Salman. Tim PKA Aceh Tengah Inilah rangkaian kata kata puisi karya Zuliana Ibrahim yang meraih juara dua di event PKA ke 7; MALAM BEGURU Oleh : Zuliana Ibrahim Malam ini terhidang di atas nampan pengharapan disulut dalam doa-doa, setiap waktu setiap jengkal napas Kepada yang dikabulkan mimpi langit telah membenam sebuah nama di hati nama yang harum di antara kembang ranum Malam ini dibalutsebuku teduh sang ibu kata-kata lebih menghunus dari runcing anak panah mengarus di nadi, isak dirangkul ulen-ulen yangmabuk petuah melingkari tubuh pemuda dengan detak Malem Dewa Oi, malam ini udara terasa sesak baginya di ujung jari akan terikat janji saksi menghunus pandang padanya di sisi kanan kiri malaikat turut campur melafal doa khusyuk terbentang Malam ini jadi singkat di kepalanya canang di tangan perempuan tua seperti menggertak ubun-ubun sorak mulawimenemani tidur yang sulit lelap aroma uyem dan kepulan asap dari balik jendela menyusup ke dalam kamar pengantin pelan-pelan Malam ini lebih bernyawa calon mayak menghadap ke kiblat senyumnya berbeda matanya ikut bicara
Sekretariat PKA-7 ATeng
8/8/2018
Puisi Aceh Tengah Raih Juara Dua PKA 7 Banda Aceh | Sikap panitia tidak konsisten dalam juknis lomba baca puisi PKA ke 7. Namun walau tidak sesuai dengan Juknis, tidak membuat Zuliana Ibrahim kecewa. Penyair yang sekaligus membacakan puisi karyanya pada lomba baca puisi di ajang PKA ini berlapang dada. Zuliana Ibrahim penyair sekaligus pembaca puisi pada PKA ke 7 hanya mampu meriah juara kedua. Sementara juara pertama diraih Kodya Banda Aceh, Aceh Tengah disusul Bireun. Namun Zuliana menunjukkan kelasnya saat membacakan karyanya, ruangan hening dibuatnya. Event yang diselenggarakan di Taman Budaya Banda Aceh ini, berlangsung Rabu (8/8/2018). Sebelumnya panitia sudah menyiapkan juknis yang disebar ke seluruh kabupaten peserta lomba baca puisi. Dalam juknis itu disebutkan, puisi diciptakan sendiri oleh peserta. Dibuat dalam dua bahasa, Indonesia dan etnik. Namun kenyataanya, hanya Zuliana Ibrahim dari Aceh Tengah yang menciptakan puisi untuk dibacakanya. Daerah lain membacakan puisi karya orang lain. Namun Zuliana Ibrahim dengan puisi karyanya “ Malam Beguru” mampu meriah juara dua. Dari semua peserta hanya Zuliana Ibrahim yang merupakan sastrawati. Peserta lainya baru muncul ketika ada event. Zualiana benar benar sastrawati yang terlahir dan dibesarkan di bumi Gayo dan kini sedang meraih gelar master pendidikan (Mpd) bidang sastra di Unsyiah Banda Aceh. Salman Yoga S, pengarah puisi untuk Zuliana Ibrahim memberikan semangat kepada Zuliana agar berlapang dada menerima kenyataan ini. “ Biarkan orang lain membacakan karya orang lain, namun kamu selaku duta Aceh Tengah sudah melakukanya sesuai Juknis. Menciptakan puisi sendiri,” sebut Salman. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi bila aturan benar benar diterapkan, sebut Salman. Dalam event budaya ini, rasanya sangat malu, bila tidak berbudaya. Seharusnya dalam event ini kita menunjukan sikap yang jujur, berhati bersih, agar sikap itu ditiru kelak oleh anak cucu,” kata Salman. “Semoga ke depanya, semuanya komitmen dengan apa yang sudah ditetapkan. Aturan itu dibuat untuk dijalankan, bukan justru untuk diabaikan,” pinta Salman. Tim PKA Aceh Tengah Inilah rangkaian kata kata puisi karya Zuliana Ibrahim yang meraih juara dua di event PKA ke 7; MALAM BEGURU Oleh : Zuliana Ibrahim Malam ini terhidang di atas nampan pengharapan disulut dalam doa-doa, setiap waktu setiap jengkal napas Kepada yang dikabulkan mimpi langit telah membenam sebuah nama di hati nama yang harum di antara kembang ranum Malam ini dibalutsebuku teduh sang ibu kata-kata lebih menghunus dari runcing anak panah mengarus di nadi, isak dirangkul ulen-ulen yangmabuk petuah melingkari tubuh pemuda dengan detak Malem Dewa Oi, malam ini udara terasa sesak baginya di ujung jari akan terikat janji saksi menghunus pandang padanya di sisi kanan kiri malaikat turut campur melafal doa khusyuk terbentang Malam ini jadi singkat di kepalanya canang di tangan perempuan tua seperti menggertak ubun-ubun sorak mulawimenemani tidur yang sulit lelap aroma uyem dan kepulan asap dari balik jendela menyusup ke dalam kamar pengantin pelan-pelan Malam ini lebih bernyawa calon mayak menghadap ke kiblat senyumnya berbeda matanya ikut bicara
Lihin Lg
8/8/2018
Panitia Tidak “Amanah” Puisi Aceh Tengah Raih Juara Dua Banda Aceh | Sikap panitia tidak konsisten dalam juknis lomba baca puisi PKA ke 7. Namun walau tidak sesuai dengan Juknis, tidak membuat Zuliana Ibrahim kecewa. Penyair yang sekaligus membacakan puisi karyanya pada lomba baca puisi di ajang PKA ini berlapang dada. Zuliana Ibrahim penyair sekaligus pembaca puisi pada PKA ke 7 hanya mampu meriah juara kedua. Sementara juara pertama diraih Kodya Banda Aceh, Aceh Tengah disusul Bireun. Namun Zuliana menunjukkan kelasnya saat membacakan karyanya, ruangan hening dibuatnya. Event yang diselenggarakan di Taman Budaya Banda Aceh ini, berlangsung Rabu (8/8/2018). Sebelumnya panitia sudah menyiapkan juknis yang disebar ke seluruh kabupaten peserta lomba baca puisi. Dalam juknis itu disebutkan, puisi diciptakan sendiri oleh peserta. Dibuat dalam dua bahasa, Indonesia dan etnik. Namun kenyataanya, hanya Zuliana Ibrahim dari Aceh Tengah yang menciptakan puisi untuk dibacakanya. Daerah lain membacakan puisi karya orang lain. Namun Zuliana Ibrahim dengan puisi karyanya “ Malam Beguru” mampu meriah juara dua. Dari semua peserta hanya Zuliana Ibrahim yang merupakan sastrawati. Peserta lainya baru muncul ketika ada event. Zualiana benar benar sastrawati yang terlahir dan dibesarkan di bumi Gayo dan kini sedang meraih gelar master pendidikan (Mpd) bidang sastra di Unsyiah Banda Aceh. Salman Yoga S, pengarah puisi untuk Zuliana Ibrahim memberikan semangat kepada Zuliana agar berlapang dada menerima kenyataan ini. “ Biarkan orang lain membacakan karya orang lain, namun kamu selaku duta Aceh Tengah sudah melakukanya sesuai Juknis. Menciptakan puisi sendiri,” sebut Salman. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi bila aturan benar benar diterapkan, sebut Salman. Dalam event budaya ini, rasanya sangat malu, bila tidak berbudaya. Seharusnya dalam event ini kita menunjukan sikap yang jujur, berhati bersih, agar sikap itu ditiru kelak oleh anak cucu,” kata Salman. “Semoga ke depanya, semuanya komitmen dengan apa yang sudah ditetapkan. Aturan itu dibuat untuk dijalankan, bukan justru untuk diabaikan,” pinta Salman. Tim PKA Aceh Tengah Inilah rangkaian kata kata puisi karya Zuliana Ibrahim yang meraih juara dua di event PKA ke 7; MALAM BEGURU Oleh : Zuliana Ibrahim Malam ini terhidang di atas nampan pengharapan disulut dalam doa-doa, setiap waktu setiap jengkal napas Kepada yang dikabulkan mimpi langit telah membenam sebuah nama di hati nama yang harum di antara kembang ranum Malam ini dibalutsebuku teduh sang ibu kata-kata lebih menghunus dari runcing anak panah mengarus di nadi, isak dirangkul ulen-ulen yangmabuk petuah melingkari tubuh pemuda dengan detak Malem Dewa Oi, malam ini udara terasa sesak baginya di ujung jari akan terikat janji saksi menghunus pandang padanya di sisi kanan kiri malaikat turut campur melafal doa khusyuk terbentang Malam ini jadi singkat di kepalanya canang di tangan perempuan tua seperti menggertak ubun-ubun sorak mulawimenemani tidur yang sulit lelap aroma uyem dan kepulan asap dari balik jendela menyusup ke dalam kamar pengantin pelan-pelan Malam ini lebih bernyawa calon mayak menghadap ke kiblat senyumnya berbeda matanya ikut bicara
Salman Yoga
Kamis
Bendera Reje Linge Berkibar Di Anjungan Aceh Tengah Banda Aceh | Bendera kerajaan Linge dikibarkan di anjungan PKA Aceh Tengah. Bendera kebesaran yang membuktikan di Gayo sudah ada sebuah kerajaan dari jaman dulu, berkibar selama 35 menit di dalam anjungan. Pengibaran bendera yang dilakukan dengan teaterikal itu, menarik perhatian pengunjung. Kamis ( 9/8/2018). Semula direncanakan bendera itu akan dikibarkan di luar anjungan, namun dengan berbagai pertimbangan, ahirnya dikibarkan di dalam anjungan. “Pengibaran ini pada prinsipnya ingin mengembalikan spirit urang Gayo, bahwa dinegeri mereka sudah ada sebuah kerajaan yang megah sejak jaman dahulu,” sebut Salman Yoga, yang juga ikut berperan dalam pengibaran bendera ini. Pengibaran bendera secara teaterikal itu, diperankan oleh Jinger yang menyerahkan bendera ke DR. Joni, kemudian doktor yang ahli dalam budaya dan bahasa Gayo itu, menyerahkan bendera reje Linge kepada Zulfian Karim untuk dikibarkan. “Kita bukan keturunan Imo, namun kita pemilik negeri ini. Kami hanya membangkitkan semangat urang Gayo untuk melihat sejarah masa lalu, dan mampu berkarya untuk masa kini, dan menjadi harapan untuk masa mendatang,” kata Salman.
Lihin Lg
Kamis
Bendera Reje Linge Berkibar Di Anjungan Aceh Tengah Banda Aceh | Bendera kerajaan Linge dikibarkan di anjungan PKA Aceh Tengah. Bendera kebesaran yang membuktikan di Gayo sudah ada sebuah kerajaan dari jaman dulu, berkibar selama 35 menit di dalam anjungan. Pengibaran bendera yang dilakukan dengan teaterikal itu, menarik perhatian pengunjung. Kamis ( 9/8/2018). Semula direncanakan bendera itu akan dikibarkan di luar anjungan, namun dengan berbagai pertimbangan, ahirnya dikibarkan di dalam anjungan. “Pengibaran ini pada prinsipnya ingin mengembalikan spirit urang Gayo, bahwa dinegeri mereka sudah ada sebuah kerajaan yang megah sejak jaman dahulu,” sebut Salman Yoga, yang juga ikut berperan dalam pengibaran bendera ini. Pengibaran bendera secara teaterikal itu, diperankan oleh Jinger yang menyerahkan bendera ke DR. Joni, kemudian doktor yang ahli dalam budaya dan bahasa Gayo itu, menyerahkan bendera reje Linge kepada Zulfian Karim untuk dikibarkan. “Kita bukan keturunan Imo, namun kita pemilik negeri ini. Kami hanya membangkitkan semangat urang Gayo untuk melihat sejarah masa lalu, dan mampu berkarya untuk masa kini, dan menjadi harapan untuk masa mendatang,” kata Salman.
Admin Lintas Gayo
Kamis
Bendera Reje Linge Berkibar Di Anjungan Aceh Tengah Banda Aceh | Bendera kerajaan Linge dikibarkan di anjungan PKA Aceh Tengah. Bendera kebesaran yang membuktikan di Gayo sudah ada sebuah kerajaan dari jaman dulu, berkibar selama 35 menit di dalam anjungan. Pengibaran bendera yang dilakukan dengan teaterikal itu, menarik perhatian pengunjung. Kamis ( 9/8/2018). Semula direncanakan bendera itu akan dikibarkan di luar anjungan, namun dengan berbagai pertimbangan, ahirnya dikibarkan di dalam anjungan. “Pengibaran ini pada prinsipnya ingin mengembalikan spirit urang Gayo, bahwa dinegeri mereka sudah ada sebuah kerajaan yang megah sejak jaman dahulu,” sebut Salman Yoga, yang juga ikut berperan dalam pengibaran bendera ini. Pengibaran bendera secara teaterikal itu, diperankan oleh Jinger yang menyerahkan bendera ke DR. Joni, kemudian doktor yang ahli dalam budaya dan bahasa Gayo itu, menyerahkan bendera reje Linge kepada Zulfian Karim untuk dikibarkan. “Kita bukan keturunan Imo, namun kita pemilik negeri ini. Kami hanya membangkitkan semangat urang Gayo untuk melihat sejarah masa lalu, dan mampu berkarya untuk masa kini, dan menjadi harapan untuk masa mendatang,” kata Salman.
Sekretariat PKA-7 ATeng
Kamis
Bendera Reje Linge Berkibar Di Anjungan Aceh Tengah Banda Aceh | Bendera kerajaan Linge dikibarkan di anjungan PKA Aceh Tengah. Bendera kebesaran yang membuktikan di Gayo sudah ada sebuah kerajaan dari jaman dulu, berkibar selama 35 menit di dalam anjungan. Pengibaran bendera yang dilakukan dengan teaterikal itu, menarik perhatian pengunjung. Kamis ( 9/8/2018). Semula direncanakan bendera itu akan dikibarkan di luar anjungan, namun dengan berbagai pertimbangan, ahirnya dikibarkan di dalam anjungan. “Pengibaran ini pada prinsipnya ingin mengembalikan spirit urang Gayo, bahwa dinegeri mereka sudah ada sebuah kerajaan yang megah sejak jaman dahulu,” sebut Salman Yoga, yang juga ikut berperan dalam pengibaran bendera ini. Pengibaran bendera secara teaterikal itu, diperankan oleh Jinger yang menyerahkan bendera ke DR. Joni, kemudian doktor yang ahli dalam budaya dan bahasa Gayo itu, menyerahkan bendera reje Linge kepada Zulfian Karim untuk dikibarkan. “Kita bukan keturunan Imo, namun kita pemilik negeri ini. Kami hanya membangkitkan semangat urang Gayo untuk melihat sejarah masa lalu, dan mampu berkarya untuk masa kini, dan menjadi harapan untuk masa mendatang,” kata Salman.
Mushumas
Kamis
Bendera Reje Linge Berkibar Di Anjungan Aceh Tengah Banda Aceh | Bendera kerajaan Linge dikibarkan di anjungan PKA Aceh Tengah. Bendera kebesaran yang membuktikan di Gayo sudah ada sebuah kerajaan dari jaman dulu, berkibar selama 35 menit di dalam anjungan. Pengibaran bendera yang dilakukan dengan teaterikal itu, menarik perhatian pengunjung. Kamis ( 9/8/2018). Semula direncanakan bendera itu akan dikibarkan di luar anjungan, namun dengan berbagai pertimbangan, ahirnya dikibarkan di dalam anjungan. “Pengibaran ini pada prinsipnya ingin mengembalikan spirit urang Gayo, bahwa dinegeri mereka sudah ada sebuah kerajaan yang megah sejak jaman dahulu,” sebut Salman Yoga, yang juga ikut berperan dalam pengibaran bendera ini. Pengibaran bendera secara teaterikal itu, diperankan oleh Jinger yang menyerahkan bendera ke DR. Joni, kemudian doktor yang ahli dalam budaya dan bahasa Gayo itu, menyerahkan bendera reje Linge kepada Zulfian Karim untuk dikibarkan. “Kita bukan keturunan Imo, namun kita pemilik negeri ini. Kami hanya membangkitkan semangat urang Gayo untuk melihat sejarah masa lalu, dan mampu berkarya untuk masa kini, dan menjadi harapan untuk masa mendatang,” kata Salman.
Sekretariat PKA-7 ATeng
Kamis
Bendera Reje Linge Berkibar Di Anjungan Aceh Tengah Banda Aceh | Bendera kerajaan Linge dikibarkan di anjungan PKA Aceh Tengah. Bendera kebesaran yang membuktikan di Gayo sudah ada sebuah kerajaan dari jaman dulu, berkibar selama 35 menit di dalam anjungan. Pengibaran bendera yang dilakukan dengan teaterikal itu, menarik perhatian pengunjung. Kamis ( 9/8/2018). Semula direncanakan bendera itu akan dikibarkan di luar anjungan, namun dengan berbagai pertimbangan, ahirnya dikibarkan di dalam anjungan. “Pengibaran ini pada prinsipnya ingin mengembalikan spirit urang Gayo, bahwa dinegeri mereka sudah ada sebuah kerajaan yang megah sejak jaman dahulu,” sebut Salman Yoga, yang juga ikut berperan dalam pengibaran bendera ini. Pengibaran bendera secara teaterikal itu, diperankan oleh Jinger yang menyerahkan bendera ke DR. Joni, kemudian doktor yang ahli dalam budaya dan bahasa Gayo itu, menyerahkan bendera Reje Linge kepada Zulfian Karim untuk dikibarkan. “Kita bukan keturunan Imo, namun kita pemilik negeri ini. Kami hanya membangkitkan semangat urang Gayo untuk melihat sejarah masa lalu, dan mampu berkarya untuk masa kini, dan menjadi harapan untuk masa mendatang,” kata Salman. Inilah kalimat sakral titah Reje Linge, yang turut dibacakan ketika penyerahan dan pengibaran bendera dari negeri seribu bukit, diantara desauan pinus. Win ini titah ari Reje linge, si ara ni gelah ipejamuriko. Siosop beperah, si taring boh iraiko. Keta ini titahe, gelah bertanggung jeweb kam. ( Win, ini amanah sacral Reje Linge. Yang sudah ada dijaga baik baik dan dikembangkan. Yang hilang harus kamu temukan. Bila tertinggal, apapun dayamu harus kamu jemput kembali. Inilah amanah sakral itu , kalian semuanya harus bertanggung jawab). Titah Reje Linge ini diteliti dan dikaji secara mendalam oleh DR Joni melalui premestike ( Falsafah Gayo). Penilitian ini juga cukup lama, mencapai 4 tahun, dengan sejumlah pengorbanan bukan hanya waktu, tenaga dan pikiran, namun munajat doa kepada Allah, agar barang yang terpendam itu didapati kembali. (tim Pawai PKA AT)
Lihin Lg
Kamis
Bendera Reje Linge Berkibar Di Anjungan Aceh Tengah Banda Aceh | Bendera kerajaan Linge dikibarkan di anjungan PKA Aceh Tengah. Bendera kebesaran yang membuktikan di Gayo sudah ada sebuah kerajaan dari jaman dulu, berkibar selama 35 menit di dalam anjungan. Pengibaran bendera yang dilakukan dengan teaterikal itu, menarik perhatian pengunjung. Kamis ( 9/8/2018). Semula direncanakan bendera itu akan dikibarkan di luar anjungan, namun dengan berbagai pertimbangan, ahirnya dikibarkan di dalam anjungan. “Pengibaran ini pada prinsipnya ingin mengembalikan spirit urang Gayo, bahwa dinegeri mereka sudah ada sebuah kerajaan yang megah sejak jaman dahulu,” sebut Salman Yoga, yang juga ikut berperan dalam pengibaran bendera ini. Pengibaran bendera secara teaterikal itu, diperankan oleh Jinger yang menyerahkan bendera ke DR. Joni, kemudian doktor yang ahli dalam budaya dan bahasa Gayo itu, menyerahkan bendera Reje Linge kepada Zulfian Karim untuk dikibarkan. “Kita bukan keturunan Imo, namun kita pemilik negeri ini. Kami hanya membangkitkan semangat urang Gayo untuk melihat sejarah masa lalu, dan mampu berkarya untuk masa kini, dan menjadi harapan untuk masa mendatang,” kata Salman. Inilah kalimat sakral titah Reje Linge, yang turut dibacakan ketika penyerahan dan pengibaran bendera dari negeri seribu bukit, diantara desauan pinus. Win ini titah ari Reje linge, si ara ni gelah ipejamuriko. Siosop beperah, si taring boh iraiko. Keta ini titahe, gelah bertanggung jeweb kam. ( Win, ini amanah sacral Reje Linge. Yang sudah ada dijaga baik baik dan dikembangkan. Yang hilang harus kamu temukan. Bila tertinggal, apapun dayamu harus kamu jemput kembali. Inilah amanah sakral itu , kalian semuanya harus bertanggung jawab). Titah Reje Linge ini diteliti dan dikaji secara mendalam oleh DR Joni melalui premestike ( Falsafah Gayo). Penilitian ini juga cukup lama, mencapai 4 tahun, dengan sejumlah pengorbanan bukan hanya waktu, tenaga dan pikiran, namun munajat doa kepada Allah, agar barang yang terpendam itu didapati kembali. (tim Pawai PKA AT)
Mushumas
Kamis
Bendera Reje Linge Berkibar Di Anjungan Aceh Tengah Banda Aceh | Bendera kerajaan Linge dikibarkan di anjungan PKA Aceh Tengah. Bendera kebesaran yang membuktikan di Gayo sudah ada sebuah kerajaan dari jaman dulu, berkibar selama 35 menit di dalam anjungan. Pengibaran bendera yang dilakukan dengan teaterikal itu, menarik perhatian pengunjung. Kamis ( 9/8/2018). Semula direncanakan bendera itu akan dikibarkan di luar anjungan, namun dengan berbagai pertimbangan, ahirnya dikibarkan di dalam anjungan. “Pengibaran ini pada prinsipnya ingin mengembalikan spirit urang Gayo, bahwa dinegeri mereka sudah ada sebuah kerajaan yang megah sejak jaman dahulu,” sebut Salman Yoga, yang juga ikut berperan dalam pengibaran bendera ini. Pengibaran bendera secara teaterikal itu, diperankan oleh Jinger yang menyerahkan bendera ke DR. Joni, kemudian doktor yang ahli dalam budaya dan bahasa Gayo itu, menyerahkan bendera Reje Linge kepada Zulfian Karim untuk dikibarkan. “Kita bukan keturunan Imo, namun kita pemilik negeri ini. Kami hanya membangkitkan semangat urang Gayo untuk melihat sejarah masa lalu, dan mampu berkarya untuk masa kini, dan menjadi harapan untuk masa mendatang,” kata Salman. Inilah kalimat sakral titah Reje Linge, yang turut dibacakan ketika penyerahan dan pengibaran bendera dari negeri seribu bukit, diantara desauan pinus. Win ini titah ari Reje linge, si ara ni gelah ipejamuriko. Siosop beperah, si taring boh iraiko. Keta ini titahe, gelah bertanggung jeweb kam. ( Win, ini amanah sacral Reje Linge. Yang sudah ada dijaga baik baik dan dikembangkan. Yang hilang harus kamu temukan. Bila tertinggal, apapun dayamu harus kamu jemput kembali. Inilah amanah sakral itu , kalian semuanya harus bertanggung jawab). Titah Reje Linge ini diteliti dan dikaji secara mendalam oleh DR Joni melalui premestike ( Falsafah Gayo). Penilitian ini juga cukup lama, mencapai 4 tahun, dengan sejumlah pengorbanan bukan hanya waktu, tenaga dan pikiran, namun munajat doa kepada Allah, agar barang yang terpendam itu didapati kembali. (tim Pawai PKA AT)
waspada
Jumat
Joni:RENUNGAN FAJAR 10 Agust السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم Merinci sejumlah keutamaan Tahajjud/ Sholat Malam. Beliau bersabda, "Biasakanlah mengerjakan Sholat Malam. Sesungguhnya, (1) Sholat Malam itu kebiasaan orang2 Sholeh sebelum kamu, (2) Sarana bagimu untuk mendekatkan diri kepada اللهِ, (3) Penjaga dirimu dari berbagai keburukan, (4) Penghapus aneka Dosa yang telah kamu perbuat, dan (5) Pengusir berbagai Penyakit dari dalam tubuhmu" (Hadist Riwayat Tirmidzi, Thabrani dari Salman Al-Farisi) Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda, “Setiap Hari اللهِ سبحانه وتعالى turun ke Langit Dunia ketika 1/3 malam terakhir, lalu اللهِ سبحانه وتعالى Berfirman: ”Siapa yang ber-Do'a akan AKU Kabulkan, siapa yang meminta akan AKU beri, dan siapa yang Memohon Ampunan akan AKU ampuni” (Hadist Riwayat Bukhari- dan Muslim) Sahabat2 RF: Firmanاللهِ A'udzubillahiminasy syaithonirojiim "Pada sebagian malam hari Sholat Tahajjudlah kamu sebagai suatu Ibadah tambahan bagimu, mudah2an اللهِ Mengangkat kamu ketempat yang terpuji" (Surat al-Israa : 79)
Sekretariat PKA-7 ATeng
Jumat
B:https://www.harianaceh.co.id/2018/08/10/salman-yoga-sudah-waktunya-pka-digelar-bergilir/
Sekretariat PKA-7 ATeng
Jumat
Sek:
Sekretariat PKA-7 ATeng
Sabtu
B:http://lintasgayo.co/2018/08/11/pelaksanaan-pka-selanjutnya-sebaiknya-digelar-di-daerah
Sekretariat PKA-7 ATeng
Sabtu
Zulham:
Sekretariat PKA-7 ATeng
Minggu
Zulfikar:BESOK, SENIN 13 Agustus 2018 1. Panggung Apresiasi Taman Ratu Syafiatuddin Ada 5 jenis eksebisi permainan rakyat, sesuai juknis 2. Lomba Melukis Jam 10:00 - 18:00 Lokasi : Taman Bustanus Salatin (Taman Sari) 3. Seminar Budaya Jam 08:00 -17:00 Lokasi : Anjung Mon Mata Peserta : Nama peserta seminar Budaya 1. Dr. Joni, 2. Drs. Muhammad Syukri, M.Pd 3. Iwan Asri, 4. Salman Yoga, 5. Bachtiar Gayo, 6. Mustafa, S.Pd, 7.Zahara Zakaria, 8. Win Ruhdi Bathin Catatan : nama yang dicoret sudah memastikan tidak dapat hadir ke Banda Aceh. Bagi yang berminat mengikuti seminar dapat menghubungi Ibu Zahara Zakaria, (0813 6005 3264)
My Wife
Minggu
Tari Sining Hampir Punah, Kini Muncul Di PKA 7 Banda Aceh (Waspada): Sining, adalah tarian sakral. Tarian ini hanya dipergunakan untuk raja. Tarian Sining terahir kali dipraktekan tahun 1942. Ketika itu dilangsungkan pendirian rumah adat untuk raja Syiah Utama dipinggiran Danau Lut Tawar, Aceh Tengah. Memasuki masa penjajahan Jepang, tarian sakral ini dilarang untuk ditampilkan. Sining merupakan tarian yang harus memiliki keahlian khusus. Penarinya pemuka adat, dimainkan di atas tiang bara lintang rumah, dengan ketinggian 8 meter dari tanah.Tidak semua orang bisa memainkanya. Setelah tahun 1942, tari ini tidak pernah lagi muncul kepermukaan. Karena tari itu “punah”, maka dilakukanlah penelitian. Kebetulan saksi hidup, Arifin Banta Cut, yang merupakan keturunan dari Raja Syiah Utama, masih sehat dan mampu memberikan keterangan. Dosen Gajah Putih ini, saat itu berumur 10 tahun. Arifin Banta Cut berkesempatan menyaksikan bagaimana tari Sining itu dimainkan, ketika itu kakeknya dinobatkan menjadi Raja Syiah Utama pada tahun 1942. Mantan kepala BP7 Aceh Tengah ini, memberikan penjelasan detil tentang tari Sining. Dari hasil penelitian yang dilakukan Salman Yoga, Tari Sining itu kini dapat disaksikan publik. Gerakanya memang unik dan dimainkan di atas dulang ( bentuk bulat seperti tampah, terbuat dari kuningan dan tembaga, sering dipergunakan untuk meletakan kapur sirih, saat digelar pesta perkawinan dan sering diletakan di sisi kiri dan kanan pelaminan). Gerakan tari Sining ini, menurut Salman, sesuai hasil penelitianya yang waktunya hanya tiga bulan atas ijin Menteri Kebudayaan, gerakanya berasal dari belibis langka. Wo dan punguk. ( Wo adalah sejenis belibis –itik, di hutan yang ukuranya lebih besar dari itik biasa, bulunya indah, berwarna warni, hitam mengkilat). Gerakan yang bagaikan ada mistis itu, ahirnya tercipta kembali setelah Ana Kobath, seorang pelatih tari membantu penelitian ini. Peragaan tari itu dipraktekan dihadapan Arifin Bantu Cut (86 tahun), yang ketika dia kecil menyaksikan tarian itu. Saat tari itu sudah “sempurna”, untuk pertama kalinya setelah tahun 1942, kembali dimunculkan ke publik. Tari Sining “menggegerkan” publik dan sempat menjadi perdebatan. Apalagi dimainkan di atas dulang. Paska tahun 1942, baru pada Januari 2018 tari itu kembali ditampilkan. Penampilan perdana paska nyaris punah ini, dilangsungkan saat penobatan Bupati dan wakil bupati Aceh Tengah (Shabela Abubakar- Firdaus), awal Januari 2018 di pendopo Aceh Tengah. Lokasi tarinya bukan lagi di atas bara lintang, tiang rumah, yang ketinggianya 8 meter. Namun, diperagakan di atas dulang. Tari diatas dulang ini memunculkan banyak kritikan pada awalnya, karena dianggap tidak etis. Menurut Salman, tari ini ada di atas dulang dan ada di atas bara lintang rumah. Untuk mendirikan rumah raja, saat dilakukan penaikan reje tiang (tiang utama rumah), tarian Sining ini harus dilakukan di atas bara lintang, yang ketinggianya 8 meter dari tanah. Tiang tempat menari ini ukuran lebarnya antara 10 sentimeter sampai 15 sentimeter. Disanalah kemampuan penari diuji dan hanya bisa dilakukan oleh petua adat, dengan keahlian khusus, tidak semua orang dapat melakukanya. Sementara tarian dengan mempergunakan dulang sebagai wadah tempat berpijak dipergunakan untuk Nik ni Reje (penobatan raja) dan munirin reje (memandikan raja). Memandikan raja dilakukan setahun sekali, ketika sang raja sudah melaporkan ke rakyatnya apa yang sudah diperbuat (Saat sekarang ini dalam bentuk Laporan pertanggungjawaban tahunan). Ketika laporan raja diterima, maka raja harus dimandikan ke air bersih, dan harus diiringi dengan tarian Sining. “Memandikan raja ini agar sang raja kembali bersih dalam memimpin setahun ke depanya. Upacara khusus dilakukan, yang disaksikan para petua adat, tengku (ulama), serta raja raja lainya yang diundang,” sebut Arfin Banta Cut, seperti dikutip Salman kepada Media. Karena gerakan tari Sining berasal dari dua hewan, Salman menjadikan dua penari untuk mengikuti gerakan Wo dan Unguk. Bagaimana halusnya gerakan Wo dan Un…
Sekretariat PKA-7 ATeng
Minggu
Tari Sining Hampir Punah, Kini Muncul Di PKA 7 Banda Aceh (Waspada): Sining, adalah tarian sakral. Tarian ini hanya dipergunakan untuk raja. Tarian Sining terahir kali dipraktekan tahun 1942. Ketika itu dilangsungkan pendirian rumah adat untuk raja Syiah Utama dipinggiran Danau Lut Tawar, Aceh Tengah. Memasuki masa penjajahan Jepang, tarian sakral ini dilarang untuk ditampilkan. Sining merupakan tarian yang harus memiliki keahlian khusus. Penarinya pemuka adat, dimainkan di atas tiang bara lintang rumah, dengan ketinggian 8 meter dari tanah.Tidak semua orang bisa memainkanya. Setelah tahun 1942, tari ini tidak pernah lagi muncul kepermukaan. Karena tari itu “punah”, maka dilakukanlah penelitian. Kebetulan saksi hidup, Arifin Banta Cut, yang merupakan keturunan dari Raja Syiah Utama, masih sehat dan mampu memberikan keterangan. Dosen Gajah Putih ini, saat itu berumur 10 tahun. Arifin Banta Cut berkesempatan menyaksikan bagaimana tari Sining itu dimainkan, ketika itu kakeknya dinobatkan menjadi Raja Syiah Utama pada tahun 1942. Mantan kepala BP7 Aceh Tengah ini, memberikan penjelasan detil tentang tari Sining. Dari hasil penelitian yang dilakukan Salman Yoga, Tari Sining itu kini dapat disaksikan publik. Gerakanya memang unik dan dimainkan di atas dulang ( bentuk bulat seperti tampah, terbuat dari kuningan dan tembaga, sering dipergunakan untuk meletakan kapur sirih, saat digelar pesta perkawinan dan sering diletakan di sisi kiri dan kanan pelaminan). Gerakan tari Sining ini, menurut Salman, sesuai hasil penelitianya yang waktunya hanya tiga bulan atas ijin Menteri Kebudayaan, gerakanya berasal dari belibis langka. Wo dan punguk. ( Wo adalah sejenis belibis –itik, di hutan yang ukuranya lebih besar dari itik biasa, bulunya indah, berwarna warni, hitam mengkilat). Gerakan yang bagaikan ada mistis itu, ahirnya tercipta kembali setelah Ana Kobath, seorang pelatih tari membantu penelitian ini. Peragaan tari itu dipraktekan dihadapan Arifin Bantu Cut (86 tahun), yang ketika dia kecil menyaksikan tarian itu. Saat tari itu sudah “sempurna”, untuk pertama kalinya setelah tahun 1942, kembali dimunculkan ke publik. Tari Sining “menggegerkan” publik dan sempat menjadi perdebatan. Apalagi dimainkan di atas dulang. Paska tahun 1942, baru pada Januari 2018 tari itu kembali ditampilkan. Penampilan perdana paska nyaris punah ini, dilangsungkan saat penobatan Bupati dan wakil bupati Aceh Tengah (Shabela Abubakar- Firdaus), awal Januari 2018 di pendopo Aceh Tengah. Lokasi tarinya bukan lagi di atas bara lintang, tiang rumah, yang ketinggianya 8 meter. Namun, diperagakan di atas dulang. Tari diatas dulang ini memunculkan banyak kritikan pada awalnya, karena dianggap tidak etis. Menurut Salman, tari ini ada di atas dulang dan ada di atas bara lintang rumah. Untuk mendirikan rumah raja, saat dilakukan penaikan reje tiang (tiang utama rumah), tarian Sining ini harus dilakukan di atas bara lintang, yang ketinggianya 8 meter dari tanah. Tiang tempat menari ini ukuran lebarnya antara 10 sentimeter sampai 15 sentimeter. Disanalah kemampuan penari diuji dan hanya bisa dilakukan oleh petua adat, dengan keahlian khusus, tidak semua orang dapat melakukanya. Sementara tarian dengan mempergunakan dulang sebagai wadah tempat berpijak dipergunakan untuk Nik ni Reje (penobatan raja) dan munirin reje (memandikan raja). Memandikan raja dilakukan setahun sekali, ketika sang raja sudah melaporkan ke rakyatnya apa yang sudah diperbuat (Saat sekarang ini dalam bentuk Laporan pertanggungjawaban tahunan). Ketika laporan raja diterima, maka raja harus dimandikan ke air bersih, dan harus diiringi dengan tarian Sining. “Memandikan raja ini agar sang raja kembali bersih dalam memimpin setahun ke depanya. Upacara khusus dilakukan, yang disaksikan para petua adat, tengku (ulama), serta raja raja lainya yang diundang,” sebut Arfin Banta Cut, seperti dikutip Salman kepada Media. Karena gerakan tari Sining berasal dari dua hewan, Salman menjadikan dua penari untuk mengikuti gerakan Wo dan Unguk. Bagaimana halusnya gerakan Wo dan Un…
Mushumas
Minggu
Tari Sining Hampir Punah, Kini Muncul Di PKA 7 Banda Aceh (Waspada): Sining, adalah tarian sakral. Tarian ini hanya dipergunakan untuk raja. Tarian Sining terahir kali dipraktekan tahun 1942. Ketika itu dilangsungkan pendirian rumah adat untuk raja Syiah Utama dipinggiran Danau Lut Tawar, Aceh Tengah. Memasuki masa penjajahan Jepang, tarian sakral ini dilarang untuk ditampilkan. Sining merupakan tarian yang harus memiliki keahlian khusus. Penarinya pemuka adat, dimainkan di atas tiang bara lintang rumah, dengan ketinggian 8 meter dari tanah.Tidak semua orang bisa memainkanya. Setelah tahun 1942, tari ini tidak pernah lagi muncul kepermukaan. Karena tari itu “punah”, maka dilakukanlah penelitian. Kebetulan saksi hidup, Arifin Banta Cut, yang merupakan keturunan dari Raja Syiah Utama, masih sehat dan mampu memberikan keterangan. Dosen Gajah Putih ini, saat itu berumur 10 tahun. Arifin Banta Cut berkesempatan menyaksikan bagaimana tari Sining itu dimainkan, ketika itu kakeknya dinobatkan menjadi Raja Syiah Utama pada tahun 1942. Mantan kepala BP7 Aceh Tengah ini, memberikan penjelasan detil tentang tari Sining. Dari hasil penelitian yang dilakukan Salman Yoga, Tari Sining itu kini dapat disaksikan publik. Gerakanya memang unik dan dimainkan di atas dulang ( bentuk bulat seperti tampah, terbuat dari kuningan dan tembaga, sering dipergunakan untuk meletakan kapur sirih, saat digelar pesta perkawinan dan sering diletakan di sisi kiri dan kanan pelaminan). Gerakan tari Sining ini, menurut Salman, sesuai hasil penelitianya yang waktunya hanya tiga bulan atas ijin Menteri Kebudayaan, gerakanya berasal dari belibis langka. Wo dan punguk. ( Wo adalah sejenis belibis –itik, di hutan yang ukuranya lebih besar dari itik biasa, bulunya indah, berwarna warni, hitam mengkilat). Gerakan yang bagaikan ada mistis itu, ahirnya tercipta kembali setelah Ana Kobath, seorang pelatih tari membantu penelitian ini. Peragaan tari itu dipraktekan dihadapan Arifin Bantu Cut (86 tahun), yang ketika dia kecil menyaksikan tarian itu. Saat tari itu sudah “sempurna”, untuk pertama kalinya setelah tahun 1942, kembali dimunculkan ke publik. Tari Sining “menggegerkan” publik dan sempat menjadi perdebatan. Apalagi dimainkan di atas dulang. Paska tahun 1942, baru pada Januari 2018 tari itu kembali ditampilkan. Penampilan perdana paska nyaris punah ini, dilangsungkan saat penobatan Bupati dan wakil bupati Aceh Tengah (Shabela Abubakar- Firdaus), awal Januari 2018 di pendopo Aceh Tengah. Lokasi tarinya bukan lagi di atas bara lintang, tiang rumah, yang ketinggianya 8 meter. Namun, diperagakan di atas dulang. Tari diatas dulang ini memunculkan banyak kritikan pada awalnya, karena dianggap tidak etis. Menurut Salman, tari ini ada di atas dulang dan ada di atas bara lintang rumah. Untuk mendirikan rumah raja, saat dilakukan penaikan reje tiang (tiang utama rumah), tarian Sining ini harus dilakukan di atas bara lintang, yang ketinggianya 8 meter dari tanah. Tiang tempat menari ini ukuran lebarnya antara 10 sentimeter sampai 15 sentimeter. Disanalah kemampuan penari diuji dan hanya bisa dilakukan oleh petua adat, dengan keahlian khusus, tidak semua orang dapat melakukanya. Sementara tarian dengan mempergunakan dulang sebagai wadah tempat berpijak dipergunakan untuk Nik ni Reje (penobatan raja) dan munirin reje (memandikan raja). Memandikan raja dilakukan setahun sekali, ketika sang raja sudah melaporkan ke rakyatnya apa yang sudah diperbuat (Saat sekarang ini dalam bentuk Laporan pertanggungjawaban tahunan). Ketika laporan raja diterima, maka raja harus dimandikan ke air bersih, dan harus diiringi dengan tarian Sining. “Memandikan raja ini agar sang raja kembali bersih dalam memimpin setahun ke depanya. Upacara khusus dilakukan, yang disaksikan para petua adat, tengku (ulama), serta raja raja lainya yang diundang,” sebut Arfin Banta Cut, seperti dikutip Salman kepada Media. Karena gerakan tari Sining berasal dari dua hewan, Salman menjadikan dua penari untuk mengikuti gerakan Wo dan Unguk. Bagaimana halusnya gerakan Wo dan Un…
Sekretariat PKA-7 ATeng
Minggu
foto untuk tari sining, terima kasih Salman Yoga atas fotonya
Lihin Lg
Minggu
Tari Sining Hampir Punah, Kini Muncul Di PKA 7 Banda Aceh (Waspada): Sining, adalah tarian sakral. Tarian ini hanya dipergunakan untuk raja. Tarian Sining terahir kali dipraktekan tahun 1942. Ketika itu dilangsungkan pendirian rumah adat untuk raja Syiah Utama dipinggiran Danau Lut Tawar, Aceh Tengah. Memasuki masa penjajahan Jepang, tarian sakral ini dilarang untuk ditampilkan. Sining merupakan tarian yang harus memiliki keahlian khusus. Penarinya pemuka adat, dimainkan di atas tiang bara lintang rumah, dengan ketinggian 8 meter dari tanah.Tidak semua orang bisa memainkanya. Setelah tahun 1942, tari ini tidak pernah lagi muncul kepermukaan. Karena tari itu “punah”, maka dilakukanlah penelitian. Kebetulan saksi hidup, Arifin Banta Cut, yang merupakan keturunan dari Raja Syiah Utama, masih sehat dan mampu memberikan keterangan. Dosen Gajah Putih ini, saat itu berumur 10 tahun. Arifin Banta Cut berkesempatan menyaksikan bagaimana tari Sining itu dimainkan, ketika itu kakeknya dinobatkan menjadi Raja Syiah Utama pada tahun 1942. Mantan kepala BP7 Aceh Tengah ini, memberikan penjelasan detil tentang tari Sining. Dari hasil penelitian yang dilakukan Salman Yoga, Tari Sining itu kini dapat disaksikan publik. Gerakanya memang unik dan dimainkan di atas dulang ( bentuk bulat seperti tampah, terbuat dari kuningan dan tembaga, sering dipergunakan untuk meletakan kapur sirih, saat digelar pesta perkawinan dan sering diletakan di sisi kiri dan kanan pelaminan). Gerakan tari Sining ini, menurut Salman, sesuai hasil penelitianya yang waktunya hanya tiga bulan atas ijin Menteri Kebudayaan, gerakanya berasal dari belibis langka. Wo dan punguk. ( Wo adalah sejenis belibis –itik, di hutan yang ukuranya lebih besar dari itik biasa, bulunya indah, berwarna warni, hitam mengkilat). Gerakan yang bagaikan ada mistis itu, ahirnya tercipta kembali setelah Ana Kobath, seorang pelatih tari membantu penelitian ini. Peragaan tari itu dipraktekan dihadapan Arifin Bantu Cut (86 tahun), yang ketika dia kecil menyaksikan tarian itu. Saat tari itu sudah “sempurna”, untuk pertama kalinya setelah tahun 1942, kembali dimunculkan ke publik. Tari Sining “menggegerkan” publik dan sempat menjadi perdebatan. Apalagi dimainkan di atas dulang. Paska tahun 1942, baru pada Januari 2018 tari itu kembali ditampilkan. Penampilan perdana paska nyaris punah ini, dilangsungkan saat penobatan Bupati dan wakil bupati Aceh Tengah (Shabela Abubakar- Firdaus), awal Januari 2018 di pendopo Aceh Tengah. Lokasi tarinya bukan lagi di atas bara lintang, tiang rumah, yang ketinggianya 8 meter. Namun, diperagakan di atas dulang. Tari diatas dulang ini memunculkan banyak kritikan pada awalnya, karena dianggap tidak etis. Menurut Salman, tari ini ada di atas dulang dan ada di atas bara lintang rumah. Untuk mendirikan rumah raja, saat dilakukan penaikan reje tiang (tiang utama rumah), tarian Sining ini harus dilakukan di atas bara lintang, yang ketinggianya 8 meter dari tanah. Tiang tempat menari ini ukuran lebarnya antara 10 sentimeter sampai 15 sentimeter. Disanalah kemampuan penari diuji dan hanya bisa dilakukan oleh petua adat, dengan keahlian khusus, tidak semua orang dapat melakukanya. Sementara tarian dengan mempergunakan dulang sebagai wadah tempat berpijak dipergunakan untuk Nik ni Reje (penobatan raja) dan munirin reje (memandikan raja). Memandikan raja dilakukan setahun sekali, ketika sang raja sudah melaporkan ke rakyatnya apa yang sudah diperbuat (Saat sekarang ini dalam bentuk Laporan pertanggungjawaban tahunan). Ketika laporan raja diterima, maka raja harus dimandikan ke air bersih, dan harus diiringi dengan tarian Sining. “Memandikan raja ini agar sang raja kembali bersih dalam memimpin setahun ke depanya. Upacara khusus dilakukan, yang disaksikan para petua adat, tengku (ulama), serta raja raja lainya yang diundang,” sebut Arfin Banta Cut, seperti dikutip Salman kepada Media. Karena gerakan tari Sining berasal dari dua hewan, Salman menjadikan dua penari untuk mengikuti gerakan Wo dan Unguk. Bagaimana halusnya gerakan Wo dan Un…
Sekretariat PKA-7 ATeng
Minggu
Joni:
Lihin Lg
Minggu
hana kati ara waspada e pak,gere ke salah kirim bapak..?
Salman Yoga
Kemarin
Buge bg ge
Chatting
Salman Yoga
Terakhir dilihat hari ini pada 12:33
MINGGU
20:20
20:20
20:20
20:20
20:20
20:20
20:20
20:20
20:20
20:20
20:20
20:20
20:20
20:25
20:25
KEMARIN
Man lupen aku, foto mane tari guwel rum hana?
13:01
Musik tradisi uluh guel
13:04
Ok. Hafal keko Sahan koordinator musik tradisi rum koordinator tari guwel
13:25
Uluh Guel (Yusrizal). Guel (Erni dan Ana Kobat)
13:29
Bang Buyung Pendere
13:30
Pesan
Tambahkan ke grup
Ana Cobat
13:30
Pesan
Tambahkan ke grup
Ok berejen
13:34
LG ni kuerah asal ku kirim tulisan tir nek ne. Mus humas pe beta, ter sebar ne berita ni ku grub wartawan. buge gaung pemberitaan te makin jeroh. amin.
17:00
Buge bg ge
17:14
Ketik pesan