Jakarta | Lintas Gayo – Di luar perkiraan, peserta Temu Ramah dan Pemutaran Film Radio Rimba Raya ramai memenuhi Asrama Lut Tawar Jakarta, Jakarta Selatan, Minggu (2/10).
Dalam laporannya, Win Noto Gayo mengajak agar mahasiswa Gayo yang hadir dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi untuk merenungkan pesan moral orang tua mereka di tanoh tembuni: beloh ara si rai, ulak ara si mai; enti beta beluh, beta ulak; dan beloh bedepos, ulak bedepes. Selain itu tambahnya, ke nome-nome pelen esen, nguk^ken ulak ku Gayo.
Oleh karena itu, kita juga perlu berbuat dan membuat perubahan nantinya untuk tanoh tembuni. Pastinya, ajakanya, harus membekali dan mulai dari diri sendiri. Turut hadir dalam pertemuan itu, beberapa alumni Asrama Lut Tawar Jakarta. Bahkan, ada yang menyempatkan hadir dari Takengon. Juga, tampak Syuhada Ara Gayo dan beberapa pengurus Forum Komunikasi Gayo Linge (FKGL)
Sementara itu, Yuhdi Saffuan, mewakili alumni Asrama Lut Tawar “orang tua” mengaku senang melihat perkembangan yang terjadi. “Ini luar biasa dan yang datang hari ini cukup ramai dibandingkan masa saya dulu,” sebutnya. Semoga, harapnya, kegiatan-kegiatan ini dapat terus dihidupkan di tempat ini. Asrama ini tegasnya, milik orang Gayo—Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Dan bukan miliki orang Takengon.
Setelah pemutaran Film Dokumenter Radio Rimba Raya yang merupakan nominasi terbaik Festival Film Indonesia 2010 dan jadi nominator dalam Festival Film Dokumenter Yogyakarta, dilanjutkan dengan diskusi terbuka yang diisi Ikmal Gopi (Sutradara Film), Zuhri Sinatra (Pemerhati Radio Rimba Raya), Agam Ilyas (Creative Team), dan Yusradi Usman al-Gayoni (Motivator)
Dalam pengantarnya, Ikmal Gopi menyebut, ide awal pembuatan film ini sudah ada sejak 2002. Pada saat itu, referensi radio ini sangat terbatas. “Makanya, saya mulai melakukan riset. Saat riset berjalan, ternyata prosesnya semakin rumit. Karena, rangkaian sejarah radio ini terkait pula dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat dan Yogyakarta,” jelasnya.
Saat itu dia merasa tidak mungkin lagi mundur. Walaupun ada kendala di sana-sini, termasuk finansial. “Alhamdulillah, ada saja yang membantu dalam bentuk uang, mulai Rp. 50.000,- sampai yang paling banyak dari Parni Hadi, Direktur RRI, sebesar Rp. 10 juta,” ungkap alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini.
Harap Ikmal, sejarah Radio Rimba Raya bisa jadi muatan lokal secara nasional. Paling tidak, dimulai dari Aceh dulu. Lebih kecil dari, dari Gayo—empat kabupaten.
Secara terpisah sebelum acara dimulai, Ikmal menegaskan, terkait Radio Rimba Raya, Syafruddin Prawira Negara tidak pernah datang ke Gayo. Hal itu diperkuat Yusradi Usman al-Gayoni. Penegasan Mr. Syaf tidak pernah ke Gayo, ungkapnya, didapatinya dari keluarga saat peringatan Seabad Syafruddin Prawiranegara yang digagas A.M. Fatwa di Dewan Perwakilan Daerah (DPD Republik Indonesia beberapa waktu yang lalu
Sementara itu, dalam paparannya, Zuhri menjelaskan, Radio Rimba Raya sangat berperan dalam menyuakan Republik ini. “Kalau lah radio ini tidak ada, bisa jadi, bentuk perjuangkan kita sudah lain,” katanya.Dan, sambungnya, bisa-bisa asrama Lut Tawar pun tidak ada.
Di lain pihak, Yusradi Usman al-Gayoni, bertalian dengan paparan Ikmal Gopi, mengajak mahasiswa Gayo yang hadir untuk dapat menguatkan dokumentasian dan publikasi. “Karena itulah kelemahan Gayo. Dan untuk menguatkan itu, momen hari ini, kita jadikan pijakan bersama ke sana,” ajaknya.
Terakhir, Agam Ilyas, menyebut, Gayo memang masih kurang dokumentasi dan publikasi. Juga, sambungnya, masih kurang marketer dan tokoh. “Karenanya, adik-adik yang hobi menulis, tulis-lah Gayo. yang bersyair, syairkanlah Gayo, yang gemar fotografi, foto dan publish-lah Gayo,” ajak producer Nyawoung Aceh ini (Faiz)