Dulu saya berpikir, seseorang belum bisa disebut sebagai supir yang handal jika belum mencoba rute Takengen-Bireuen, 101 Km bukan jarak yang dekat apalagi dengan tanjakan, turunan dan kelokan yang serba tajam.
Jadi tidak heran ketika menggunakan kendaraan umum banyak yang mabuk darat di rute ini. Seperti saat saya hendak pulang dari Takengen ke Bireuen menggunakan L300, seorang perempuan usia belasan tahun yang duduk di depan saya mabuk darat parah, ia sampai belasan kali muntah, sang supir yang sepertinya tidak ingin membuat penumpang yang lain merasa terganggu dengan “atraksi” tersebut ia memutar kencang lagu dangdut remix kesukaannya. Saat itu saya hanya bisa memandang ke luar jendela, berpikir keras diantara kelokan jalan apa yang sebaiknya saya dengar, “atraksi” sang perempuan atau lagu dangdut remix kesukaan sang supir.
Pikiran seorang supir handal tersebut terpatahkan saat saya ditugaskan ke Gayo Lues. Untuk pertama kalinya saya ke Gayo Lues pada awal Ramadhan 2011 ini dan sendirian. Sebenarnya saya sudah biasa bepergian sendirian, tapi entah kenapa ada hal berbeda yang saya rasakan, tentang isu bahwa perjalanannya melewati hutan-hutan, jalan yang rusak ditambah lagi saya baru tahu akan pergi sehari sebelum berangkat.
Dengan menaiki L300 saya berangkat pukul 10.00 pagi dari Takengen, tiketnya seharga Rp.80.000. Hanya ada saya yang duduk di samping supir dan seorang bapak di bangku belakang. Syukurnya sang supir tidak menyukai lagu dangdut remix, ia memutar pelan Lagu Gayo dan lagu daerah lainnya yang saya tidak tahu apakah itu Bahasa Alas atau Batak. Asal jangan lagu remix bathin saya.
Paling jauh perjalanan saya setelah melewati Pegasing adalah Atu Lintang, itupun terakhir kali saat saya masih duduk di bangku SMP dan Pedekok, maka ketika L300 melaju kencang meninggalkan Pedekok saya langsung menyiapkan kamera digital, tidak ingin kehilangan moment. Jalan nasional yang menghubungkan Takengen-Belang Kejeren semakin lama semakin menyempit. Hanya cukup untuk satu mobil dan satu sepeda motor. Sang supir harus extra waspada karena tikungan yang tajam membuat supir jarang mengetahui ada kendaraan dari arah yang berlawanan.
Saya yang duduk di line depan sering shock karena sang supir sendiri sering merasa terkejut dan seperti tidak siap ketika bertemu dengan kendaraan lainnya, syukur saya bukan orang yang suka teriak saat di mobil, hanya menggigit bibir, menelan ludah pahit, membaca doa dalam hati dengan jantung yang berdegup sangat kencang dan kepala yang berdenyut-denyut.
Masalahnya bukan hanya karena jalan yang kecil dan tikungan yang tajam, tetapi juga karena pilihannya menabrak gunung/bukit atau terjun bebas ke jurang. Ditambah lagi pembatas jalan hanya berupa kertas warna-warni yang ditancapkan di patahan kayu atau potongan police line. Cocok untuk orang-orang yang suka memicu adrenalin.
Ketika melewati pigura Kota Terpadu Mandiri (KTM) Ketapang Nusantara, di Kecamatan Linge, saya menegakkan tubuh yang tersandar di bangku mobil agar dapat melihat dengan jelas bagaimana rupa KTM tersebut. Tetapi saya tidak merasakan “aura kota” dari arah mana pun, ini hanya sebuah kampung yang terdiri dari puluhan rumah bantuan, tidak lebih. Bahkan saya tidak melihat sebuah pasar tradisional, terminal type C atau fasilitas umum lainnya yang membuat kampung ini layak disebut “kota terpadu mandiri”.
Ternyata pigura dan tugu itu hanya simbolik belaka. Ah, saya benar-benar kecewa. Bagaimana bisa dikatakan mandiri kalau para penduduknya masih harus pergi ke Kota Takengen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, belum lagi harus rela berpanas-panasan menunggu kendaraan ke kota yang melewati jalan tersebut setelah berjalan kaki dari ujung kampung, bagaimana jika hujan?
Tempat berteduh saja tidak ada, pohon-pohon jarang, gersang. Bagaimana cara saya menjelaskan kepada teman-teman saya nantinya yang mengerti tentang tata ruang wilayah bahwa inilah kota terpadu mandiri Aceh Tengah, “serba alami”.
Saat melewati perbatasan Aceh Tengah-Gayo Lues saya langsung disambut oleh sejumlah spanduk-spanduk beragam ukuran berisikan “janji-janji manis” dari mereka yang katanya peduli akan daerahnya. Bahkan tentang masalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang masih belum jelas statusnya saja mereka tidak tahu, lalu apa yang akan mereka jadikan pegangan untuk pembangunan daerahnya? Tentu saja itu merupakan pertanyaan retoris dari saya.
Ada pelebaran jalan di beberapa titik ruas jalan, tidak seperti Jalan Cot Panglima yang menggunakan sistem buka-tutup, para pekerja tetap menjalankan tugasnya dan hanya memberikan ruang sedikit untuk para pengguna jalan.
Saat kedua kalinya saya ke Gayo Lues di bulan yang sama namun menggunakan kendaraan dinas, sedang musim hujan. Biasanya di setiap titik pelebaran jalan tersebut ada satu orang yang menjaga, untuk memastikan aman atau tidaknya jalan tersebut dari longsoran tanah atupun batu. Namun saat itu tidak ada seorangpun yang berdiri di tepi jalan, mungkin karena hujan deras.
Supir kami memutuskan untuk langsung jalan karena kalau berhenti ban mobil akan tersangkut/kepater. Dan kami hampir saja ditebas beko, saya yang duduk di belakang supir yang akan kena tebas pertama kali, pilihannya adalah mobil tetap di tempat dengan kaca dan dinding kanan penyok atau terbuang ke jurang. Tapi syukurnya supir beko yang walaupun dalam keadaan sangat terkejut masih bisa mengendalikan bekonya ke arah yang berlawanan dengan kami. Dua beko, yang satu pemecah batu yang satunya lagi pengeruk tanah.
Kami berempat di dalam mobil, dua dari Bandung, saya dan supirnya asli Banda Aceh hanya bisa terdiam sesaat, karena shock hampir ditebas beko. Mereka semua belum pernah sekalipun ke Gayo Lues kecuali saya. Maka mau tidak mau, saya yang paling sulit menghapal jalan, yang paling sering menyasar ketika masih kuliah di Bandung, yang paling sering menelepon teman ketika berjalan sendirian untuk menanyakan ke arah mana harus melangkah, harus menjadi navigator sang supir.
Tidak boleh tidur, tetapi siapa yang akan mengantuk jika baru saja mengalami kejadian seperti tadi ditambah lagi rute ini begitu sepi, kami jarang bertemu dengan kendaraan lainnya. Tetapi syukurnya jalan raya ke Belang Kejeren tidak banyak persimpangan, sehingga mudah saja mengingatnya. Sesampai di kota, masih saja kami menemukan kesulitan yaitu sistem buka tutup Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) karena jika membeli di eceran harga BBM bisa mencapai Rp.9.000-10.000/liter.
Belum lagi di kota ini hanya ada dua unit mesin ATM, BRI dan Bank Aceh, bisa jadi salah satu dari mesinnya kosong seperti yang pernah saya alami, terpaksa mengambil di ATM bank lain atau mengantri di teller ketika kehabisan uang.
Tetapi terlepas dari itu semua, perjalanan Takengen-Gayo Lues benar-benar memberikan kesan yang berbeda, sangat menarik dijadikan sebuah pengalaman, sangat asri. Saran saya periksa kendaraan benar-benar sebelum pergi ke rute ini, sediakan perbekalan yang cukup.
Seluruh jalannya beraspal, dalam keadaan baik, kecuali di beberapa ruas jalan yang sedang mengalami pelebaran. Jika ada yang mengatakan welcome to the jungle saat memasuki Aceh Tengah, maka ketika memasuki rute Takengen-Belang Kejeren ini kita benar-benar merasakan The Real Jungle.
Untuk melihat video foto-foto yang saya captured silahkan mengklik link berikut ini video (Ria Devitariska)