Oleh : Rizki Wan Okta Bina*
Menurut sejarah pada tanggal 09 Desember 2003 , Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan sebuah Konvensi Anti Korupsi (United Nation Conventions Againts Coruption) di Kota Merida Meksiko. Konvensi ini dimaksudkan untuk memerangi tindakan korupsi yang dianggap sudah “merajalela” di dunia. Konvensi ini menghasilkan sebuah deklarasi yang dijadikan sebagai sebuah ikrar bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia, untuk memerangi, memberantas dan mencegah korupsi. Sejak pertemuan itulah tanggal 09 Desember ditetapkan sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia.
Konvensi anti korupsi ini lahir dari sebuah keprihatinan bangsa-bangsa dunia atas ancaman serius yang ditimbulkan korupsi. Saat ini isu kejahatan “terorisme” mungkin isu paling sering diperbincangkan. Namun korupsi ternyata dapat lebih kejam daripada terorisme. Korupsi secara sistematis dapat membunuh sistem demokrasi, nilai-nilai etika, keadilan, merusak sistem perekonomian, menghambat pembangunan, menambah kesengsaraan rakyat dan pada akhirnya secara tidak langsung membunuh lebih banyak orang. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa korupsi adalah “Real Terorism” dan saat ini boleh dibilang sudah menjadi musuh bersama masyarakat dunia.
Indonesia adalah negara yang sejak lama telah berkomitmen untuk memberantas korupsi. Pasa Tanggal 18 April 2006 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi hasil deklarasi dari Konvensi Anti Korupsi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006. Jauh sebelum itu, Indonesia juga memiliki Undang-undang Khusus tentang pemberantasan korupsi yang tertuang dalam UU RI Nomor 31 Tahun 1999, UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Dan UU RI Nomor 28 Tahun 1999 dan UU Nomor 30 Tahun 2002 yang secara khusus membahas tentang Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang dibentuk pada tahun 2003 dengan harapan bdan ini dapat menjadi ujung tombak untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia.
Sebuah langkah kongkrit yang diatas kertas merupakan upaya yang bijak dan luar biasa dari Pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi. Namun harapan Indonesia menjadi sebuah negara yang bebas dari korupsi sampai saat ini boleh dibilang masih “jauh panggang dari api”. Korupsi sudah menjadi semacam budaya ditengah-tengah masyarakat kita. Jumlah kasus-kasus korupsi terus meningkat setiap tahunnya, baik skala kecil, menengah maupun skala besar. Penyelesaian kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh pihak terkait sampai saat ini belum memuaskan dan belum menunjukkan sebuah “keadilan” jika dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindakan korupsi tersebut.
Budaya korupsi yang sekarang sedang terjadi di Indonesia adalah penyakit “Kronis” yang sepertinya semakin sulit untuk disembuhkan. Krisis moral (Morality Crisis) dan krisis spiritual (Spiritual crisis) merupakan penyebab semakin tumbuh suburnya budaya korupsi di Indonesia. Budaya ini berbentuk dalam ide (gagasan), perilaku (tindakan) dan produk (kebijakan) yang semua mengarah kepada semakin mulus dan suburnya budaya korupsi.
Sebagai salah upaya dalam menghadapi korupsi mungkin dapat dengan menganalogikan korupsi sebagai sebuah penyakit. Prinsip seorang dokter dalam menangani sebuah penyakit adalah mengutamakan prinsip preventif (Pencegahan) dan promotif (Peningkatan) baru kemudian kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (rehabilitasi).
Prinsip preventif dan promotif adalah sebuah prinsip yang mengedepankan pencegahan dan penyadaran sedini mungkin. Salah satu upaya menerapkan prinsip preventif dan promotif dalam memberantas korupsi adalah dengan menghasilkan generasi yang bebas dan bersih dari perilaku korupsi. Dalam hal ini, lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, keluarga dan lingkungan masyarakat memiliki peran yang sangat besar. Ketiga elemen ini harus dapat menciptkan iklim pendidikan yang baik dan juga lebih memperhatikan pendidikan moral dan spiritual yang selama ini seperti dikesampingkan. Upaya ini mungkin sudah mulai dilakukan seperti dengan menggalakkan program “Kantin Kejujuran”, namun belum menyeluruh dan terkesan belum konsisten. Penulis sendiri sempat bermimpi suatu saat ada gebrakan dari Pemerintah kita untuk membuat sebuah lembaga pendidikan yang memiliki motto “Sekolah Berstandar Moral”.
Kemudian untuk upaya kuratif (pengobatan), seperti seorang dokter pihak terkait yang berwenang dalam menangani kasus korupsi harus dapat menegakkan diagnosis dengan baik dan benar yang tentunya diagnosis ini didapatkan dengan prosedur yang benar pula. Diagnosis yang benar akan sangat menentukan perawatan yang akan dilakukan. Apabila diagnosisnya adalah hasil rekayasa, maka perwatatannya juga tidak akan tepat.
Seorang dokter juga perlu mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit tersebut. Setelah itu pasien baru diberikan perawatan yang sesuai dengan diagnosis yang telah ditetapkan tadi. Disini takaran dosis yang benar akan menentukan apakah pasien akan sembuh total atau penyakit tersebut kembali lagi. Selama ini sering dosis ini diberikan terlalu sedikit sehingga pada banyak kasus pasien yang telah selesai menjalani perawatan penyakitnya kambuh kembali. Dalam masa perawatan ini pasien juga harus diawasi agar benar-benar mengikuti aturan yang ada.
Karena korupsi ini adalah penyakit “kronis” yang juga memerlukan perawatan rehabilitatif. Perawatan rehabilitatif dalam penanganan kasus korupsi adalah tindakan yang harus menimbulkan “efek jera” bagi pelaku korupsi. Saat ini sedang hangat dibicarakan pemberlakuan hukuman sosial bagi pelaku korupsi. Kita tunggu saja langkah kongkrit dari pemerintah kita untuk upaya menimbulkan upaya “Efek Jera” ini. Sebenarnya ada celah untuk menimbulkan “efek jera” ini dengan mengkombinasikan hukuman pidana resmi dan hukuman adat. Namun saat ini hukuman kekuatan hukum adat semakin melemah. Menjadi sebuah fenomena aneh ketika baru-baru ini seorang mantan pelaku pidana korupsi yang baru menyelesaikan masa hukumannya malah disambut dengan meriah dan upacara adat.
Sebagai sebuah kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa, tanggal 9 Desember yang merupakan hari anti korupsi sedunia mudah-mudahan dapat menjadi momen bagi kita untuk bersama-sama melawan korupsi. Korupsi ini sudah membudaya dan sebuah budaya akan hilang bila penganutnya meninggalkan budaya tersebut. Budaya korupsi ini kita yang menentukan apakah akan tetap ada atau kita hancurkan bersama-sama. Pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab Pemerintah saja, namun kita semua memiliki peran penting terutama dalam langkah mencegah terjadinya korupsi dengan upaya menghasilkan generasi bebas dari korupsi.
——
*Mahasiswa Semester V Kedokteran Gigi Unsyiah/Wartawan Lintas Gayo Banda Aceh/PO Suara Muda Atjeh/Mahasiswa ACIC Gerak Aceh