Keadilan Fatamorgana

Oleh Khairul Rijal*

 

Indahnya gumbalan awan seakan menjadi payung yang manaungi rindangnya tumpukan hijau membentang menjulang tinggi dan menjadi kulit bagi gagahnya pegunungan yang menlingkar dan melilit bumi idonesia, pegunungan dan hutan di indonesia menjadi sumber kehiupan. Corak flora dan fauna menjadi warna yang menghiasi rimbunnya hutan yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan berbangsa. Pegunungan, hutan, tumbuhan dan hewan adalah titipan yang perlu dipertahatikan. Tidak hanya itu, gelombang samudra yang menjulang seakan menantang tingginya awan, tiupaan angin menjadi warna dalam kehidupan di lautan, lautan yang dihuni kumpulan ikan-ikan dan segala yang didalamnya menjadi sumber yang memberi mamfaat dan kehidupan nusantara, inilah bangsa indonesia, bangsa yang mampu berkembang dan mampu memberikan asa bagi kehidupan bermasyrakat.

Akan tetapi apakah paparan diatas telah kita rasakan secara utuh dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, banyak yang perlu kita baca dari fenomena dan kerancuan yang terjadi ditubuh bangsa ini. Nampaknya kepedulian ini perlu dikontemplsasikan agar bangsa ini jauh dari malapetaka. Menurut penulis keadilan adalah kebutuhan bukan tututan akan tetapi kebutuhan yang harus selalu diisi disetiap warna dalam berbagai kegiatan. Kendala yang dihadapi bangsa saat ini ialah subtansi dari keadilan yang terbetur oleh pemimpin dan pejabat yang haus kekuasaan dan gila kehormatan. Bagaimana keadilan bisa berdiri dihalaman rumah kita sendiri jika masih banyak terjadi distorsi terhadap nilai-nilai dari keadilan tersebut.

Keadilan Yang Retak

Keadilan yang kita rasakan saat ini seperti  fatamorgana, dari kejauhan terlihat jelas akan tetapi setelah kita mendekatinya tak dapat kita gapai hanya bayangan saja. Saat ini publik yang sehat masih meragukan posisi manusia yang terus dianak tirikan, ironis jika sektor perekonomian yang terus dibenahi dengan berbagi macam produk yang dimunculkan, akan tetapi  masyrakat masih saja belum merasakan kepuasan terhadap kebijakan yang dilakukan, tingkat kemiskinan dan gelandang semakin membengkak, kekerasan tak kunjumg usai dan kronis korupsi yang semakin menyuburkan kemiskinan, inikahyang disebut keadilan yang jauh dari nilai kejetahteraan?. Dalam jejak pendapat Kompas 19/12/11 menjelaskan ketidakpuasan publik terhadap kondisi politik, sosial dan ekonomi tak mampu menjawab nilai demokrasi dengan reformasi politik yang sudah berjalan 12 tahun lamanya. Hal ini disebabkan peran insituti politik, DPR dan pemerintahan yang memiliki kapasitas kinerja yang tidak memuaskan, ironisnya kesejahteraan menjadi tujuan perubahan politik tidak dirasakan secara utuh. Bangsa kita saat ini seakan memikul beban dosa yang dilakukan oleh para pemimpin yang salah kaprah dalam menjalankan sistem, hal ini berbuntut kepada ketidakpuasan publik terhadap pemerintah.

Dilema Sengketa Lahan

Tragedi mesuji hanyalah segelintir kasus dari banyaknya kasus yang menyelimuti indonesia. Akar permasalahan bermuara pada hilangnya kepemilikan tanah yang dimiliki secara adat dan telah bertahun-tahun menjadi sumber kehidupan hilang disebabkan kepentigan pihak asing, pemerintah dan penegak hukum sepertinya senjang dan tidak berpihak kepada rakyatnya sendiri dan memberikan segala fasilitas terhadap investor asing, menurut catatan wanahan linkungan hidup atau (WALHI), sejak tahun 1989 hingga 2011 terdapat 268 kasus sengketa lahan di Sumatra selatan, di Kalimantan Barat dalam kurun waktu 3 tahun terdapat 280 konflik sengketa lahan. Jika kita tarik kembali pada paparan muggodimah diatas dari artikel keadilan ini, esensi dari dualisme hasil nabati dan bahari yang melimpah ruah tidak mampu memberikan hasilnya kepada rakyat indonesia sendri akan tetapi pihak asinglah yang justru kenyang di bumi pertiwi ini.

Sudah seyogyanya bangsa kita merasakan revitalisasi dari kebosanan publik terhadap ketidakadilan yang runyam ini. Bangsa indonesia ialah bangsa bermultikulturalisme dengan berbagai adat dan suku yang berbeda. Menurut penulis pemerintah mempunyai kewajiban untuk memahami corak budaya yang berbeda agar pendekatan terhadap tranparansi masalah bisa menemukan titik terang. Konfik Mesuji merupakan pelajaran terakhir yang seharusnya menjadi pengalaman yang tak boleh terulang kembali, pertumpahan darah terjadi antara masyarakat indonesia sendiri merupakan tamparan bagi pemerintah yang perlu ditindak lanjuti agar tidak berkepanjangan. Dalam sebuah  hadist menjelaskan yang artiya, “jika pekerjaan itu diberikan kepada seorang yang bukan ahlinya maka tunggulah waktunya”. Dapat kita simpulkan bahwa, retaknya keadilan bangsa saat ini disebabkan pemimpin bangsa yang tidak memiliki etos kerja yang memuaskan. Jika permasalah yang menggurita di tubuh bangsa ini semakin diulur dan di tabung maka jelaslah bahwa para pengatur bangsa ini tidak ahli dalam memerankan singgasan pemerintahan bangsa. Jika subtansi dari demokrasi itu tidak dirasakan secara universal maka konflik yang terjadi di tubuh bangsa akan terjadi secara alami. Harapan publik adalah keadilan dapat dirasakan secara utuh dengan menjalankan sistem dengan kesadaran dan hati nurani agar keadilan tidak menjadi Fatamorgana yang tampak, akan tetapi tidak dapat digapai secara utuh.

*Mahasiswa Jurusan Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.