Oleh BI Purwantari
Malam semakin larut. Jarum jam menunjuk ke angka satu dini hari. Ruangan luas di salah satu gedung Taman Budaya Banda Aceh dipenuhi selaksa manusia yang sesekali bertepuk tangan dan tertawa bergemuruh. Dari arah panggung, terdengar suara berirama melantunkan larik demi larik syair berbahasa Gayo, yang ditingkahi dengan bunyi ritmis tangan menepuk bantal-bantal kecil.
Saat itu, 11 Desember 2010, sedang dipertunjukkan kesenian Didong, sebuah produk budaya tradisional yang sangat populer di masyarakat Gayo. Didong adalah bentuk kesenian yang memadukan sastra, seni suara, dan gerak. Dua grup yang terdiri dari 30-40 laki-laki tampil melantunkan syair diiringi variasi tepuk tangan dan gerak tubuh serempak.
Sementara itu, ratusan penonton asyik menikmati lantunan syair indah berisi nasihat, sindiran, dan informasi aktual di masyarakat. Tak ada insiden apa pun yang terjadi malam itu meskipun para lelaki dan perempuan berkerudung duduk bersebelahan tanpa pembatas, saling berbaur hingga dini hari.
Namun, pada momen lain, sikap berkesenian yang sama sekali berbeda mewarnai Aceh. Sebut saja peristiwa penyelenggaraan konser musik sejumlah grup band terkenal dari Jakarta tahun 2007 di Banda Aceh. Saat itu, rencana konser terpaksa batal sehari sebelum waktu pertunjukan karena sekelompok orang menuduh pentas musik seperti itu akan mendorong terjadinya perbuatan maksiat di kalangan anak muda. Tak hanya itu. Tahun 2008 sejumlah santri di Lhokseumawe memblokade pintu masuk stadion tempat akan diselenggarakannya konser musik yang dianggap melanggar Syariat Islam di Aceh.
Pentas malam
Aceh pascakonflik dan pemberian otonomi khusus mengalami perubahan dalam cara pandang terhadap sikap berkesenian. ”Saat konflik, masyarakat sering khawatir berkegiatan malam hari, termasuk ketika mengekspresikan rasa seninya, terutama bila isinya berupa kritik atas situasi sosial-politik,” tutur Azhari, penyair dan pekerja kebudayaan Komunitas Tikar Pandan.
Pada tahun 1990-an, misalnya, kesenian Didong turut membangkitkan kritisisme terhadap otoritarianisme rezim militer Orde Baru. Ketika itu, di wilayah Aceh Tengah marak terjadi penebangan pohon damar oleh salah satu perusahaan yang diduga milik kroni Soeharto, PT Kertas Kraft Aceh (PT KKA), yang tak memberi manfaat bagi rakyat. Menanggapi ini, Ali Amran, seorang penyair Didong, mencipta syair Uyem (damar) yang isinya mengkritik perlakuan PT KKA terhadap alam Takengon. Sambutan masyarakat cukup antusias sehingga lagu ini dikenal luas melampaui Takengon, bahkan menjadi simbol perlawanan rakyat.
Namun, akibatnya, ”Saya dilarang pentas selama empat tahun,” kata Ali Amran yang berasal dari desa Kenawat Lut, sebuah tempat yang dikenal sebagai daerah asal sejumlah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ataupun Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Ia baru bisa pentas kembali setelah Orde Baru tumbang.
Kini, angin perubahan turut membentuk cara pandang melihat kesenian. ”Sekarang, sebaliknya pemerintah yang sering takut. Mereka takut akan keramaian di malam hari karena sering kali dianggap dapat mendorong perbuatan maksiat,” ujar Azhari lagi.
Tak pelak sejumlah peraturan sesuai Syariat Islam di Aceh pun menjadi syarat agar sebuah pertunjukan kesenian bisa dilaksanakan. Beberapa konser musik yang pernah berlangsung di Aceh memisahkan penonton perempuan dan laki-laki untuk menghindarkan perbuatan maksiat yang ditakutkan akan terjadi. Namun, meskipun prasyarat ini telah dipenuhi, kekhawatiran itu tak juga berkurang, sehingga pemerintah daerah tertentu perlu mengeluarkan surat edaran yang berisi imbauan kepada pimpinan kelompok musik tertentu untuk tak menyelenggarakan kegiatan hiburan malam dengan alasan melanggar Syariat Islam.
”Surat edaran semacam itu dikeluarkan oleh pimpinan daerah Kabupaten Aceh Tengah dan dipasang di kantor pemerintah, tempat umum seperti pasar, serta diumumkan di masjid saat shalat Jumat,” urai Khalisuddin, penulis dan pekerja kebudayaan di Takengon. Alhasil, saat ini pertunjukan musik keyboard tunggal yang mengiringi penyanyi hanya boleh diselenggarakan antara pukul 09.00 dan 17.00 saja.
Sejumlah seniman dan pegiat kebudayaan di Aceh menganggap ketakutan itu berlebihan. ”Itu sangat mengada-ada. Kalau orang mau bermaksiat bisa kapan saja, dalam kesempatan apa pun, tak perlu saat berkesenian,” kata Jauhari Samalanga, pekerja musik dan pendiri Lembaga Budaya Saman.
Di Takengon, pekerja kebudayaan memperlihatkan kekhawatiran itu tidak beralasan. ”Pertengahan tahun 2010, kami menyelenggarakan konser Kangen Band di Takengon hingga jam 24.00 dan dihadiri ratusan penonton. Acara itu berlangsung tertib dan aman-aman saja,” ungkap Khalisuddin. Saat pertunjukan berlangsung, penonton perempuan dan laki-laki dipisah, tetapi setelah selesai konser, jalan-jalan di Takengon dipadati kaum muda, laki-laki dan perempuan, hingga pukul 03.00.
Apa yang terjadi saat ini, menurut Bulman Satar, seorang antropolog Aceh, membuat kehidupan berkesenian terus dilingkupi polemik. ”Dibilang tak boleh, ya, memang enggak boleh, tetapi kadang boleh juga. Ada seorang praktisi kesenian yang mempertanyakan, dulu ada tari Aceh yang ditarikan bersama-sama antara laki-laki dan perempuan. Sekarang sudah ada larangan tidak boleh. Bagaimana ini? Itu, kan, terjadi karena menyangkut tafsir terhadap Syariat Islam. Masalahnya, apakah tafsir itu dilandasi pemahaman yang valid atau semata-mata alasan politis?” paparnya.
Politik kebudayaan
Bahkan, kehidupan kebudayaan pun tak bisa lepas dari politik. Apa yang terjadi di Aceh menunjukkan hal itu. Tarik-menarik izin pentas kesenian menjadi representasi kentalnya politik kebudayaan yang berlandaskan tafsir terhadap agama. Dalam situasi ini, pengembangan kesenian tradisi yang telah mengakar kuat di masyarakat bisa jadi terabaikan. Tak mengherankan jika penyair Didong seperti Ali Amran berucap, ”Perhatian pemerintah daerah untuk pengembangan Didong masih sangat kurang.”
Di sisi lain, politik kebudayaan pemerintah daerah dapat dilihat dari pola pemanfaatan anggaran yang disediakan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh tahun 2010 tercatat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh menganggarkan sekitar Rp 41,02 miliar untuk program pengembangan kebudayaan dan pariwisata, di luar anggaran untuk belanja pegawai. Dari jumlah itu, proporsi dana yang dianggarkan untuk program kebudayaan hanya berkisar 10 persen (Rp 10,598 miliar), jauh lebih rendah dibandingkan dengan program untuk pengembangan pariwisata yang mencapai Rp 28,93 miliar (70,5 persen).
Dari jumlah total itu, hanya sekitar 13,54 persen dimanfaatkan untuk program pengembangan kebudayaan yang di dalamnya mencakup penyelenggaraan dialog kebudayaan (Rp 106,7 juta), pembinaan dan evaluasi sanggar kesenian (Rp 269 juta), serta festival seni dan pagelaran budaya (Rp 140 juta).
Proporsi anggaran seperti ini menunjukkan apa yang oleh Bulman Satar dikatakan sebagai pemahaman kebudayaan sebagai benda mati, artefak, dan karena itu dia menjadi bagian kecil dari pariwisata, komoditas pariwisata. Menurutnya, ”Pemajuan kebudayaan tak bisa memakai logika ekonomi semata. Enggak nyambung itu.”
Bisa jadi, cara pandang seperti ini yang menyebabkan, seperti dituturkan Jauhari Samalanga, ”Jarang sekali ada acara di Taman Budaya. Acara kebudayaan yang besar seperti Pekan Kebudayaan Aceh tahun 2008 pun tidak melibatkan seniman, tetapi orang-orang (kantor) dinas. Kegiatan kebudayaan berlangsung karena ada uang semata.” Lantas, masih adakah ruang-ruang bagi sikap berkesenian yang berpihak pada pemajuan kebudayaan Aceh?
(Litbang Kompas)