Oleh Khairul Rijal*
Cermin kehidupan bergerak dalam lingkaran siklus dan diatur oleh sistem rasional yang bisa ditangkap oleh nalar kemanuisaan, artinya kehidupan manusia telah diatur oleh tangan Tuhan melalui pergantian siang dan malam. Sigot fenomena alam ini dirumuskan oleh mahluk yang berakal dalam sistem nalar 12 bulan dalam setahun, 7 hari dalam seminggu dan 24 jam dalam sehari yang lebih akrab disebut masa (waktu).
Seiring berjalannya waktu, kehidupan manusia semakin komplek. Artinya, perkembangan zaman dari masa ke-masa secara global terus meningkat sehingga memberikan efek beban bagi manusia untuk bejuang dan bertahan melawan arus globalisasi waktu yang semakin meningkat. Implikasinya, secara rasio semakin kedepan semakin lebih baik dan mengambil lembaran akhir sebagai pengalaman adalah guru terbaik.
Di tengah pesatnya perkembangan dengan kompleknya sajian tatangan yang dihadapi manusia yang terus bertahan secara ekonomi, sosial dan politik menjadikan awal tahun memiliki arti lebih luas dengan berbagai tujuan yang dimiliki manusia, akan tetapi inti dari tujuan tersebut pada dasarnya bermuara kepada perubahan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik secara universal.
Akan tetapi potret pergantian tahun yang rutin diperingati dengan awal kebahagian harus ditutup dengan gejolak dilema dramatis dengan hiruk-pikuk permasalahan yang jalan ditempat, tak lepas dari krisis multidimensi yang berkelanjutan akibat sistem demokrasi tak mampu menjawab keluhan publik yang semakin menimbulkan konflik tragis secara alami. Akhir tahun yang menjadi lembaran akhir dari segala aktifitas kehidupan berbangsa dan bernegara masih saja dibayang-bayangi oleh masalah budaya haus kekuasaan dan terbelenggu dalam lingkaran setan hedonistis. Secara ekplisit sigot hedonisme memang tidak dirasakan, akan tetapi dampak secara implisit cukup kuat untuk memberikan bukti bahwa negara kita masih gemar menabung masalah dengan berbagai koflik yang tak kunjung usai.
Api Tikai dan Akar Masalah
Jika kita tarik ulur kembali dilema permalahan yang hinggap ditubuh bangsa diakhir tahun ini mempuyai dua opsi yang saling berkesinambungan. Artinya permasalahan yang datang silih berganti masih saja dibalut dengan bingkisan masalah lama yang menimbulkan reaksi terhadap masalah baru, berawal dari kasus Century dengan dugaan penyimpangan dalam pemberian dana talangan sebesar Rp6,7 triliun yang ujung-ujungnya menjadi panggung drama politik dan dijadikan sebagai alat kompromi, dari hari ke hari bahkan sampai ke tahunpun masalah ini belum menemukan titik terang.
Tak cukup disini esensi pajak dari masyarakat untuk pemerintah menjadi ajang pembicaraan disaat peristiwa “tangan kotor” Gayus Tambunan yang menyelip jari manisnya untuk kepentingan pribadi yang tak terhitung berapa nilai sebenarnya. Nazaruddin dengan kasus suap Wisma Atlet dan kasus Nunun Nurbeiti dengan kasus suap Deputi Gubenur Senior Bank Indonesia dan berbagai kasus suap-menyuap dan tindakan hina korupsi dari pusat hingga daerah merupakan akar permasalahan yang dari tahun ke tahun yang semakin menjatuhkan martabat bangsa sendiri, sampai saat ini bangsa kita masih terbelenggu oleh kotornya karpet pemerintahan yang diisi oleh segelintir insan yang luput dari moral dan mempertontonkan gaya hidup hedonistis sehingga bangsa ini jauh dari ensensi demokrasi karena tindakan keadilan telah di telan oleh budaya haus kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Dampak yang terjadi di lembaran akhir tahun ini adalah api tikai semakin membara dengan gejolak aksi yang semakin tak masuk akal. Pada akhirnya rentetan dilema ini tak berhenti begitu saja bahkan sampai merenggut nyawa anak bangsa dengan aksi membakar diri yang datang dari hati nurani. Dua kasus berdarah Mesuji dan Bima akibat dilema sengketa lahan semakin membuktikan bahwa pendekatan secara agrari tak bisa selsaikan secara damai bahkan jauh bertolak belakang dengan ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001, tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, jika penanganan ini semakin jauh dari hati nurani dengan sistem yang ada, maka 103 wilayah berpotensi memicu konflik SDM dan 153 kasus pertambangan yang sudah dan sedang terjadi menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) akan berujung sama seperti konflik Mesuji dan Bima di lemabaran tahun baru yang akan datang.
Kontemplasi
Kontemplasi yang berarti renungan yang disertai kebulatan pikiran. Kontemplasi merupakan temeng pertahan yang harus diakui dan dilakukan oleh setiap individu yang hidup berbangsa dan bernegara. Sudah seyogyanya setiap napas dari kita merasakan fakta kedamaian tanpa harus berkorban dan menjadi korban. Kontemplasi menjadi penyegar yang absolut jika kita benar-benar melakukannya dari diri sendiri karena segala tindakan negatif berawal dari diri sendiri.
Bangsa dengan sistem demokrasi yang penuh pesona ini harus mengembalikan dekorasi keadilan dan kesejahteraan secara utuh dengan merenungkan betapa rakyat hanya menjadi objek transaksi demokrasi akibat gila kekuasaan yang dipenuhi lingkaran hawa nafsu tak pandang hati. Lembaran akhir tahun yang penuh retorika dan drama nyata ini harus ditutup dengan rasa optimisme bahwa budaya lama yang tak kunjung usai akan berakhir dengan kontemplasi dan apresiasi yang konkret.
Penulis juga merenungkan sedikit ungkapan dari Noam Chomsky, seorang pakar linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts, Amerika Serikat, tentang pertimbangan etis politik dan ekonomi yang bersumber pada hati nurani akan membentuk sistem demokrasi partisipatif yang dapat mewujudkan keadilan.
*Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta Aktif di HMI Cabang Cireunde.