by

Raja Linge Dalam Mitos

Setiap daerah punya ragam cerita, namun cerita turun temurun itu kadang kala lebih dekat pada mitos tinimbang sejarah. Begitu juga dengan Negeri Linge di dataran tinggi Gayo.

Menurut mitos dari orang-orang Gayo, istri Raja Linge berasal dari Negeri Rum. Mereka memiliki seorang putra yang waktu lahirnya terbungkus dengan kulit yang tipis. Orang Aceh mengenal kelahiran seperti itu sebagai bayi yang meusarong.

Mereka malu memiliki putra yang meusarong, karena itu bayi tersebut dimasukkan ke dalam satu peti yang berisi kain dan emas, lalu dibuang ke sungai untuk kemudian mengalir sampai ke laut. Kemudian peti yang hanyut terapung-apung itu dapat diambil oleh seorang nelayan di salah satu pantai di Aceh. Setelah dibuka  dilihatnya seorang bayi dengan alat-alat dari barang-barang permata yang indah dan berharga itu.

Bayi itu disuruh pelihara pada istrinya yang sehari-hari ia menjadi anak pungut nelayan itu. Setelah anak itu besar maka ia telah dapat membanu bapak angkatnya nelayan itu sehingga menjadi seorang tukang pancing yang tegap dan cerdik. Selalu bertemu dan menjual ikan kepada kapal-kapal yang datang atau singgah ke pantai/kuala di tempatnya.

Kata sahibul hikayat, Raja Sidon/Kedjruen pulau Nas sehubungan dengan cerita di atas tadi, di negeri Aceh ada seorang nelayan pekerjaannya mengail ikan, maka kailnya itu teupat (lurus).

Pada suatu hari terpikirlah olehnya akan mengirim satu  bingkisan kepada Raja Rum karena ia selalu bertemu di laut dengan kapal-kapal yang belajar ke negeri Rum. Dicarinya satu peti ke dalam peti itu diisikannya mata ikan kecil-kecil yang dapat dari hasil pencahariannya.

Pada suatu masa bertemulah ia dengan sebuah kapal yang hendak berlayar ke negeri Rum, si nelayan meminta kepada nachoda kapal itu supaya mau membawa bingkisannya untuk dikirim kepada Raja Rum. Nachoda itu pun menerimanya dan meminta anak buah kapal untuk mengangkat peti bingkisan itu kekapal.

Beberapa lamanya ia dalam pelayaran sampailah kapal itu ke negeri Rum. Bingkisan itu segera diantar dan dipersembahkan kepada Raja Rum. Oleh raja Rum disuruhnya buka peti bingkisan itu. Raja Rum menjadi tercengag melihat di dalam peti itu penuh berisis ikan dan di antara itu dengan sebentuk cincin permata intan. Ia menyelidiki siapa dan di mana tempatnya  orang yang mengirim bingkisan itu. Maka oleh nachoda diberikan keterangan bahwa yang mengirim bingkisan itu ialah anak seorang nelayan di tanah di bawah angin.

Pada hari kapal Nachoda itu berlajar, Raja meminta kepada navhoda untuk mengantarkan satu peti ke kapal dan beserta peti itu dikirimkan 7 orang tukang yang pandai membuat rumah. Di dalam peti itu dimasukkan bibit tanaman dan permata. Dikirim juga seorang putri dan seorang anak perempuan pengasuh, keduanya cantik.

Kepada putri itu diminta, bila sampai ke negeri di bawah angin, hendaklah ia ambil air yang ada dalam botol di dalam peti itu dan ditimbang dengan air di negeri itu. Bila airnya sama berat dengan air dalam botol, hendaklah di situ ia berhenti mendirikan rumah dan sesudah rumah hendaklah tukang-tukang itu dibunuh. Setelah raja berpesan, maka kapal itu berlajarlah.

Beberapa lamanja dalam pelajaran, sampailah ia ke negeri si nelajan jang mengirim peti dahulu. Peti itu diberikan kepada nelayan oleh nachoda. Ia menerima dan membawanya pulang. Sampai di rumah ia membuka peti itu dan ia sangat terkejut melihat dari peti itu keluar dua putri yang cantik jelita.

Tinggalah puteri itu dalam rumah si nelayan beserta para tukang yang turut bersamanya. Setiap hari si nelajan pergi berkerja memacing ikan seperti biasa dan dibawalah pulang ke rumah apa-apa yang di dapatnja hari itu.

Beberapa lamanja puteri itu tinggal di tempat nelajan tadi, disuruhlah oleh Puteri itu ambil air dari dalam botol dan segera disuruh timbang dengan air ditempat itu. ternyata berat airnya sama. Maka bermufakatlah dengan tukan yang tujuh orang tadi, akan membuat rumah di situ. Tukang-tukang itupun lalu memotong kayu dan mendirikan rumah di sana.

Si nelayan sangat senang, karena setiap ia pulang ke rumah sudah disediakan nasi. Tak lama kemudian rumah yang dibangun itupun siap. Putri itu kemudian menikah dengan nelayan tersebut. Sementara tujuh tukang yang membuat rumah itu dibunuh sebagaimana perintah Raja Rum. Tapi tak ada yang berhasil dibunuh, karena para tukang itu berhasil melarikan diri. Pernikahan itu ternyata tidak bertahan lama, karena si nelayan meninggal dan putri itu pun menjadi janda.

Dilingkungan makam Raja Linge ini terdapat rumah adat, dengan nama Rumah Pitu Ruang (rumah yang memiliki tujuh pintu) dan sebuah sumur tua yang airnya tidak pernah kering. (Source : visitaceh.com)

Raja Linge Meninggal

Pada masa itu juga, seorang raja di Linge bermana Zainul Abidin berwasiat kepada putranya, apabila ia meninggal, waktu jenazahnya diantar ke kubur tidak boleh ditutup. Orang-orang yang mengerjakan suatu pekerjaan dalam urusan openguburan, maka diberi gelar masing-masing dalam urusan memerintah negeri. Setelah wasiat itu diucapkan, maka meniggallah raja Linge itu.

Mendengar raja sudah meninggal, seisi negeri datang untuk melayat. Mereka mengerjakan apa yang bisa dikerjakan untuk proses pemakaman raja. Setelah semua urusan beres, maka dibawalah mayat Raja Linge itu ke tempat pemakaman. Di tengah jalan tiba-tiba angin bertiup kencang dan menerbangkan mayat itu. Para pengantar jenazah jadi panik.

Enam putra raja kemudian bermusyawarah tentang wasiat ayahnya. Orang-orang yang membantu megurus jenazah raja kemudian diberi gelar sesuai dengan pekerjaannya. Orang yang sandarkan jenazah saat dimandikan digelar sebagai Penghulu Sandaran, orang yang membedak jenaah diberi gelar Penghulu Bedak, yang memeras limau digelar Penghulu Mukur, yang membuat keranda digelari Penghulu Penesan, yang memegang payung waktu mengantar jenazah digelari Penghulu Payung, yang melempar beureuteh saat jenazah diantar ke kuburan diberi gelar Penghuku Berteh, serta yang menggali kubur digelari penghulu Cek Peuparat.

Alkisah, mayat raja yang diterbangkan oleh angin itu jatuh di daerah pantai Aceh Besar di tempat Putri anak raja Rum yang sudah menjadi janda dan telah pula menjadi Ratu di negeri tersebut.

Rakyat di negeri itu mengabarkan padanya bahwa mayat yang terdampar tersebut merupakan mayat laki-laki, dari kedaannya ia diyakini sebagai seorang raja. Maka ratu yang sudah menjanda itu meminta kepada penghulu negeri tersebut untuk dinikahkan dengan mayat raja tadi.  Hal itu dilakukan karena sebelumnya ia sudah bermimpi tentang mayat raja tersebut. Ia menikah dengan mahar cincin emas yang terdapat pada mayat itu.

Penghulu negeri itu memenuhi titah sang ratu dan menikahkannya. Setelah dinikahkan, mayat itu kemudian dikuburkan. Konon katanya, bberapa lama kemudian, ratu mengandung dan diyakini sebagai anak dari mayat raja yang dinikahinya. Ia kemudian melahirkan seorang anak laki-laki.

Dari hari ke hari, maka besarlah anak itu. Namun setiap hari ia diejek oleh kawan sepermainannya karena tidak memiliki ayah. Ia mendesak ibunya untuk memberitahu tentang ayahnya. Awalnya ratu tersebut menyembunyikan cerita perihal ayah si anak itu, tapi lama kelamaan ia tak dapat menyembunyikannya lagi. Karena terus didesak, maka diceritakanlah tentang ayahnya anak itu, yakni seorang raja yang sudah meniggal ketika ibunya menikah.

Merantau ke Linge

Anak itu bertambah malu karena terus diejek oleh kawan-kawannya. Ia meminta izin pada ibunya untuk merantau. Ibunya megizinkan hal itu, sebagai bekal, maka diberikanlah cincin oleh ibunya, yakni cicncin dari mayat ayahnya yang menjadi mahar ketika mereka menikah.

Anak itu pun pergi merantau. Ketika meninggalkan rumah, ibunya berpesan agar siapa saja yang ditemuinya dan mengatakan bahwa cincin itu milik ayahnya, maka orang itu adalah saudaranya. Ia menceritakan sefala peristiwa yang dalaminya, mulai dari mimi hingga menikah dengan mayat raja. Setelah itu, si anak pun pergi merantau, menyusuri satu negeri ke negeri lain, hingga kemudian sampai ke Negeri Linge.

Di negeri Linga, istri almarhum Raja Zainul Abidin bermimpi bahwa suaminya kembali ke rumahnya. Lalu ia berpesan kepada anak-anaknya, bila ada seorang anak mengembara ke negeri itu untuk diterima dan diperlakukan dengan baik. Mahkota raja yang tersimpan hendaklah ditaruh di kepala anak itu, bila cocok anak itu harus diangkat menjadi raja Linge.

Pada suatu hari anak Radja Linge, bertemulah dengan anak pengembara itu. Ia melihat cincin yang dipakainya. Ia segera ingat bawa cincin itu adalah cincin yang ditaruh di keranda ayahnya. Anak itu kemudian di bawa ke istana untuk dipertemukan dengan permaisuri.

Permaisuri itu pun lalu mengamati cincin tersebut. ia yakin bahwa cicncin itu milik ayahnya. Maka teringatlah akan permaisuri itu tentang mimpi bahwa suaminya akan pulang. Ia memerintahknya untuk mengambil mahkota raja dan meletakkan di kepala anak itu. dan ternyata cocok dengan kepalanya. Lalu permaisuri memeluk anak itu dan memanggilnya anak.

Permaisuri kemudian mengumpulkan para petinggi negeri dana anak-anaknya. Ia bercerita tentang mimpi dan apa yang kini dialaminya. Anak itu diizinkan tinggal di istana, tak lama kemudian dia diangkat menjadi Raja Linge meski saudara-saudaranya menolak.

Atas perintah permaisuri kemudian dilakukan upacara pengangkatan raja dan pernikahannya. Tak lama kemudian terjadi perselisihan diantara anak-anak mendiang raja Zainul Abidin tersebut. Mereka meninggalkan negeri itu dan merantau ke negeri lain.

Yang sulung mengambil segenggam tanah dan merantau ke negeri Karo/Batak. Sampai di Karo tanah itu diletakkan dan menjadi bukit. Bukit itulah yang kemudian diyakini sebagai bukit Buntul Lingga (Linge). Beberapa lama ia dinegeri itu dan dari situlah berasalnja keturunan Keudjeuen Lingga jang kemudian bernama sibajak Lingga.

Anak raja yang kedua mengembara ke negeri Pagar Ruyung. Anak raja yang ketiga mengembara ke negeri Bedagai, di situ ia membuat negeri dan dari sinilah asalnya keturunan Keudjreuen Bedagai. Anak raja yang ke empat mengembara ke negeri Seurula  dekat negeri Batak/ Karo Lingga dan dari sinilah datangnya keturunan Keujruen Seurula.

Anak raja yang kelima, mengembara ke negeri Alas dan dari sinilah datangnya keturunan Wi Papuk yang sekarang berada di Kutacane. Anak raja yang keenam, mengembara pula ke Blang Keudjreuen dan dari sinilah datangnya keturunan Keudjruen Patiambang. Sementara anak raja yang ketujuh, tinggal di negeri Gayo Lingga Laut Tawar. Membantu saudaranya yang menjadi raja dalam negeri itu. Dari keturunan anak yang ketujuh inilah keturunan Keudjreuen Lingga Laut Tawar sekarang.

Setelah beberapa lama anak Raja ini memerintah negeri Lingga, pada suatu hari pergilah ia bermain-main ke sebidang tanah lapang, di situ ia melihat sekawan besar kerbau beranak pinak. Terlihatlah ia seekor induk kerbau yang sedang memakan rumput, lalu dihampirinya kesitu melihat seekor anak kerbau hendak menyusui, tetapi selalu induk kerbau itu menolak anak kerbau yang menyusui padanya. Begitu juga datang beberapa ekor anak kerbau yang lain tetap ditolaknya. Kemudian datang pula ke situ seekor anak kerbau yang lain dan terus diberikan susunya karena anak kerbau yang datang itu ialah anaknya sendiri.

Berhubung dengan pemandangan Raja ini pada kerbau ini, maka Raja itu terkenanglah ia akan bundanya yang ditinggalkan di pantai Aceh dan seketika itu juga duduk menangis dengan amat sedihnya. Setelah itu pulanglah ia keistananya, lalu mengabarkan kepada bunda dan saudara titinya yang ia akan balik pulang kenegerinya di pantai Aceh, sebab sudah lama ia tidak melihat ibunya.[]

Penulis: Iskandar Norman

(Sumber : harian-aceh.com)

Comments

comments