Tafakkur Maulid

Oleh: Johansyah*

NABI Muhammad Saw merupakan tokoh sentral yang menjadi role of model (teladan) bagi manusia, terutama mereka yang mengharap kepada Allah, hari akhir, dan sering mengingat Allah Swt. (lihat QS. al-Ahzab: 21). Dia adalah sosok manusia ideal yang dikirim oleh Allah Swt sekaligus penerjemah implementatif alqur’an. Atau sebutan lainnya adalah The Living Qur’an (Qur’an yang hidup).

Dalam kurun waktu yang relatif singkat, lebih kurang 23 tahun (sejak diangkat menjadi Rasul), Nabi Saw mampu mereformasi sistem sosial masyarakat Arab dari berbagai aspeknya sehingga secara bertahap pola kehidupan masyarakat pun lambat laun tertata dengan baik; masalah hak wanita, warisan, jelasnya batasan-batasan perbuatan yang halal, haram, makruh, mubah, anak perempuan tidak lagi dibunuh, judi dan minuman keras tidak lagi marak, dan umat dilatih  untuk demokrastis, toleran, menghargai orang lain, serta nilai-nilai luhur humanisme lainnya.

Era itu pula (masyarakat Arab ketika Nabi hidup), kemudian menjadi kajian penting para akademisi dalam mengkonstruksi kerangka pikir masyarakat madani (masyarakat yang berperadaban). Dan jika ditelisik dengan seksama, masyarakat madani memiliki dua fondasi kuat yaitu akhlakul karimah (moral) dan al-ulum (pengetahuan), atau dengan bahasa lain iman dan takwa (imtak) dan ilmu pengetahuan (iptek). Sekiranya ditanya apa tips kesuksesan Nabi Saw dalam menata masyarakat?, jawabannya adalah yang dua tadi.

Potret dan Problematika Umat

Bagaimana dengan Islam kini, khususnya dalam memposisikan Nabi Saw sebagai teladan? Dalam dinamika sosial umat Islam saat ini, keteladanan Nabi Saw seolah-olah hanya cerita yang melangit dan tidak mampu membumi. Bahkan ada asumsi yang bernuansa pesimis dari sekelompok orang, di mana jika mereka diminta untuk mengikuti perilaku dan perbuatan Nabi Saw, maka itu semua dianggap tidak mungkin sebab katanya ‘dia kan Rasul dan kita ini manusia biasa’. Pertanyaannya, kalau nabi tidak dapat diteladani untuk apa Allah Swt. mengutusnya?

Persoalan selanjutnya adalah mengapa kemudian umat ini semakin jauh dari tuntunan beliau, mengapa nilai-nilai akhlakul karimah sebagai misi utamanya seolah-olah mustahil untuk kita ikuti, sulit terpotret dalam amal nyata keseharian kita?. Mengapa kemudian justru umat Islam sebagai pengikut ajaran Nabi Saw banyak yang menyimpang dari ajarannya.

Faktanya, korupsi yang besar ternyata terjadi di negara mayoritas muslim, wilayah yang kumuh dan kotor ternyata juga daerahnya masyarakat muslim, orang yang ‘anti’ budaya antri dan tidak disiplin, ternyata juga banyak yang muslim, walaupun hal ini tidak dapat digeneralisasi.

Di sisi lain, implementasi dari ajaran Nabi Saw justru akan kita jumpai di negara yang masyarakatnya non muslim, atau minoritas muslim. Ternyata mereka lebih jujur, lebih disiplin, bertanggung jawab, lebih toleran, lebih peduli, lebih menghargai orang lain, rela berkorban, peduli, dan tidak suka mengambil hak orang lain. Salah satu contoh adalah  Finlandia yang ternyata tingkat korupsinya paling rendah dan sistem pendidikannya sangat baik. Sementara yang kita tau di Indonesia korupsi justru semakin membabi buta dan merampas kewibawaan bangsa.

Multiproblem terus menggelayuti umat Islam dengan beberapa ciri yang coba sengaja dilakab dan diakrabkan dengan khas masyarakat muslim saat ini, terutama Islam redikal atau militant yang menjadi sentral menumbuhkembangkan paham terorisme dan ‘jihad salah kaprah’. Konsekuensi negatif dari situasi ini membuat Islam akhirnya menjadi Islamofobia di kalangan barat. Tak pelak, posisi umat pun tersudut dan tersungkur, seolah-olah Islam adalah agama kekerasan.

Dengan kondisi yang kurang menguntungkan ini, langit peradaban Islam terus ditutupi oleh awan-awan hitam keterbelakangan dan stagnansi pengetahuan, keterceraiberaian umat, dan kejumudan berpikir. Semangat pembaruan dari semisal Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Nasr Abu Zaid, Hasan Hanafi, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, dan beberapa tokoh lain ternyata belum mampu menepisnya. Sebaliknya, setiap ada ide pembaruan dan perubahan cara pikir, interpretasi terhadap alqur’an yang dilontarkan, sering mendapat reaksi keras dan perlawanan dari umat Islam lain yang berada pada paham barisan Islam redikal dan berhaluan epistemologi bayani dan irfani, sehingga agak sulit menerima pembaruan.

Di saat yang sama, sekelompok ilmuwan muslim yang memiliki fondasi akidah yang rapuh dengan sengaja atau tidak sengaja membangun kerangka pemahaman bernuansa sekuler. Agama dikesankan sebagai sesuatu yang terpisah dari dinamika kehidupan keduniaan. Secara tidak sadar pula, banyak umat yang terjebak dalam pola hidup pragmatis dan materialis.

Lalu apa yang salah dengan umat Islam?, padahal wahyu sedemikian lengkap dan sempurna, sama dengan hadits. Kehadiran keduanya lebih dari kata ‘petunjuk’ itu sendiri. alqur’an adalah pesan dan firman Allah Saw yang tergambar dalam kehidupan Nabi Saw. Sejujurnya, inilah yang terkadang menjadi semacam kekesalan kita, seolah-olah pasca wafatnya Nabi Saw ajarannya tidak lagi kokoh dan umat kehilangan teladan, padahal ajarannya tidak akan pernah mati.

Bukan Sekedar Maulid.

Sudah menjadi kebiasaan kita, merayakan hari besar Islam (termasuk maulid Nabi) merupakan sesuatu yang bernilai istimewa. Sayangnya, peringatan hari besar seperti maulid, yang lebih diurus adalah kenduri dan makan-makannya, tidak pernah sampai pada kajian substansial maulid itu sendiri. Inilah yang penulis sebut sebagai sekedar maulid (sekedar hadir, makan, dan mendengarkan ceramah dari ustadz humoris).

Kajian substansial yang dimaksudkan adalah bukan sekedar uraian tentang kelahiran Nabi, kemudian bagaimana dia tumbuh dan berkembang, bagaimana ia di Gua Hira, melainkan pada kajian metodologis Nabi Saw, mengapa beliau bisa sukses dalam misi besar dan mampu menaklukkan orang-orang yang keras otot, keras otak dan keras hati.

Mengapa kajian metodologi Nabi Saw penting, sebab hemat penulis permasalahan umat Islam saat ini salah satunya yang paling serius adalah masalah metodologi. Kenyataannya umat saat ini sulit menginterpretasi wahyu maupun hadits dalam konteks kekinian sehingga wajar saja ajaran Islam tidak membumi.

Permasalahan Islam redikal, aliran sesat, pengembangan pengetahuan yang stagnan di kalangan umat Islam tidak akan terselesaikan dengan cerdas jika kita tidak meneladani metode dan semangat Nabi Saw. Umat ini jangat terlalu terlena dengan hasil pemikiran dan ijtihad ulama klasik, tidak hanya bangga dengan hafalan alqur’an 30 juz seseorang, tetapi harus berpikir dengan sungguh-sungguh untuk dapat menghubungkan wahyu dan hadits nabi dengan realitas kekinian.

Marilah kita coba merubah paradigma dan mindset berpikir metodologis dan memperkuat sehingga lebih cerdas membaca pesan kebenaran alqur’an dan hadits. Dan yang paling esensial dari maulid adalah setiap individu muslim sejatinya dapat mengcopy paste keteladanan Nabi Saw ke dalam jiwanya sehingga terpancar dalam amal.

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Pendidikan PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.