Oleh: Jawahir Syahputra, S.Ked
MENURUT ahli bahasa Gorys Keraf, bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakanberdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untukĀ mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untukĀ melakukan kontrol sosial.
Peran bahasa dalam kehidupan sehari-hari tentu merupakan suatu kebutuhan dasar dalam suatu wilayah tempat kediaman suatu masyarakat, tidak terlepasperan bahasa daerah yang digunakan sebagai warisan yang tak ternilai harganya, Bahasa daerah merupakan simbol paling sempurna sebagai sarana pengekspresian tata cara, adat, komunikasi sosial, dan pranata sosial, tidak saja mengandung makna tetapi juga tata nilai sebuah budaya.
Menurut Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah. Data ini merupakan jumlah kekayaan ragam bahasa yang luar biasa, akan tetapi warisan yang dimiliki ini tidak tertutup kemungkinan dapat sajapunah seiring berjalannya waktu dan sikap pola prilaku masyarakatnya, seperti yang termuat daridata Depdiknas terdapat enam bahasa daerah yang sudah punah, yaitu bahasa-bahasadaerah yang berada di daerah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan wilayah Maluku.
Provinsi Aceh yang terdiri dari 23 Kabupaten/kota juga mempunyai ragam kekayaan bahasa daerahdiantaranya adalah Bahasa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, Haloban, dan Simeulue. Diantara sembilan bahasa yang disebut diatas bahasa āAcehā yang paling banyak penuturnya sampai sekitar 70 persen dari seluruh jumlah penduduk di Provinsi Aceh, pencapaian persentase yang cukup tinggi ini tentunya merupakan hasil pola prilaku masyarakatnya yang mempunyai rasa memiliki serta tanggung jawab dalammenjaga warisan kedaerahannya.
Menjaga warisan bahasa daerah jelas merupakan suatu tanggung jawab dari semua kalangan masyarakat agar bahasa tersebut tidak punah, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaganya,salah satu contohnya adalah Bahasa daerah (Aceh) dapat kita melihat di beberapa masjid di Kota Banda Aceh khususnya di daerah-daerah pedesaan pada saat shalat jumat tidak jarang khatib menyampaikan khutbahnya dengan menggunakan bahasa daerah (Aceh), terkadang orang-orang yang berasal dari Acehpun sulit untuk bisa memahami apa yang disampaikan khatib lebih lagi orang-orang yang berasal dari luar Provinsi Aceh sudah pasti hanya mendengar suara yang tidak mengerti makna dan isi yang disampaikan terkecuali orang-orang yang sudah mengerti bahasa daerah itu sebelumnya.
Hal ini merupakan salah satu cara yang dijalankan dalam hal menjaga bahasa daerah (Aceh) dikalangan masyarakat tersebut, dengan begituorang-orang yang kurang bisa memahami apa yang disampaikan oleh khatib tersebut akan merangsang otaknya untuk menimbulkan respon keingintahuannya untuk bisa mengenal bahasa tersebut, semakin banyak orang-orang untuk bisa mengenal dan memahami bahasa tersebut maka semakin banyak pula penuturnya, jelas terbukti bahasa daerah (Aceh) menjadi bahasa daerah yang paling banyak penutrnya di Provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatera ini.
Ada sebuah pengalaman yang menarik bagi penulis pada saat melakukan sosialisasi terhadap masyarakat di salah satu daerah di pesisir aceh, ketika tahap awal untuk melakukan komunikasi tentunyaberharap apa yang akandisampaikan dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat agar lebihterjalin komunikasi dua arah antara yang memberi dan menerima, akan tetapi kenyataan itu berbalik dengan adanya beberapa masyarakat yang sama sekali tidak bisa memahami bahasa Indonesia merasa bahasa Nasional tersebut bukan bagian dari bahasa yang digunakan di Provinsi Aceh, sungguh hal ini merupakan tugas yang sangat berat bagi penulisdengan waktu yang sangat terbatas sosialisasi tersebut harus disampaikan, akhirnya dengan bantuan beberapa temanjuga dengan modal komunikasi bahasa daerah tersebut yang sedikit terbata-bata materipun tersampaikan sesuai harapan.
Pengalaman di atas menjadi guru yang sangat berharga bagi penulis ketika ingin beradaptasi membangun komunikasi ke daerah-daerah, buktinya di daerah-daerah pesisir aceh semakin kita masuk kepedesaan yang lebih dalam bahasa Indonesia menjadi asing untuk didengar, sesuai dengan salah satu teoriĀ Ferdinand seorang pakar ilmu komunikasi mengatakan bahwa āBahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lainā.
Terbesit suatu kekawatiran mucul ketika penulis melihat āGayoā hari ini, Bahasa daerah Gayo umumnya digunakan oleh penduduk Aceh yang tinggal di daerah pegunungan Aceh seperti di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Lukup serbajadi (Aceh Timur) serta dibeberapa lokasi lainnya yang tersebar di Aceh.
Berbeda dengan apa yang penulis nilai dari beberapa cara yang dilakukan oleh masyarakat yang menjaga Bahasa daerah (Aceh) dengan baik yang terbukti sampai dengan saat ini paling banyak penuturnya di Provinsi Serambi Mekah ini. Terbukti penggunaan bahasa daerah Gayo mulai menurun baik itu dari tataran keluarga yang merupakan cerminan sebuah kelompok masyarakat terkecil yang sudah jarang menggunakan istilah-istilah/komunikasi bahasa gayo dalam keluarganya, kemudian ditataran pendidikan juga sudah mulai menurun terlihatsiswa/i dan mahasiswa/i jarang berbicaramenggunakan bahasa daerah tersebut, lebih lagi menggunakannya di atas mimbar pastinya sudah sangat jarang dilakukan.
Berkurangnya penggunaan bahasa daerah Gayo, dapat memasuki ambang proses berpotensi terancam punah, proses ini berlangsung secara berlahan-lahan tanpa disadari seiring pertukaran generasi satu dengan generasi lainnya dalam proses kehidupan.
Jumlah penutur secara signifikan berkaitan dengan keberlanjutan suatu bahasa daerah dengan catatan adanya pembudayaan dan pemberdayaan bahasa daerah tersebut secara turun-temurun.semakin pesat perkembangan bahasa Indonesia modern berimplikasi kepada eksistensi bahasa daerah yang ada, karena hampir semua bahasa daerah mengalami tekanan yang bersifat eksternal dan internal.
Penulis berharapharus ada kemauan dari pihak pemerintah dalam menentukan kebijakan akan hal ini serta masyarakat penuturnya untuk menyelamatkan bahasa daerah (Gayo) yang tidak tertutup kemungkinan akanberpotensi terancam punah, kesadaran akan pentingnya menjaga bahasa ibu tersebut harus ditanamkan sebagai jati diri dan sebagai identitas,Ada baiknya bahasa daerah Gayo diolah menjadi buku dan mulai diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal yang menjadi tulak ukur terpenting dalam proses pendidikan tersebut bukan hanya sebagai formalitas semata, dengan demikian sedikit-demi sedikit, bahasa dan budaya tersebut mulai dikenal dan dimiliki.***
*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.