PENDIDIKAN adalah tonggak peradaban. Karena pendidikanlah yang menjadikan manusia beradab. Dengan pendidikan pula manusia menyadari hakekat kemanusiaanya, sebagai makluk Tuhan yang berakal. Makhluk yang senantiasa selalu berproses menuju titik kesempurnaanya.
Sehingga tak heran kalau Jhon Locke, seorang Filsuf terkemuka Inggris menggaungkan urgensinya pendidikan. Menurut Locke, sejak lahir manusia merupakan sesuatu yang kosong dan dapat di isi dengan pengalaman-pengalaman yang diberikan lewat pendidikan dan pembentukan yang terus-menerus (Seri Buku VOX, Seri 38/3 1993).
Pertanyaanya sekarang, apakah pendikan di Indonesia dan khususnya di Tanoh Gayo saat ini sudah terintegrasi dengan spirit humanisasi (memanusiakan manusia)? Karena pendidikan yang tak bersendikan spirit humanisme, akan membuat anak didik tergerus dalam mentalitas hedonis dan pragmatis, sebagaimana yang jamak kita lihat dewasa ini.
Pendidikan Humanis
Pendidikan yang memanusiakan manusia terkait dengan aliran Humanisme, yaitu sebuah pendekatan psikologis yang menitikberatkan pada masalah-masalah kepentingan manusia, nilai-nilai, dan martabat manusia (Kartono & Gulo, 2000). Maka, pendidikan humanis adalah pendidikan yang mengelaborasi segala potensi kemanusiaan anak didik; baik itu potensi ruhaniyah (spiritual), aqliyah (pikiran), nafsiyah (jiwa), dan jasmaniyah (tubuh). Disini anak didik diposisikan sebagai makhluk bermartabat (manusia merdeka). Sehingga tugas guru adalah memberikan “rangsangan” bagi anak didik dalam memicu dan mengeluarkan segala potensi kemanusiaan yang dimilikinya.
Untuk itu, eksistensi guru dalam kelas bukan sekadar sebagai penceramah dengan segala kuasa monolog-nya, tetapi memosisikan diri sebagai mediator dialogis guna memicu kreatifitas, menumbuhkan nalar, dan menggali potensi siswa. Guru tak lagi menjelma menjadi “indoktrinir” yang menakutkan, namun menjadi sahabat yang menyenangkan bagi anak didik. Sehingga siswa tak lagi canggung untuk mengekspresikan segala potensi kemanusiannya.
Di sini guru adalah pelita dan oase yang menerangi kegelapan berpikir dan memuaskan dahaga keingin-tahuan anak didik. Guru tak lagi kebal kritik, sekali pun itu oleh anak didiknya sendiri. Sehingga oleh Soe Hok Gie (2005), guru yang tidak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.
Munif Chatib (dalam Gurunya Manusia, 2011), mengelompokan guru menjadi tiga jenis berdasarkan kemauan untuk maju. Pertama, Guru Robot, yaitu guru yang bekerja persis seperti robot. Mereka hanya masuk kelas, mengajar, lalu pulang. Mereka hanya peduli pada beban materi yang harus disampaikan kepada siswa. Mereka tak punya kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam menerima materi, apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru dan sekolah pada umumnya. Mereka tidak peduli dan mirip robot yang selalu menjalankan perintah sesuai program yang disusun.
Kedua, Guru Materialistis, yaitu guru yang selalu melakukan perhitungan, mirip dengan aktivitas jual-beli. Parahnya, yang dijadikan patokan adalah hak yang mereka terima, barulah kewajiban mereka akan dilaksanakan sesuai hak yang mereka terima. Pada awalnya, guru ini merasa professional, tetapi akhirnya akan terjebak dalam kesombongan dalam bekerja sehingga tidak tampak manfaatnya dalam bekerja.
Ketiga, Gurunya manusia, yaitu guru yang punya keihklasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlas akan berintrospeksi apabila ada siswa yang tak memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka sadar, profesi guru tak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan pengembangan kompetensi.
Pendidikan yang humanis (memanusiakan manusia) akan terwujud ketika kelas dikelolah oleh gurunya manusia yang tulus memahami, mensuport, dan menggali potensi anak didik.***
*Analis Sosial/berdomisili di Paya Tumpi Baru, Aceh Tengah.