GURU merupakan abdi negara dalam rangka memberantas kemiskinan bidang ilmu pengetahuan dan menjadi motivator bagi anak didik untuk selalu belajar. Keterlibatan guru dalam belajar anak bisa menentukan perubahan kehidupan anak didik pada masa mendatang, memberikan gagasan baru, menciptakan lapangan pekerjaan baru yang sesuai dengan minat anak didik itu sendiri, sebagai contoh: guru mengajarkan bagaimana cara berbicara bahasa Inggris, bagimana memecahkan persoalan pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Seni dan Budaya yang begitu rumit.
Biasanya guru yang profesional dengan mudah mampu memberikan bimbingan dan mencari jalan keluar terhadap persoalan dalam pembelajaran. Itulah sosok guru yang profesional, gigih dan aktif terhadap kondisi pendidikan sejak dahulu sampai hari ini. Sehingga ada ungkapan bahwa guru adalah sosok yang “ditiru dan digugu”.
Lalu, bagiamana dengan siswa? Sebagai seorang guru adalah pantas menghargai keberadaan murid/anak didik atau siswa dengan segala kelemahan dan kelebihannya dalam mengikuti pelajaran di kelas. Kelemahan setiap siswa tentu dalam hal penguasaan materi pelajaran, daya tangkap, daya fikir, daya cipta, daya karsa, dan daya upaya. Akan tetapi juga pantas bahwa siswa dalam kondisi belajar menimba dan menggali berbagai macam ilmu pengetahuan.
Ya… namanyapun siswa, dengan umur masih yang sangat belia, usia 6 tahun mulai belajar bahkan sampai ke tingkat mahasiswa diperkirakan sedang dalam kondisi menggali displin ilmu maka pantas mereka diberikan arahan yang optimal dengan berbagai macam upaya dari sang guru (Prayitno, 2011:139). Tuntutan siswa hanya dibimbing, diarahkan, dilatih dan diajarkan sesuai dengan kapasitas kemampuan siswa itu sendiri, selebihnya ada orang tua yang dapat memberikan arahan serta pelatihan ekstra dalam bentuk individu.
Selanjutnya, yang menjadi kelebihan siswa ialah tidak lain hanyalah manusia yang memiliki keinginan menjadi pinter yang nantinya akan berguna bagi diri sendiri dan kepada orang banyak/lingkungan. Kelebihan lain adalah berupa aset pengganti generasi tua untuk meneruskan peradaban manusia yang diharapkan akan menjadi lebih baik, modern dan canggih dalam segala bidang. Harapan inilah yang diberikan guru kepada siswa dengan kurun waktu yang lama dan sislih berganti dari satu guru kepada guru yang lain agar kelak menjadi pewaris ilmu.
Nah, bagaimana dengan Ujian Nasional? Apakah Ujian Nasional menjadi patokan kelulusan atau keberhasilan bagi siswa dimana mereka sudah belajar 6 tahun (di SD/MIN), 3 tahun (di SMP/MTs) dan 3 tahun juga (di SMA/MAN sederajat)? Ironi sekali, Ujian Nasional menjadi ukuran sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang telah dipelajarinya selama beberapa tahun rentang belajar, bukan berarti lulus tidak seorang siswa karena gagal dalam menjawab materi ujian yang diberikan toh juga ada suplai jawaban gratis yang hadir dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab sehingga mengotori pelaksanaan Ujian Nasional secara umum. Tidak sedikit terjadi suplai jawaban gratis itu hadir di berbagai pelosok penjuru tanah air apakah melalui pesan singkat atau bahkan dari institusi pelaksana itu sendiri karena dibanyangi oleh ketakutan akan ketidak lulusan siswa dengan ukuran 100%.
Suatu sisi bahwa pelaksanaan Ujian Nasional mematok harga kelulusan siswa dalam beberapa hari ujian, sisi lain adalah membanyangi siswa dengan rasa kehawatiran kalau-kalau tidak lulus. Sebenarnya ada sebuah solusi yang efektif membantu siswa supaya lulus murni saat mengikuti Ujian Nasional yakni dengan cara membantu siswa saat belajar di dalam kelas-jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan Ujian Nasional. Dengan kata lain, mulailah guru membantu siswa melalui proses pembelajaran yang efektif sejak duduk di kelas satu Sekolah Dasar sampai kelas tiga SMA (karena siswa kelas 6 SD, kelas 3 SMP dan siswa kelas 3 SMA yang menghadapi Ujian Nasional).
Penulis sangat merasa yakin melalui pola yang tersebut di atas, siswa dalam mengahadapi setiap Ujian Nasional dipastikan mampu menjawab soal-soal Ujian nasional dengan seksama tanpa perlu menerima subsidi dari oknum yang tidak bertangguingjawab. Dismaping itu, guru menumbuhkembangkan rasa percaya diri siswa sejak dini, guru menciptakan kondisi siswa untuk mandiri, guru menanamkan kepada siswa rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap tugas/kewajiban yang diemban siswa dalam menguasai materi ajar secara seksama, guru tidak terbeban moril bilamana siswa tidak lulus atau gagal karena mereka sudah dibantu dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru semakin dihormati (tidak dijengkali) oleh siswa.
Namun hari ini, guru yang tidak memberikan bantuan gratis kepada siswa saat pelaksanaan Ujian Nasional dianggap guru tersebut adalah guru killer, guru tidak bertanggungjawab, guru egois, guru tidak membantu siswa, dan masih banyak julukan lain yang tidak etis dikatakan siswa. Dengan demikian, sepantasnya sebagai seorang guru yang baik sadar bahwa tidak aka nada lagi oknum yang memberikan/membocorkan jawaban Ujian Nasional atau bentuk ujian apapun namanya kepada anak didik demi menjaga kualitas pendidikan yang digalakkan oleh Kepala Dinas Pendidikan setempat (2012).
*Guru SMA 1 Takengon dan Tutor Program Pascasarjana Universitas Terbuka Pokja Aceh Tengah