Antara Tuntutan dan Tontonan

Oleh: Johansyah*

TELEVISI merupakan di antara media dan sumber informasi publik yang  berperan penting dalam menyuguhkan aneka nilai melalui multi programnya kepada kita. Seiring pertumbuhan ekonomi, sebagian besar masyarakat kita saat ini telah memiliki media informasi ini. Di sisi lain, sebagai keluarga muslim, penulis yakin bahwa kita pasti memiliki dan menyimpannya di rumah masing-masing kendati pun jarang membacanya.

Televisi bagi kita adalah tontonan tentang berbagai informasi, hiburan, atau potret berbagai peristiwa di nusantara dan dari berbagai belahan dunia. Sementara alqur’an adalah tuntunan sebagai petunjuk (hudan) bagi umat muslim. Alqur’an juga merupakan garis-garis besar haluan umat muslim yang melandasi cara berpikir, rasa, dan cara bertindaknya. Pertanyaanya, berapa porsi dan alokasi waktu yang kita sisihkan untuk keduanya?.

Salah satu survey di beberapa kecamatan di Aceh Tengah terkait dengan pemanfaatan waktu oleh masyarakat yang diambil sampelnya secara acak, yang menanyakan apakah dalam sehari mereka membaca alqur’an dan berapa lama, dan berapa lama waktu yang digunakan untuk menonton televisi serta apa program yang sering ditonton? Jawabannya begitu mengejutkan. Ternyata hanya lima persen dari mereka yang rutin membaca alqur’an, di mana mereka melakukan rata-ratanya ba’da maghrib.

Sementara yang Sembilan puluh lima persen dari mereka ada yang bahkan menjawab tidak pernah dengan alasan tidak bisa membaca Al-Qur’an, dan ada juga yang menjawab kadang-kadang membaca alqur’an. Mereka ternyata lebih banyak memanfaatkan waktu untuk menonton televisi. Adapun program yang sering ditonton adalah sinetron dan infotaimen.

Dengan kata lain, sekiranya aktivitas membaca alqur’an dikomparasi dengan aktifitas menonton telivisi di kalangan masyarakat kita, maka terlihat jelas bahwa porsi waktu masyarakat kita lebih banyak menonton televisi dari pada membaca alqur’an. Di satu sisi ini barangkali bukanlah persoalan substansial yang berpengaruh pada stagnansi pemikiran umat kea rah kemajuan, namun dari aspek spiritual jelas mereka akan mengalami kepakuman dan kerapuhan batin.

Terkadang penulis terpikir, apakah hal ini disebabkan oleh posisi Indonesia sebagai negara berkembang? Sebab salah satu ciri negara berkembang adalah tingginya budaya konsumtif teknologi yang dihasilkan negara maju. Sebagai masyarakat yang hidup di negara berkembang kita terlena dengan produk-produk teknologi negara maju semisal mobil, handphone, sepeda motor, dan tentunya televisi. Mirisnya lagi, menggunakan produk-produk teknologi baru menjadi standar gengsi dan kehebatan bagi seseorang.

Terkait televisi, tontonan yang begitu dominan menyita waktu dan kesempatan kita, akhirnya secara lambat laun menjadi tuntunan. Buktinya banyak, jika kita melihat tingkah laku remaja yang suka meniru gaya pakaian, gaya bicara, dan pola komunikasi ‘ulah’ pemain di sebuah sinetron. Apakah salah?, tentunya tidak. Namun harus diakui, kebiasaan-kebiasaan inilah yang kemudian menjadi virus melemahkan budaya-budaya lokal dan berpotensi besar menyingkirkannya.

Secara maraton, selanjutnya alqur’an akhirnya menjadi kitab antik yang hanya dipajang dalam lemari dengan kondisi ‘perawan’ karena tidak pernah dijamah oleh pemiliknya. Atau alqur’an hanya ditampilkan karena malu dikritik tetangga atau siapa saja yang datang ke rumahnya: ‘kok keluarga muslim tidak ada Al-Qur’an, aneh ya?’.

Jika demikian, sebenarnya televisi adalah penjajah di era ini bagi Indonesia dan yang menjadi korbannya adalah mereka yang menyalahgunakan media ini hanya untuk menikmati dunia hiburan yang membuat kemampuan berpikir pakum. Barangkali ini pula yang membuat hatinya tidak terketuk untuk menghampiri alqur’an, karena setiap keinginan itu ada, televisi di saat yang sama ‘merayu’ dengan menampilkan program hiburan yang menggiurkan. Buktinya, banyak TV swasta yang memiliki hiburan ‘wah’ ketika maghrib tiba, lalu banyak di antara umat muslim yang ‘menyetor’ kewajiban salatnya begitu tergesa-gesa karena tidak ingin tayangan favoritnya terlewatkan.

Lalu, apakah hal ini menjadi dalih bagi kita untuk menyalahkan teknologi?, tentu saja tidak. Teknologi adalah hasil cipta karya manusia dan buah dari potensi yang dianugerahi oleh Tuhan. Apapu produk teknologi pada dasarnya diciptakan untuk kebutuhan  manusia itu sendiri. kelasalahannya adalah pada kekeliruan konsumen teknologi dalam memanfaatkannya untuk hal-hal yang negatif dan tidak bermanfaat.

Budaya Keluarga

Televisi dalam posisinya sebagai media informasi, tentunya memiliki peran dalam pembentukan karakter. Demikian halnya Al-Qur’an yang juga menjadi salah satu sumber informasi yang menjadi landasan pembentukan karakter umat. Dalam hal ini, budaya yang terbangun dalam keluarga menjadi kunci untama dalam meregulasi aktifitas anak-anak dan anggota keluarga lainnya terkait dengan menonton dan membaca Al-Qur’an.

Budaya keluarga yang penulis maksud adalah adanya upaya yang dilakukan orang tua dalam mengatur jadwal televisi di rumahnya, dan juga memilih program-program yang memiliki nilai positif dan bermanfaat bagi perkembangan keperibadian anak-anaknya. Di sisi lain, orang tua diharapkan selalu mengajak anak-anak mereka untuk mau belajar alqur’an, menjadikannya sebagai kegiatan rutin ba’da maghrib. Barangkali membaca Al-Qur’an dengan durasi lima menit dalam sehari akan berimbang dengan kegiatan menonton yang dilakukan satu sampai dua jam, asal dilakukan rutin.

Asalkan kita sadar, bahwa permasalahan besar yang menimpa bangsa ini adalah krisis moral. Dengan visi yang cenderung komersial, televisi tidak mungkin menjadi media solutif mengatasi permasalahan ini. sementara Al-Qur’an memiliki peran besar untuk itu, sebab alqur’an merupakan sumber segala ilmu yang menjunjung tinggi nilai moral.

Bukan tidak mungkin, anak-anak muslim akan bertanya kepada orang tuanya, qur’an itu apa pa?, atau buku apa yang tersimpan di lemari itu bu?. Pertanyaan ini muncul karena mereka tidak pernah dikenalkan dengan alqur’an. Sebaliknya, mereka sangat hafal acara sinetron, tau betul spidermen atau superman, sementara tidak tau Muhammad.

Tentunya kita tidak menginginkan kondisi ini menimpa anak-anak kita. Untuk itu, teknologi seperti televisi tetap tidak diabaikan, namun jangan pula melupakan alqur’an sebagai tuntunan hidup. Mari selamatkan generasi ini dari krisis moral, kenalkan mereka dengan alqur’an.***

*Pemerhati Sosial Keagamaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.