Cita-Citaku Setinggi Tanah

“CITA-CITAKU Setinggi Tanah”, judul sebuah film, produksi Eugene Panji yang akan rilis pada Oktober mendatang. Ide cerita film ini sangat sederhana, tentang cita-cita beberapa anak di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Film ini diiringi Original Soundtrack (Ost) dari Endah N Resha yang berjudul “mimpi tak’kan berlari”, membuatku terkenang akan cita-citaku dahulu. Cita-cita dan mimpi yang mengantarkanku pada kehidupan saat ini.

Semasa duduk di bangku sekolah dasar, cita-citaku sama seperti anak-anak pada umumnya, menjadi seorang dokter. Menjadi dokter, guru, polisi, merupakan cita-cita yang paling dijunjung tinggi di kalangan anak-anak hingga saat ini.

Memasuki bangku sekolah menengah pertama, ada sebuah kejadian yang membuatku mengubah cita-cita kecilku dulu. Yaitu kematian seorang jurnalis televisi swasta, Ersa Siregar yang sedang menjalankan tugas meliput “perang” di Aceh. Melihat beritanya di televisi, membaca di media cetak tentang perjuangannya meliput berita, membuatku berkeinginan menjadi seorang jurnalis.

Menurutku menjadi jurnalis itu “menyenangkan”, karena dapat melihat langsung tempat kejadian perkara yang dilihat orang lain melalui media cetak, elektronik ataupun online. Dapat melihat dari sudut pandang yang berbeda di setiap peristiwa. Jauh sebelum ini, aku suka menulis cerita pendek, dan biasanya hanya berakhir di buku tulis.

Di SMA, kendati bukan anggota komunitas Majalah Dinding (Mading), aku sering mengikuti kegiatan mereka, memberikan saran untuk konsep penampilan, dan terkadang berinisiatif mencari berita. Seperti pada pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke IV di Stadion H.Dimurtala Lampineung pada 2004 silam, aku memberanikan diri mengambil beberapa foto dengan berbekal kamera saku non digital hasil tabunganku.

Saat itu aku berkenalan dengan Wartawan Reuters, Tarmizy Harva. “Harga lensa ini 60 juta, punya kantor” ujar pria gondrong itu saat aku bertanya tentang kameranya, yang membuatku lupa akan kesan seram dari wajahnya. Saat itu aku bercerita padanya aku juga ingin menjadi seorang jurnalis tapi ingin sekolah di bidang teknik. “Saya tamatan teknik sipil” lanjutnya sambil seolah-olah menunjukkan bahwa kendati sekolah di bidang teknik, namun kini ia seorang jurnalis. Ia kemudian berjanji untuk memberikanku beberapa hasil fotonya pada acara PKA.

Aku sempat ragu, memilih meneruskan sekolah di teknik atau bidang komunikasi. Namun akhirnya aku memutuskan sekolah di teknik, teknik planologi (sebagian orang lebih mengenal dengan sebutan teknik tata kota).

Pada masa orientasi mahasiswa bagian universitas, kami dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok biasanya mewakili setiap fakultas. Saat itu ada sesi pembacaan cita-cita, dan aku tanpa ragu mengatakan aku ingin menjadi seorang jurnalis/penulis. Sontak seluruh isi kelas tertawa, karena posisiku adalah mewakili Fakultas Teknik. Mereka mengatakan aku salah jurusan. Aku hanya tersenyum kecut. Tokh, seorang jurnalis media internasional yang kukenal beberapa tahun lalu telah membuktikannya pikirku.

Tanpa dinyana, bersekolah di Teknik Planologi membuatku dapat berkeliling Jawa Barat. Bukankah salah satu alasanku menjadi jurnalis agar dapat berjalan-jalan, melihat sebuah daerah dari sisi yang berbeda.

Kini, walau masih tidak dikategorikan sebagai jurnalis, aku telah menjadi bagian dari Media Online Lintas Gayo. Belajar bagaimana menulis suatu hal yang tidak terlihat oleh orang lain, belajar mengasah kepekaan terhadap lingkungan sekitar, belajar menangani perusahaan dari 0 (nol), belajar berhadapan dengan orang yang baru dikenal dan mencoba memahami mereka.

Menjadi bagian dari Lintas Gayo memberiku kesempatan berkenalan dengan jurnalis dari berbagai harian di Kota Takengon dan Kabupaten Bener Meriah, serta mengikuti pelatihan jurnalistik se-Aceh yang diadakan oleh Pewarta Foto Aceh (PFA) yang diketuai oleh Iranda Novandi.

Tak disangka saat mengikuti pelatihan jurnalistik, aku kembali bertemu dengan Tarmizy Harva, ia menjadi narasumber di bidang fotografi, saat itu ingin sekali rasanya aku berterima kasih padanya, karena tanpa ia sadari ia telah menjadi motivatorku. Bersekolah di teknik, namun tetap berkecimpung di dunia jurnalis. Sayangnya keberanianku “berbicara” hanya sebatas ketikan tulisan.

Dan aku tetap bekerja di bidangku, Teknik Planologi. Yang melalui pekerjaan ini aku dapat mengelilingi seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh, melihat Aceh dari tata wilayah dan perkotaannya serta dari sudut pandangku sebagai penulis. Harapanku semoga suatu saat aku dapat mengelilingi provinsi lainnya di Indonesia.

Masih adakah cita-citaku yang belum kesampaian? Tentu, aku ingin menjadi bagian dari Media National Geographic Adventure, yang bagian petualangannya. Menjadi jurnalis sekaligus berpetualang ke berbagai belahan dunia. Dan lagi-lagi ingin melihat dunia dari sisi yang berbeda.

Seperti Burung American Golden Plover (camar emas Amerika berekor pendek), salah satu pengembara terhebat di dunia. Panjangnya 9 inchi, tapi ia mampu mengembara ratusan ribu mil dalam hidupnya. Asalnya dari padang rumput di Kutub Utara, terbang menuju Argentina, dan kembali. Semuanya dalam waktu satu tahun. Burung yang diremehkan semua orang, namun penuh kebebasan dalam mengembara/berimigrasi.

Kutipan sederhana dari perkataan si Mbah di Film Cita-citaku Setinggi Tanah, “cita-cita itu bukan untuk ditulis, tapi untuk diwujudkan”.(Ria Devitariska)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.