Kompetensi Guru VS Kredit Konsumtif

Oleh: Muhamad Hamka*

HASIL uji kompetensi guru Provinsi Aceh yang jeblok membuat mata kita terbelalak. Ternyata, dunia pendidikan Aceh masih berjalan lamban. Dan ironinya, guru yang merupakan penopang utama dalam melahirkan pendidikan yang bermutu justru tersandung dengan kualitas dan kompetensi yang memperihatinkankan.

Seperti yang diberitakan oleh Media Online Lintas Gayo (9/8), hasil uji kompetensi guru (UKG) Aceh sangat memperihatinkan. Dari hasil UKG, baik Uji Kompetensi Awal (UKA) guru sebelum sertifikasi, maupun hasil UKG setelah melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa nilai rata-rata UKG Provinsi Aceh jauh di bawah nilai rata-rata nasional, yaitu 36,1 pada UKA.

Sementara, nilai rata-rata nasional adalah 42,55. Nilai UKG akhir Aceh pun sangat rendah, yaitu 37,62. Ā Sementara, nilai rata-rata nasional adalah 43,84. Dengan nilai tersebut, Aceh hanya menempati peringkat 28 pada UKA, dan peringkatnya melorot menjadi 32 pada UKG. Hasil yang diperoleh Aceh ini lebih rendah dari Papua yang menempati peringkat 9 pada UKA dan peringkat 12 pada UKG. Bahkan lebih rendah dari NTT yang menempati peringkat 17 pada UKA dan peringkat 30 pada UKG.

Apapun reasoning yang dikemukakan oleh pihak yang bertanggung-jawab soal anjloknya kompetensi guru Aceh tetap susah dicerna dengan akal sehat. Pasalnya, dibandingkan dengan dua provinsi diatas, Aceh memiliki jumlah guru berkualifikasi S1 keatas lebih banyak, pun fulus yang digelontorkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Aceh sangat besar. Namun hasilnya tidak sebanding dengan kualitas dan kompetensi guru.

Paradigma AMPI

Rendahnya tingkat kompetensi guru Aceh diatas adalah potret betapa buruknya seleksi dan rekruitmen guru di Aceh selama ini. Hal ini sebetulnya tak mengejutkan bagi para pemerhati pendidikan. Karena proses seleksi dan rekruitmen guru di Aceh selama ini cendrung dipolitisasi untuk kepentingan para pemilik kekuasaan, baik di provinsi maupun kabupaten/kota Dimana rekruitmen tenaga honorer ataupun seleksi CPNS guru masih didominasi oleh paradigma AMPI (anak, menantu, ponakan dan ipar). Artinya, nepotisme masih kental dalam setiap rekruitmen guru, baik CPNS maupun tenaga honorer.

Hal ini berdampak pada kualitas dan kompetensi guru itu sendiri. Guru yang sebetulnya punya kapasitas dan kualitas menjadi tersisihkan hanya karena tidak punya koneksi kelingkaran kekuasaan. Hal seperti ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Aceh. Dan terbukti, sekolah-sekolah yang dikelolah oleh pihak swasta dengan tingkat rekruitmen tenaga pengajar yang selektif memiliki output yang cukup baik.

Persoalan lain yang tak kalah urgen adalah proses pelatihan guru yang dilakukan oleh pemerintah masih cendrung project oriented. Orientasi fulus masih cendrung menjadi tujuan primadona dari pihak pengelolah latihan. Sementara guru yang mengikuti pelatihan masih sedikit yang memosisikan training sebagai sarana pembelajaran. Sebagaian besar hanya menjadikan pelatihan sebagai media memproleh sertifikat. Sehingga tak heran kalau ada guru yang tidak ikut pelatihan tapi membayar biaya pelatihan demi mendapatkan sertifikat.

Persoalan lain yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru adalah kian meningkatnya kredit konsumtif guru bersertifikat. Dengan adanya tunjangan sertifikasi yang menggiurkan, membuat para guru bersertifikasi ikut tergiur dengan pelbagai tawaran kredit konsumtif. Kalau sebelumnya hanya kredit kecil-kecilan semacam barang rumah tangga dan sepeda motor, maka dengan hadirnya tunjangan sertifikasi, kredit konsumtif ikut meningkat; mulai dari kredit rumah, tanah, hingga mobil.

Hal ini berdampak pada kualitas dan kompetensi guru, dimana kosentrasi belajar ikut terganggu akibat disibukkan dengan urusan kredit. Sehingga tujuan awal dari sertifikasi untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru menjadi terabaikan oleh derasnya nalar konsumtif. Asumsi ini tentunya membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Untuk itu, pemerintah Aceh dan kabupaten/kota perlu memikirkan persolan ini secara serius. Karena maju-mundurnya peradaban sebuah bangsa sangat ditentukan oleh mutu pendidikannya. Dan pendidikan yang bermutu sangat ditentukan oleh guru yang berkualitas.(for_h4mk4[at] yahoo.co.id)

*Pemerhati Pendidikan, tinggal di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.