TIDAK terasa Republik Indonesia sudah 67 tahun menikmati kemerdekaanya. Dan tahun ini perayaan hari kemerdekaan Indonesia hampir bersamaan dengan hari raya Idul Fitri, hari “kemerdekaan” bagi umat Islam di seantero jagad setelah menjalankan ibadah shaum selama sebulan penuh.
Namun diusia yang tidak bisa dikatakan mudah tersebut, ternyata pelbagai persoalan serius masih menghantui perjalanan bangsa ini. Salah satu dari sekian persoalan yang cukup menyita energi bangsa ini adalah problema kemelaratan. Kemelaratan sepertinya menemukan habitusnya di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Kemelaratan yang terjadi di Indonesia sudah menjadi persoalan laten. Kemelaratan disini bisa dikategorikan dua jenis, yakni kemelaratan obyektif dan kemelaratan subyektif. Pertama, kemelaratan obyektif (kemiskinan). Disukai atau tidak, kemiskinan di Republik ini sudah menebar secara massif dipenjuru negeri. Saban tahun, boleh saja pemerintah mengeluarkan pengumuman resmi bahwa angka kemiskinan di Indonesia sudah ada penurunan (berdasarkan angka-angka statistik tentunya).
Demokrasi angka
Pemerintah boleh saja berapologi dengan “demokrasi angka” yang cendrung manipulatif. Tapi pemerintah tidak bisa memanipulasi fakta, bahwa kenyataanya kemiskinan masih “menari-nari” di seantero negeri ini. Pemerintah tidak bisa menutup mata publik dari pemberitaan media massa soal warganya yang terinjak-injak berebutan sembako ketika ada hari raya keagaamaan. Atau berita tentang masyarakat di pelosok-pelosok Indonesia bagian Timur yang mengais umbi di hutan untuk menyambung hidup.
Namun ironisnya, elite politik di Republik ini justru sibuk “bertengkar” soal jatah kursi kekuasaan, ketimbang memikirkan nestapa yang mendera rakyat. Bahkan problema kemiskinan yang mendera rakyat tidak jarang dijadikan komoditas politik dalam rangka mendongkrak suara menjelang pemilu. Tabiat politik elite di negeri ini sudah mengalami degradasi pada titik nadir moralitas. Sehingga tidak heran, kalau ada anggota parlemen yang melecehkan amanah rakyat dengan nonton video porno justru disaat sidang soal hajat hidup rakyat.
Kedua, adalah kemelaratan subyektif (keserakahan). Keserakahan ikut menemukan lahan suburnya di negeri ini. Keserakahan yang termanifestasi dalam perilaku biadab korupsi justru menggurita dipelbagai level kehidupan. Padahal, pelbagai aturan hukum pemberantasan korupsi, satuan tugas (satgas) pemberantasan korupsi, fatwa moral kaum agamawan, hingga membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi tak membuat koruptor jera namun semakin menggurita dengan pelbagai modus operandi dan beragam para pelaku.
Perilaku serakah
Perilaku serakah (korupsi) menimbulkan kemelaratan yang kronis dan masif di lapisan masyarakat bawah. Betapa tidak, uang rakyat yang seyogianya bisa dimanfaatkan buat memperbaiki infrastruktur publik, membiayai sekolah anak-anak yang kurang mampu, hingga membantu berobat keluarga miskin, justru dikorup tanpa ampun oleh perilaku tamak para koruptor yang sebagaian besar pejabat Negara yang notabene digaji oleh uang rakyat.
Padahal Rasulullah saw sudah tegas mengatakan bahwa kemelaratan itu nyaris identik dengan kekufuran. Sehingga kehadiran agama—meminjam refleksi Kyai Masdar F Mas’udi—hadir bukan untuk membangun kebesaran simbolik komunalistik, tapi untuk menyingkirkan kemelaratan-keserakahan sebagai musuh utama spiritualitas dan kemanusiaan. Untuk itu, Ramadan yang sebentar lagi berlalu meninggalkan kita harus mampu kita internalisasi dan manifestasikan nilai-nilainya setelah Ramadan usai. Nilai tersebut adalah nilai kemanusiaan sebagai hamba Allah yang berakal.
Dengan harapan kemanusiaan kita tidak sekadar berotasi dalam “jubah” kesalehan individual, namun juga yang tidak kalah penting adalah senantiasa peka dengan realitas sosial sebagai manifestasi dari habbluminnas. Minimal kita bisa menjadi teladan yang baik untuk tidak hidup serakah dan tamak serta belajar sungguh-sungguh untuk peduli dan berbagi dengan saudara-saudara yang kurang mampu. Karena sesungguhnya dalam harta yang kita miliki ada hak orang miskin dan terlantar.
Kalau ini mampu kita artikulasikan pasca Ramadan usai, maka bukan tidak mungkin negeri ini bisa sedikit demi sedikit bebas dan merdeka dari kemelaratan. Semoga!(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)
* Analis Sosial dan Politik