Lintas Gayo | Jakarta – Hadirnya penulis baru Gayo; Rosnida Sari memberikan ruh baru dalam pendokumentasian Gayo. Lebih khusus lagi, bagi penulis perempuan Gayo.
“Penulis Gayo masih sangat kurang. Apalagi, yang perempuan dan menghasilkan buku. Masih bisa dihitung dengan jari. Itu pun sebelah tangan,” kata Direktur Research Center for Gayo, Yusradi Usman al-Gayoni di Jakarta, Rabu (26/9/2012).
Dalam amatannya, baru tiga orang yang menghasilkan buku, diantaranya Djeniah Alim, Nabila Ulamy Alya, dan Rosnida Sari. Nabila sendiri merupakan novelis termuda di Aceh dan sudah menghasilkan empat novel. “Barangkali, masih ada yang lain. Cuma, masih belum tercatat,” ungkap perintis dan pengelola “Perpustakaan/Taman Baca Gayo” sejak tahun 2002 itu.
Akibat kurangnya penulis Gayo, buku-buku Gayo pun jadi kurang. Menurut perkiraannya, sejauh ini, buku Gayo masih kurang dari 300 buku. Kebanyakan buku itu berisi dokumentasi karya sastra. Sementara, buku-buku Gayo yang sifatnya ilmiah masih sangat kurang.
Perlu Campur Tangan Pemerintah
Karenananya, pendataan penulis dan buku-buku Gayo mesti dilakukan. Juga, mengupayakan buku-buku Gayo sebagai sumber bacaan baik di perpustakaan daerah/kampung (desa) maupun di sekolah-sekolah. Masalah ini semestinya menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten dan Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah di Gayo.
“Sama saya sendiri, sejak tahun 2002, baru terkumpul hampir 100 buku Gayo. Termasuk, 4 buku saya yang sudah terbit. Namun, pengumpulan ini tidak maksimal. Karena, kurang biaya,” akunya. Oleh sebab itu, Yusradi meminta agar pemerintah kabupaten di yang meng-handle persoalan ini. Termasuk, membantu biaya penelitian dan penerbitan buku-buku Gayo.
Kalau tidak, proses riset, penulisan, dan penerbitan buku-buku Gayo akan makan waktu lama dan tidak maksimal di tengah kekhawatiran akan kepunahan Gayo. Pasalnya, untuk menerbitkan buku Gayo perlu biaya yang tidak sedikit. “Saya pikir, nilai 20-40 juta bagi pemerintah sangat kecil. Tapi, kalau pribadi nilainya sangat besar dan terasa berat,” sebutnya (LG06)