by

Kalau Saya Jadi Bupati….

Aku tak tahu harus memulai menulis kisah ini dari mana. Aku berharap tulisan ini bias menjadi menarik bagi pembaca tentang sebuah fakta. Aku mencari –cari angle yang  menggugah. Tapi hal ini membuat ide menulis tentang kopi ini jadi lama dan stagnan karena ingin tulisan ini baku .

Tapi aku kemudian memutuskan melupakan semua teori menulis. Biarlah menulis aja, apapun jadinya nanti.

Tuhan, tentu saja Allah, pasti mempertemukan aku dengan orang-orang yang bergerak di bidang kopi. Khususnya kopi gayo. Arabika dan robusta. Orang-orang yang sebelumnya tak kukenal . Tapi berpikir dan berusaha dibidang kopi Gayo.

Kemudian terbukalah jalan dan terjadi pertemuan dengan orang-orang dibidang kopi. Sejak kuputuskan menekuni kopi yang diusahakan lebih 80 persen rakyat Gayo, khususnya arabika, aku memilih bidang minuman kopi dengan menu modern yang mendunia. Espresso.

Aku kemudian diajarkan franky Angkawijaya tentang membuat minuman kopi sebagai bahan dasar dengan tambahan rasa susu, coklat dan lain-lain menggunakan mesin kopi espresso.

Franky seorang pengusaha mesin kopi , café dan juga sekolah Barista, di Senayan Trade Center (STC).

Masih di Jakarta, aku berkesempatan bertemu dengan pengusaha kopi Gayo yang memiliki kilang penggilingan kopi, bang Gawa serta forum komunikasi Gayo Linge yang berasal dari empat kabupaten di Aceh yang didominasi masyarakat Gayo.

Kopi pula yang mempertemukan aku dengan pejabat Aceh Tengah yang sangat tertarik dibidang kopi dan mempopulerkannya dibanyak kesempatan seperti Drs. M.Syukri . MPd. Salah seorang penggila minuman kopi.

Demikian halnya dengan sosok Munawar SH. Pejabat di Bener  Meriah yang menekuni kopi bubuk dan menjualnya langsung di antero Aceh sendiri. Munawar tak malu demi sebuah branding kopi Gayo. Munawar  tidak seperti kebanyakan pejabat yang mungkin gengsi  dan lebih suka menunggu proyek di kantornya.

Munawar mempatenkan merek kopi bubuknya dengan merek, Gayo Redelong Kopi .

“Kata Redlong adalah Ibukota Kabupaten Bener  Meriah. Menurut mantan penjabat bupati Bener Meriah, Ruslan Abd Gani, Redlong berasal dari Belanda yang berarti Merah dan panjang. Dimana kala itu Belanda melihat dari atas banyaknya barak-barak Belanda yang panjang dan berwarna seperti kemerahan sehingga disebut Redelong”, sebut Munawar.

Namun , tambah Munawar, karena lidah orang Gayo yang sulit menyebut red, kata ini berubah  menjadi redelong.

Minggu malam (5/3) Munawar telepon dan ingin sharing tentang kopi. “Win , aku mau main kerumah sama kawanku yang juga pemain kopi. Dia bilang pernah bertemu kamu di Bergendal kopi”, kata Munawar  dari seberang telepon.

Tentu saja aku menyambut gembira menunggu kehadiran Munawar.

Aku jadi teringat saat berada di Bergendal Kopi , Sabtu sore (4/3) saat menikmati kopi cappuccino bersama Bang Arslan dan Alim. Bang Gawa yang pengusaha kilang kopi di Simpang Tiga telah terlebih dahulu berada di Bergendal.

Dia bersama lelaki gondrong yang terlihat memperhatikan kemasan kopi bubuk milik Bergendal kopi.

Lelaki yang bertemu denganku di Bergendal kopi, kita sudah dihadapanku. Namanya Sugeng, nama Jawa tapi bermarga Harahap. Ternyata dia orang batak.

Lelaki berpostur tinggi dan berambut gondrong ini adalah mantan aktipis LSM dan relawan yang kini berdagang kopi menggandeng pengusaha Taiwan, Mr. Wo.

Sugeng ternyata memasuki dunia kopi jauh lebih dalam setelah selama dua tahun melakukan penelitian kopi di Sidikalang Sumatera Utara.

“setelah melakukan penelitian tentang kopi, saya dan Mr. Wo memutuskan berbisnis kopi dan memilih Bener Meriah”, kata Sugeng.

Menariknya, Sugeng bersama koleganya dari Taiwan ingin Branding kopi gayo mendunia. “Semua bahan dasar kopi di dunia adalah arabika dari Gayo kemudian dicampur dengan kopi lainnya”,ungkap Sugeng.

Idealisme Sugeng dan Mr. Wo muncul setelah melihat bagaimana kopi Gayo khususnya arabika memiliki kualitas dan rasa yang sangat special didunia. Tapi produk akhir kopi berupa biji yang dieksport, dikuasai sedikit orang, yakni eksportir.

Sugeng melihat , penanganan kopi belum maksimal dimana peran pemangku kebijakan, masih sangat lemah dan sedikit dibidang kopi.

“seharusnya Pemkab terjun dijual perdagangan kopi dengan memproteksi kopi petani melalui perda, qanun atau perbup. Sehingga kopi ditingkat petani atau pengusaha local sudah ready. Bukan lagi kopi asalan”, imbuh Sugeng.

Dengan menjual kopi asalan keluar daerah , justru menguntungkan pengusaha luar daerah yang membuat kopi gayo menjadi ready dengan standar eksport.

Selain itu, Sugeng  ingin ada edukasi kepada petani tentang keunggulan kopi Gayo di rasa, aroma dan fisik kopi sehingga tahu nilai kelebihan dan specialitasnya.

Bersama pengusaha Taiwan, Sugeng membeli langsung kopi petani dan memberikan fee pembelian kopi langsung kepada petani, tidak melalui agen atau kolektor sehingga mampu dirasakan petani fee kopi organic mereka.

Menyinggung banyaknya café modern di kota besar yang menjual kopi, menurut Sugeng kebanyakan pelanggan kopi masih dipengaruhi suasana café, bukan kualitas rasa.

“rasa kopi di café terkenal sekalipun, masih hancur-hancuran. Kebanyakan pelanggan yang masih ABG lebih membeli suasana daripada rasa kopi”, papar Sugeng.

Dengan melihat biji kopi, Sugeng langsung dari jenis dan dari mana kopi tersebut berasal. Demikian juga rasa dan aroma kopi.

Upaya Sugeng memperkenalkan kopi Gayo, dilakukannya dengan tetap memakai branding Gayo. Bahkan mahasiswa Taiwan sudah melakukan penelitian kopi di Bener Meriah. Di bulan Maret ini, aktipitas pertanian kopi akan diliput TV Taiwan.

Sebagai pedagang kopi, Sugeng tidak puas dengan hanya mengolah kopi secara biasa. Kini Sugeng sudah mulai mengembangkan eksport kopi yang disebut “Honey Bean”, bukan saja green bean yang biasa.

Melihat betapa besar potensi kopi gayo dan luasnya pemasaran kopi gayo, Sugeng berucap, seandainya saya bupati, saya akan datangi konsumen kopi dunia dan menawarkan berbagai jenis kopi Gayo”, harap Sugeng.

Sayang, urusan penjualan kopi Gayo masih dikuasai segelintir pengusaha eksportir saja. Sehingga ketergantungan petani dan pengusaha pada eksportir sangat besar. Termasuk saat uang penjualan kopi ditahan eksportir kopi  dengan alasan belum dibayar pembeli kopi.

Demikian juga dominasi aturan. Seperti sertifikasi organic yang standarnya masih berbau Amerika padahal masyarakat Gayolah pemilik kopinya. Demikian juga kelompok  pengusaha organic seperti Aeki yang beberapa waktu lalu menentukan harga kopi secara sepihak demi keuntungan bagi mereka.

Belum lagi soal branding atau merek yang  bukan menyebut kopi Gayo. Seperti  Gayo Lintong atau Gayo Sidikalang. Padahal kopi nya adalah kopi Gayo.

Tinggal kemauan dan kerja keras semua pihak untuk membawa kopi Gayo mendunia. Buka lagi sekedar orasi atau tebar pesona saja. Tapi benar-benar melakukan revolusi kopi Gayo di semua lini. Dari budidaya hingga pasar mancanegara.

Gayo punya kopi, harus Gayo punya nama. Jangan hanya berkata, mari bertindak sekarang demi 80 persen petani kopi Gayo dan penyumbang terbesar PAD.

Kalau seorang Sugeng  dan Mr.Wo punya idealism pada kopi gayo, akankah lagi kita. Don’t be NATO. Just Do It (Aman Shafa)

 

Comments

comments