Jakarta | Lintas Gayo – Temu tokoh Gayo yang diselenggarakan Ikatan Musara Gayo (IMG) Jabodetabek berlangsung sukses. Tak kurang, 60 tokoh Gayo lintas generasi dan profesi di Ibu Kota Negara hadir dalam pertemuan penting itu.
“Acara ini bertujuan untuk menguatkan kaderisasi dan regenerasi masyarakat Gayo. Juga, mengambil langkah-langkah yang diperlukan baik di Jakarta maupun di Gayo,” kata Ketua Umum Musara Gayo, Muhammad Hasan Daling di Gedung A Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/10/2012).
Sayangnya, Pj. Bupati Aceh Tengah, Ir. Mohd Tanwier berhalangan hadir. Dalam kesempatan tersebut, jelasnya, ada dua topik yang dibahas, yaitu pendidikan dan kebudayaan yang diisi Prof. Dr. Ismail Arianto dan Prof. Dr. M. Dien Madjid. Kemudian, sosial-politik dengan pembicara Ir. Mursyid (Anggota Dewan Perwakilan Daerah “Senator” Aceh) dan Moch Gunter Gempar Alam (Politisi Partai Golkar).
Dalam paparannya, Prof. Ismail Arianto, menerangkan, pada awalnya, pendidikan Islam sangat diprioritaskan pada masyarakat Gayo. Dua diantaranya tokohnya adalah Tengku Ilyas Leube dan Tengku Djali. Sampai-sampai, ada istilah leseng dimana orang-orang yang bersekolah agama biasanya berceramah saat bulan ramadhan.
Akibatnya, yang masuk ke pendidikan umum, kurang. Apalagi, pendidikan umum identik dengan “kafir” dan sebagai simbol menolak Belanda. “Satu periode rugi. Karena, tidak dipadukannya pendidikan agama dengan pendidikan umum,” ungkapnya.
Dalam amatannya, dari sisi kuantitas, pendidikan masyarakat Gayo sudah relatif lebih baik. Hanya saja, kualitasnya masih kurang. Karenanya, pemerintah kabupaten di Gayo perlu memberikan insentif lebih kepada tenaga pendidik.
Dengan begitu, mereka bisa maksimal dalam mendidik. Kemudian, meningkatan minat baca anak-anak. Orang tua siswa juga perlu diarahkan terkait pendidikan anak-anaknya. Dengan kata lain, perlu sinergisitas dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) Gayo. Termasuk, dari pihak swasta.
Sementara itu, Prof. Madjid, melihat, ada empat stuktur sosial yang ada dalam masyarakat Gayo, yaitu etika, estetika, logika terapan, dan teknologi terapan. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan disiplin.
Seperti pendapat Prof. Ismail, Prof. Madjid, berpandangan, perlu ditingkatkannya minat baca dan sinerjisitas antarstakeholder. “Saya lihat minat baca ini yang masih rendah. Di Leiden, di luar perkuliahan, mahasiswa masih membaca minimal 5 jam. Di kita kan, tidak,” sebutnya.
Dalam sesi diskusi yang dipandu Yusradi Usman al-Gayoni, Baharuddin Wahab, menilai, tren pendidikan masyarakat Gayo mengalami naik-turun. “Tapi, kualitas no. Kalau sudah di gelengang, geson. Apalagi, yang melompat, jarang,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Baharuddin, mengaitkannya dengan faktor budaya. “Apakah budaya Gayo sudah mendukung bagi kemajuan pendidikan Gayo. Dukungan budaya ini sangat penting,” tegasnya (LG-006/red.04).