Revitalisasi Didong

Oleh: Muhamad Hamka*

DIDONG layak ditasbihkan sebagai karya seni adiluhung. Karena seni Didong tak hanya sekadar sebuah “kesenian” tapi lebih dari itu, seni Didong merupakan refleksi/cerminan cara berhidup orang Gayo. Karena dalam seni Didong terangkum pelbagi maknawi akan eksistensi manusia. Seni Didong, meminjam kontemplasi Gothe, adalah mediator dari sesuatu yang tidak terkatakan.

Bagi Penulis, Didong adalah mahakarya yang—meminjam istilah Maman S Mahayana—lahir atas desakan hati nurani dari seniman Gayo masa itu. Sehingga akan menjadi paradoks ketika hari ini seni Didong mengalami pergeseran ke arah yang cendrung antagonistik. Seperti yang tercermin dalam syair yang cendrung sarkastik (saling menjatuhkan/melecehkan).

Padahal seperti yang dituturkan oleh Abdul Kadir To’et (Potret Jejak Langkah Seniman Gayo, 2006), Didong berasal dari kata din dan dong. Din berarti agama dan dong berarti dakwah. Sehingga dalam pemahaman yang lebih luas dan komprehensif maka seni Didong dipahami sebagai suatu upaya penyebaran agama Islam melalui suatu media syair.

Jadi, sejatinya Didong dalam konteks kekinian adalah seni yang memosisikan dirinya sebagai mediator dalam menularkan kebajikan dan kemaslahatan ditengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi seni Didong menurut Prof Dr M. Junus Melalatoa. Menurut Prof Melalatoa dalam buku Potret Jejak Langkah Seniman Gayo, ada beberapa fungsi Didong.

Pertama, seni Didong berfungsi untuk mengisi kebutuhan ungkapan-ungkapan estetika, keindahan juga hiburan. Ketiganya bisa ditemukan dalam seni karena disitu ada lirik, melodi dan juga gerak tari yang begitu indah dan serasi.

Kedua, berfungsi mempertahankan struktur social. Didong pada masa lampau adalah sebuah permainan adat yang menghidupkan denyut kehidupan klen (belah). Sedangkan klen atau belah itu sendiri merupakan struktur social yang penting bagi masyarakat gayo.

Ketiga, berfungsi sebagai pelestari sistem budaya. Pudar dan berubahnya system budaya Gayo seperti nilai harga diri, disiplin, halus, santun, kreatif, tolong menolong, ketertiban, serta menghargai kualitas dan lainya, diungkap kembali dalam kesenian didong melalui lirik-lirik indah, ditembangkan, diiringi sebuah melodi dari para ceh sehingga penonton mengenali dan menginternalisasi kembali nilai-nilai tersebut dalam kehidupan keseharian.

Ke-empat, berfungsi sebagai sumber pengumpulan dana bagi pembangunan masjid atau sarana ibadah, gedung sekolah, jembatan dan lainya. Caranya dengan mengadakan pertandingan Didong dengan memungut bayaran bagi para penonton. Cara ini ternyata cukup efektif dan merupakan hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Kelima, kesenian Didong menjadi sarana sebagai alat control sosial. Didong merupakan arena pergulatan rasa, keimanan dan pikiran “kritis”. Sifat kritis tersebut membutuhkan keterampilan kreatif untuk menghasilkan karya berkualitas. Dan semua itu biasanya ditujukan untuk lawan tanding, penonton, pemerintah, masyarakat lainya. Misalnya tentang korupsi, pendidikan, hubungan suami istri, perilaku meremehkan adat istiadat dan sebagainya.

Ke-enam, Didong menjadi wahana penerangan yang efektif bagi masyarakat terutama di pedesaan. Masyarakat disentuh dengan Didong melalui rasio, rasa dan iman. Dengan bantuan teknologi, pesan yang disampaikan lewat Didong dikemas sedemikian rupa sehingga lebih intens dan mampu menghasilkan efek (feedback) yang diharapkan.

Dari jabaran fungsi Didong Prof Melalatoa diatas, kita sampai pada sebuah simpulan bahwa seni Didong merupakan perwujudan cara berhidup orang Gayo pada masa lampau yang dipenuhi filosofi dengan ragam kebajikan/kemaslahatan yang seyogianya menjadi pegangan bagi generasi hari ini.

Pereduksian nilai-nilai luhur seni Didong dalam syair-syair yang sarkastik hari ini, tidak hanya membuat Didong kehilangan “tuahnya” sebagai seni yang lahir atas desakan hati nurani, tapi juga merupakan gambaran yang terang akan pergeseran cara berhidup generasi Gayo hari ini. Hal ini memang tak bisa dimungkiri, sebagai kosekwensi logis dari arus globalisasi yang makin deras.

Tapi Saya percaya, karya seni Adiluhung tak akan pernah pupus ditelan zaman sekalipun kualitasnya mulai digerus oleh syahwat pragmatis. Upaya-upaya penggerusan keluhuran Didong seperti dalam syair-syair yang tak lagi santun dan cendrung sarkastis lambat laun akan terpental dengan sendirinya oleh seleksi alam. Namun upaya untuk menjaga spirit luhurnya tetap perlu dilakukan

Untuk itu, harus ada upaya revitalisasi dalam menjaga otentisitas dan spirit mulia seni Didong, yang paling urgen adalah melalui pendidikan. Karena dengan bangunan epistemology yang kuat, seni Didong bisa dikembalikan pada jalur yang tidak ahistoris. Artinya, seni Didong akan tetap terpelihara nilai-nilainya—sebagaimana akar sejarahnya—dari gempuran globalisasi yang serba pragmatis, hedonis dan konsumtif.

Maka langkah memasukan Didong dalam kurikulum materi khusus muatan lokal (Mulok) dalam pendidikan dasar dan menengah patut dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan di tanoh Gayo, guna menyegarkan kembali spirit Didong yang mulai memudar.(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)

* Penikmat Seni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.