Refleksi Sebuah Pengalaman
KETIKA pertemuan pertama dengan mahasiswa dalam mata Ushul Fiqh saya membuat kesepakatan untuk tidak mengangkat telepon yang masuk ketika kuliah sedang berlangsung, mereka menyepakati. Tidak hanya itu, ketika kami buat perjanjian bagi siapa yang tidak belajar di rumah diberikan sanksi, mereka juga sepakat.
Aturan yang disepakati membuat mahasiswa menjadi disiplin, mereka selalu membuat resume dari buku yang mereka baca. Ketika diberi kesempatan untuk bertanya, maka kebanyakan mereka sudah mempersiapkan pertanyaan, sehingga terkadang waktu habis terpakai untuk menjawab pertanyaan.
Pertanyaan yang diajukan bukan tanpa persiapan, tetapi benar-benar dari hasil bacaan. Ini terbukti dari pernyataan mereka bahwa apa yang dijelasan dengan keraguan mereka berani kata, bahwa ia tidak paham atau tidak setuju dengan penjelasan yang diberikan.
Suatu ketika dalam pertemuan kesepuluh (X) Hp saya berbunyi, karena lupa di silent. Orang yang menelepon adalah saudara yang sangat dekat dari segi kekerabatan (garis kekeluarga) dengan saya. Karena membaca namanya yang sudah sangat lama terekam diponsel, saya mengangkat dan menerima telepon. Dalam anggapan saya tidak mungkin ia menelepon kalau tidak ada hal yang sangat penting, dan ternyata betul.
Setelah menerima teelpon saya kembali keruangan dimana saya sedang mengajar, sebelum mahasiswa mempertanyakan kenapa saya melanggar kesepakatan yang dibuat, langsung saya menjelaskan bahwa orang yang menelepon adalah keluarga dekat yang sudah sangat lama tidak ada komunikasi karena jauhya tempat tinggal dan dia itu tinggal jauh dari perkotaan, karena ia mencari nafkan dengan berkebun dan sampai sekarang keberuntungan belum berpihak kepadanya.
Kalau orang lain yang menelepon saya bisa katakan kalau saya sedang mengajar, sedang sibuk seminar atau sibuk-sibuk yang lain. Namun untuk dia saya tidak berani katakan itu, karena sekali ia katakan kita sombong maka untuk selama-lamanya kita adalah orang sombong dalam benaknya, dan ia akan bercerita pada sesama keluarga bahwa karena nasib dia yang belum beruntung maka telponnya tidak akan kita angkat.
Akhirnya saya berkata kepada mahasiswa yang sedang saya ajar, jika ada orang yang seperti itu maka pahamili dan layani. Karena mereka itu secara psikologi sensitif, mudah tersinggung dan nerasa tidak dihargai.
Setelah dijelaskan, semua mereka paham, karena kebanyakan mereka berasal dari kampung yang rata-rata adalah anak petani dan kalaupun ada yang bukan anak petani tetapi mereka mengerti keadaan ligkungan mereka. Sehingga pada akhirnya mereka tidak mengatakan bahwa saya adalah dosen orang yang tidak patuh pada aturan.(jamhuriungel[at]yahoo.co.id)
*Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh