Rendahnya Kemampuan Guru Aceh Tengah dalam Penulisan Karya Ilmiah

Oleh: Syahruddin Zen*

“Yang penting membaca walaupun belum membaca yang penting

Yang penting menulis walaupun belum menulis yang penting”

KARYA ilmiah merupakan suatu yang sangat penting dalam mengembangkan atau menggali ilmu pengetahuan, bagi seorang guru atau pendidik penulisan karya ilmiah merupakan suatu hal yang wajib karena itu merupakan bukti bahwa guru mempunyai kompentensi yang baik dan terus berbenah menjadi guru yang propesional. Rendahnya kemampuan guru yang ada di Aceh Tengah bukanlah hal yang mengejutkan karena ini bukanlah hal yang baru.

Sebenarnya lemahnya tradisi menulis bukan hanya dikalangan guru di Aceh tengah akan tetapi juga dosen dan akademik lainnya, Penyebabnya macam-macam , tetapi umumnya antara lain karena lemahnya kesadaran guru di Aceh Tengah tentang pentingnya menulis, tidak tau manfaatnya menulis, keterbatasan mengakses informasi sehingga tidak tau apa yang harus ditulis, lemahnya penguasaan metode ilmiah dan kurangnya dorongan pimpinan sekolah kepada para guru untuk menulis.

Keadaan diatas bukan isapan jempol belaka, coba saja berkunjung keperpurtakaan sekolah yang ada di Aceh Tengah, selain umumnya buku bacaan yang tersedia sangat sedikit, karya ilmiah dari hasil tulisan guru juga hanya beberapa biji, apalagi hasil penelitian, nyaris tidak ada. Selain jumlah yang sedikit buku yang tersedia umumnyajuga buku-buku lama atau tidak yang bermutu sehingga tidak menunjang kwalitas mutu siswa. Padahal ilmu pengetahuan berkembang pesat yang mestinya dibarengi dengan ketersediaan buku atau bacaan yang banyak dan up to date disteiap lembaga atau satuan pendidikan.

Rendahnya kemampuan dan minat menulis karya ilmiah juga berdampak pada mandeknya jenjang kepangkatan guru. Secara nasional, sebagian besar kepangkatan guru di Aceh Tengah berhenti pada golongan IV A. Mengapa?, karena mulai dari golongan IV A ketas kenaikan golongan menyaratkan komponen dari penulisan karya ilmiah selain komponen mengajar.

Kondisi ini sangat memprihatinkan ditengah-tengah upaya dan keinginan besar pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan agar memiliki daya saing yang  tinggi. Tampaknya perlu segera dicari sebuah strategi yang sangat jitu untuk menyelesaikan persoalan ini. Harus dibangun kesadaran bahwa pendidik (guru) adalah selain bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan kepada anak didik untuk menyiapkan masa depan mereka, juga seharusnya orang yang mencintai ilmu pengetahuan dan mengembangkannya.

Di sini  diperlukan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan akan berkembang jika dibarengi dengan tradisi menulis. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tumbuh jika ada tradisi menulis dikalangan guru, bukan tradisi lisan.

Prof.Dr.Mariam Eith Ahmad dari Universitas Ibnu Tufail Maroko saat menyampaikan materi tentang perkembangan ilmu pengetahuan di Universitas Muhammadiah Malang, menyatakan bahwa, kebanyakan kita masih mengadopsi tulisan yang telah ditulis oleh pakar-pakar terdahulu yang seharusnya pada saat ini harus sudah mengalami pengembangan, bukankah Al Qur’an yang diturunkan pada Nabi Muhammad diawali dengan Iqra’ yang artinya baca, kemudian pada ayat ke empat berbunyi Aladzi Allamal bil Qalam yang telah mengajarkan kamu dengan Qalam, maksudnya adalah setelah kita membaca apa yang terjadi maka tuliskanlah apa yang kamu lihat, apa yang kamu pikirkan, apa yang kamu dengar dan apa yang kamu rasakan.

Sayangnya di masyarakat kita Aceh Tengah, terutama masyarakat akademi, tradisi lisan jauh lebih lebih dominan ketimbang tradisi menulis. Orang bisa betah ngobrol kesana kemari berjam-jam, tetapi segera pusing jika berada didepan komputer utuk menulis. Belajar dari bangsa di negara-negara maju, kita bisa menyaksikan bahwa umumnya tradisi menulis diikuti dengan tradisi membaca mereka jauh lebih dominan ketimbang tradisi lisan. Wajar jika dimasyarakat  semacam itu ilmu pengetahuan berkembang demikian cepat.

Seorang Pakar bernama Petter Russel pernah mencoba menghitung laju dan percepatan pertumbuhan ilmu dan teknologi dengan hasil cukup mengejutkan. Pada tahun 1960 umat manusia memiliki 32 satuan pengetahuan kolektif, tahun 1973 menjadi 128 dan selanjutnya satuan ilmu pengetahuan itu akan terjadi penggandaan setiap 18 bulan sekali (Mudjia Rahardjo:2010).

Apa penyebab dari percepatan ilmu pengetahuan tersebut?, tidak lain karena kebiasaan masyarakat mengembangkan tradisi menulis dan membaca. Kita semua sadar bahwa menulis itu tidaklah mudah, itulah sebabnya, dari empat keterampilan berbahasa (listening, Speaking, Reading dan Writing), keterampilan menulis berada pada urutan terakhir karena dianggap paling sulit. Menulis melibatkan banyak faktor: apa yang ditulis, untuk siapa tulisan itu dimaksudkan dan bagaimana menulisnya. Namun demikian, kendati merupakan keterampilan paling sulit, tidak berarti keterampilan penulis tidak bisa dipelajari dan dikuasai.

Satu-satunya solusi dari permasalahan diatas adalah teruslah menulis, tulis apa saja yang kita mau. Never feel hesitate.(syahruddin.zen[at]gmail.com)

*Mahasiswa Pascasarjana Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.