Oleh: Nahot Sihaloho*
BERBAGAI masalah memang tak nampak pada permukaan dunia pendidikan kita. Namun ketika kita mengkaji lebih jauh maka masalah yang sebenarnya akan terlihat dan tak sesederhana apa yang telah kita lewati hari ini. Masalah pendidikan yang mendera seakan tak berujung ini membuat hati galau dan kacau. Beberapa fenomena yang muncul akhir-akhir ini, yang kiranya relevan kita kaitkan dengan penyelenggaraan pendidikan. Beberapa fenomena itu misalnya adalah: (1) banyak orang masuk penjara karena melakukan kesalahan yang merugikan banyak pihak, (2) banyak orang yang tidak malu ketika dirinya tampil di media sebagai tersangka korupsi (3) banyak warga negara yang gagal mendapatkan pekerjaan yang layak, hingga harus pergi ke luar negeri untuk mengais rezeki dengan bekerja seadanya, dan (4) banyak terjadi konflik, protes, demo dengan berbagai kericuan, dan bahkan konflik itu antar elite sehingga tidak mudah diselesaikan. Faktor yang mempengaruhinya antara lain : (1) Rendahnya sarana fisik, (2) Rendahnya kualitas guru, (3) Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, (4) Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, (5) visi dan moralitas pendidik serta anak didik yang rendah, dan (6) Mahalnya biaya pendidikan.
Pragmatisme Pendidikan
Proses pendidikan kita saat ini berproses layaknya “pabrik” yang hanya akan menghasilkan “barang-barang siap pakai”. Barang siap pakai yang dimaksud adalah manusia yang dihasilkan untuk bekerja layaknya robot yang siap dipakai untuk kebutuhan persaingan industri dan teknologi. Plato telah membentuk konsep akademia sebagai tempat pendidikan untuk pencerdasan manusia sehingga manusia akan lebih produktif dalam hal pemikiran dan berkarya. Namun oleh Adam Smith, konsep academia itu direduksi menjadi konsep “Almamater/Universitas” untuk menjadi mega-pabrik yang menghasilkan produk siap pakai untuk bekerja pada pemodal dengan melihat peluang pasar global yang sangat besar. Jadi jangan terlalu bangga menjadi bagian almamater/unversitas, karena bisa jadi anda adalah produk kapitalisme yang di produksi oleh universitas anda sendiri.
Materialisasi atau proses semua menjadikan semua bernilai materi dalam kurikulum diarahkan memberikan bekal kepada peserta didik untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang besar. Peserta didik yang telah selesai akan menggunakan pengetahuannya minimal untuk mengembalikan modalnya selama sekolah dan bahkan mencari untung sebesar-besarnya. Karena memang dalam teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di masa akan datang.
Prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah adalah keluarkan modal sedikit mungkin dan hasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Maka kurikulum saat ini telah diselewengkan tujuannya hanya untuk mendapatkan pekerjaan sehingga tujuan pendidikan untuk menghasilkan manusia seutuhnya menjadi sirna karena dalam prinsip ekonomi tidak mengenal nilai spiritual, moralitas, dan kebersamaan. Keberhasilan dari sebuah lembaga pendidikan hanya diukur dengan megahnya gedung, banyaknya peminat, nilai UN yang tinggi, dan alumninya banyak duduk di jabatan tinggi.
Sikap pragmatis menjadikan tujuan mulia dari pendidikan tercederai karena ilmu-ilmu lebih disederhanakan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sistem pendidikan pragmatis berorientasi pasar sebenarnya berkembang bukanlah tanpa sengaja. Prof. Abudin Nata dalam bukunya Pendidikan di Persimpangan Jalan mengemukakan bahwa awalnya digagas di Amerika Serikat yang menemukan hasil penelitian pada tahun 60-an terkait investasi di bidang pendidikan, yang ternyata investasi di bidang pendidikan jauh lebih menguntungkan daripada investasi di bidang saham. Setelah itu, Amerika Serikat membiayai penelitian terapan di bidang pendidikan tidak kurang dari enam miliar dollar.
Hasilnya, Amerika Serikat memiliki sistem pendidikan pragmatis yang berorientasi pasar. Standarisasi terhadap semua aspek pendidikan mereka lakukan, dan hasilnya diakui dunia karena lulusannya sangat unggul dan mampu bersaing merebut peluang. Untuk itu sejak tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia. Pada tahap selanjutnya, model pendidikan Amerika ini diadopsi oleh seluruh dunia, hingga timbul kesepakatan dari seluruh negara di dunia, bahwa pendidikan adalah salah satu komoditas yang diperdagangkan. Kesepakatan ini dimotori oleh WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. Enam negara yang telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan adalah Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat, dan pendidikan profesi, dan vokasi. Jelas modus kerjasama seperti ini akan lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi, dan negara berkembang yang jelas akan menjadi korban dan dikorbankan seperti Indonesia.
Orientasi pragmatis dalam pendidikan juga telah menyebabkan esensi dari ilmu itu sendiri menjadi berkurang nilainya karena para pelaku pendidikan hanya dituntut menemukan “cara-cara praktis” mencari/mendapatkan pekerjaan tanpa benar-benar memahami esensi dan konsekuensinya. Ilmu pun dikembangkan dan dipelihara dengan acuan sebatas untuk memperoleh kemanfaatan secara langsung dari ilmu itu sendiri, yaitu gelar dan pekerjaan yang mampu menopang kehidupannya di masa datang, meskipun tidak bisa kita pungkiri bahwa bidang pekerjaan yang kita gandrungi diharapkan sesuai dengan bidang ilmu yang kita kaji dan bahwa memang setiap manusia membutuhkan pekerjaan untuk menunjang kehidupannya. Seperti pendapat Mahfud MD pada saat memberikan Kuliah Umum Mahasiswa Baru Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (17/9/12) bahwa pendidikan di Indonesia saat ini tidak mencerdaskan masyarakat, tetapi hanya mendidik individu agar memiliki ketajaman otak atau kemampuan berpikir.
Sementara pendidikan watak dan karakter sangat diabaikan sehingga terjadi kemerosotan moral dan etika di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir, pendidikan di Indonesia seperti hanya ditujukan untuk memberikan ijazah dan gelar akademis semata. Sebab, keduanya masih menjadi ukuran untuk mendapatkan status formal di pemerintahan. Maka, tidak mengherankan apabila banyak pihak yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh ijazah dan gelar akademis. Sekarang yang jadi sorotan utama pembicaraan kita adalah tatkala mencari ilmu menjadi agenda utama untuk mendapatkan gelar dan pekerjaan, tujuan mulia dari pendidikan itu menjadi semakin kabur. Untuk memenuhi berbagai target kurikulum dan persaingan di dunia kerja, para pembelajar seolah dituntut untuk study oriented, dan apatis terhadap permasalahan di sekitarnya. Berkutat dengan materi perkuliahan dengan meninggalakan kepekaan terhadap masalah sosial, politik dan budaya di sekitar kehidupan sang pembelajar menjadi hal yang sangat mudah ditemui. Ketika nilai A yang menjadi acuan utama, segala daya dikembangkan untuk memperolehnya meski dengan perbuatan yang tidak terpuji. Ketika output kepribadian yang seharusnya jadi parameter keberhasilan dari sebuah pendidikan sudah tidak lagi dijadikan pertimbangan karena tekanan dunia kerja yang berorientasi pada penyelesaian-penyelesaian masalah di lapangan pekerjaan.
John Dewey menerapkan pragmatismenya dalam dalam dunia pendidikan dengan mengembangkan sebuah teori yang disebut problem solving. Pragmatisme yang dimaksud John Dewey sebenarnya pada garis yang sama dengan teori pragmatisme lain, yaitu kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta berguna dalam praktek dan memenuhi kebutuhan manusia. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, pragmatisme menghendaki pembagian antara teori dan praktis. Pengembangan teoritis akan menghasilkan etika, dan pengembangan praktis akan menghasilkan tenaga professional sesuai kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi antara teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak menghasilkan materialisme terselubung jikan hanya mengandalkan praktis.
Pendidikan juga tidak mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab jika demikian maka pendidikan akan menjadi disfungsi. Pendidikan bukan hanya sebatas pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga berkaitan dengan integritas moral, etika, dan karakter kebangsaan. Permasalahan pendidikan di Indonesia bukan terletak pada kurang pintarnya individu, melainkan kurang pintar sebagai bangsa. Pendidikan seharusnya tidak hanya bersifat mencerdaskan individu, tetapi juga mencerdaskan bangsa.(nahotsihaloho[at]gmail.com)
*Guru Swasta di Medan dan Pembelajar di Pasca Sarjana Universitas Darma Agung.