Ma’rif Maulidil Chamis
Seperti biasa, aku dan Alif sering bersama. Sebelum tidur, kami selalu menyempatkan diri ke kamar mandi. Jika terisi, alternatifnya adalah ke masjid. Selain tempat ibadah, masjid juga jadi sasaran tempat “servis” saat kamar mandi lagi banyak pengunjungnya. Begitulah setiap harinya kelakuanku dan orang-orang sekitarku yang sulit untuk dihilangkan.
“Rif, kamar mandi yok!” ajaknya sebelum tidur.
Namaku Arif, hanya berbeda satu huruf dengannya. Itu yang membuat hubunganku terasa seperti keluarga. Awal aku mengenalnya saat aku memasuki Al Fauzul Kabir. Pesantren terpadu yang terletak di Kota Jantho.Saat itu umurku 12 tahun. Begitu juga dengan Alif. Saat pertama kali diantar ke “penjara suci” ini, sulit rasanya untuk berpisah dengan orangtua. Makan antri, mandi antri, nyuci antri sampai jemuranpun hampir tak cukup tali. Di rumah, baju ada yang cuci, kalau lapar tinggal makan, dan mandi juga bisa sesuka hati. Perbedaan seperti itu membuatku sulit untuk beradaptasi.
Tinggal di asrama menuntutku untuk hidup mandiri. Manajemen waktu yang baik juga akan membantu kehidupan berjalan lebih enjoy. Aku yang sedikit pemalu agak susah untuk mencari teman. Sedangkan berada di “alam bebas,” mangsa tidak akan didapat jika tidak berburu. Aku melihat sebagian anak-anak yang lain begitu mudah mendapatkan buruannya. Cukup dengan senyum, terus berteman. Tidak sedikit pula anak-anak yang berperilaku seperti aku. Salah satunya adalah Alif.
Alif berkulit terang, mata bulat rambut ikal dan berhidung mancung. Penampilan fisiknya cukup layak dikatakan sebagai anak lelaki yang tampan. Namun, sifatnya yang agak tertutup membuat anak-anak lain sulit berteman dengannya. Memang tak ada manusia yang sempurna. Mungkin Allah menciptakan kekurangan itu agar kita saling melengkapi. Karena ada kesamaan antara aku dan dia, akhirnya kami mulai berteman. Pertemanan itu berawal di sebuah dapur umum, tempat anak-anak berkumpul untuk makan. Antriannya sangat panjang dan berdesak-desakan. Jumlah siswa baru yang seangkatanku saat itu mencapai 200-an. Dan setiap anak harus antri sesuai dengan angkatannya masing-masing. Keadaan seperti ini belum pernah dirasakan oleh anak-anak seangkatanku, sehingga membuat mereka bertindak sedikit “liar”.
Semuanya merasa lapar. Semuanya juga tak ingin kehilangan jatah makan gara-gara harus antri. Berbagai persepsi yang muncul di benak mereka mulai beraksi. Akhirnya dorong-dorongan pun terjadi. Sebagai antisipasi agar tidak ada yang memotong jalur antri sebagai upaya untuk mendapatkan nasi lebih awal. Tubuhku yang lebih kecil dari anak lain mulai terguncang. Aku terombang-ambing dalam arus antrian yang tidak stabil. Sehingga ketika ingin mempertahankan diri untuk tetap bediri tegak, tiba-tiba piring kaca berwarna bening di tanganku terlepas. Dengan spontan piring itu menghantam lantai dan “pring!”. Semua kegaduhan bagaikan pasar terhenti sejenak. Kemudian, “wu…!” sorakan anak-anak se-dapur kembali meramaikan suasana.
Jantungku berdegup sangat kencang. Telingaku terasa panas. Ingin marah, tapi tidak berani. Ingin sekali aku menumpahkan air mata dan berteriak sekeras-kerasnya, tapi aku tak mau dijuluki si cengeng. Aku tak punya piring cadangan. Perutku terasa lapar. “duh, malang sekali nasibku hari ini,” aku membatin. Aku pasrah tak tau berbuat apa.
Ketika kuputuskan untuk meninggalkan dapur, seorang anak berkaos merah menyapaku. “hey! mau kemana, nggak jadi makan?” Dengan singkat kujawab, “nggak ada piring.” “ya udah makan berdua aja, nanti kita beli lain di pasar. Sabun mandiku juga hampir habis, jadi kita bisa bareng.” Ujarnya kepadaku. Tanpa banyak membantah, akupun mengikutinya ke bagian sudut dapur. Di sana kami “gotong royong” untuk menghabiskan sepiring nasi.
Tidak sampai lima menit piring Alif mengkilap. Entah apa yang membuatku begitu berselera. Padahal, moodku untuk makan tidak ada lagi sejak peristiwa yang menimpaku tadi. Dan di saat aku tidak ingin menerima siapapun, justeru secara tidak sadar aku menerima ajakannya untuk makan. Sungguh pengalaman yang berbeda ku alami siang itu.
Malam menjelang tidur, aku selalu terbayang kebaikannya. Dibalik kecuekannya, ternyata dia juga seorang yang penuh perhatian terhadap apa yang dialami temannya. Bahkan ucapan terimakasih pun hampir terlupakan. Sikapnya biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Aku yakin dia tak mengharap apa pun dari yang telah dilakukannya.
***
“Qum! Qum! Qum! Bangun, shalat Subuh!” kakak senior membangunkan kami. Suara alunan ayat suci Al quran terdengar keras melalui pengeras suara di masjid. Aku yang tidur di ranjang tingkat dua mulai menggerakkan kakiku mencari tempat pijakan untuk turun. Sedangkan teman yang tidur di ranjang bawah ku sedang memakai sarung bersiap-siap ke masjid. Jarak antara asramaku dengan masjid hanya sekitar 50 meter. Cukup dekat memang. Namun, kaki terasa berat untuk melangkah saat jarum jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi. Ditambah hawa dingin yang memaksa untuk terus menarik selimut.
Kutepiskan itu semua. Kubuka lemariku untuk mengambil perlengkapan shalat. “Wahid… isnani…” kakak senior yang biasa dipanggill “Al-Akh” mulai menghitung dengan lantang. Anak-anak yang tadinya slow motion, tiba-tiba bergerak lebih cepat. Begitupun denganku. Ku pakai sarung seadanya, dengan gulungan agak sedikit “buncit,” dan mengancingkan baju koko sambil keluar dari asrama. Setelah memakai sandal, langsung ikut bergabung dengan anak-anak yang lain menuju tempat wudhuk.
Antrian. Itu lagi yang sulit dihindari. Wajah-wajah kusut bergantian mengambil posisi untuk membasuhkan beberapa bagian tubuhnya. Sampai pada giliranku, tak ada lagi istilah basa-basi dengan waktu. Tak ingin jadi sorotan karena masbuk (tertinggal raka’at). Apalagi shalatnya hanya dua raka’at. Sebelum imam dan makmum mengucap Amin, aku sudah tergabung ke dalam barisan shalat.
Jamaahnya ramai. Tidak sama dengan pemandangan di masjid atau meunasah di kampungku. “andai saja jamaah Shubuh di kampungku seperti ini, pasti makmur deh kampungnya,” hayalku tiba-tiba tersentak ketika imam mengucapkan “Allahu Akbar.” Rukuk dan sujudnya tak sebanyak seperti di waktu shalat lainnya. Tetapi masih banyak yang tidak hadir berjamaah di waktu ini. Guruku pernah mengatakan “dua rakaat shalat subuh, lebih baik daripada dunia dan seisinya”. Shalat Shubuh berjamaah banyak sekali keutamaannya, disampaikannya melalui pelajaran praktek ibadah. Rasa kantuk dan malas tetap saja hinggap di kantung mataku.
Alah bisa karena biasa. Ungkapan itu memang ada benarnya bagiku. Meskipun terasa sulit, sedikit demi aku mulai beradaptasi. Secara perlahan, aku meniru gaya mereka yang sudah duluan tinggal di Kota Santri ini. “Dulu, mereka juga siswa baru sepertiku. Jika mereka bisa menikmati hidup dengan banyak aturan, mengapa aku tidak?” pikir ku.
Seminggu, sebulan, sampai setahun aku masih bertahan di tempat ini. Berbeda jauh dengan keadaan pertama. Kini aku sudah punya adik kelas. Rasanya seperti naik pangkat saja. Sudah ada yang panggil bang. “Baru naik kelas dua, sudah menghayal yang bukan-bukan! Emangnya kamu sampai tamat di sini?” Tanya seorang teman yang sepintas lewat ketika aku sedang asyik ngobrol dengan Alif. “Nggak Cuma tamat, aku mau jadi ustadz di sini!” bantah Alif. Spontan saja aku dan teman-teman lain menertawakannya. Seperti itulah kebiasaannya, terkadang ketika ada hal baru menghayalnya sampai ke langit. Bagaimana hendak terbang ke langit jika beranjak dari tempat tidur saja malas!
“Enak kali Al-Akh itu ya! Suruh kita ngomong Bahasa Arab-Inggris, dia sendiri ngomong Bahasa Aceh.” Protes Alif kepadaku. Satu lagi yang membuat peraturan terkadang tak berjalan lancar. Label pengurus dijadikan “senjata” untuk terus memerintah. Sedangkan mereka sendiri melanggarnya. Seolah pengamat politik aku dan Alif selalu mengomentari kakak seniorku. Padahal, belum tentu kami bisa melakukan apa yang kami katakan.
Nama Arif dan Alif tidak lagi asing di tempat ini. Selain namanya yang tak jauh berbeda, kedekatannya juga hampir tak terpisahkan. Sama-sama suka bermain bola. Duduk di bangku sekolah satu meja. Kena hukuman juga sering berdua. Bagaikan kakak dan adik. Terkadang, tak jarang pula kami saling menukar pakaian. Sampai-sampai ada yang terbalik memanggil nama kami.
Menjelang ujian, segala kegiatan olahraga dihentikan. Seminggu sebelum ujian merupakan masa minggu tenang. Di masa itu, kami diwajibkan untuk membawa buku setiap saat. Fokus pada pelajaran agar bagus nilai di rapor. Itu tujuan dari bagian pengajaran sekolahku. Setiap malam ruangan-ruangan kelas menjadi tempat nongkrong. Aku dan Alif memilih meja paling belakang dekat jendela. Terlalu tegang saat ujian juga dapat mengganggu konsentrasi belajar. Oleh karena itu, sebelum memulai belajar, kami selalu mengawalinya dengan doa belajar. Belajar pun lebih nyaman dengan sedikit hembusan angin dari jendela.
Dua minggu setelah ujian kenaikan kelas, kami diliburkan. Bermacam rencana sudah terdaftar dalam pikiran kami. Jalan-jalan ke tempat-tempat yang menarik adalah hal paling sering kami lakukan. Walaupun sedang asyik-asyiknya melancong, tapi Alif selalu mengajakku untuk shalat berjamaah di masjid. Selama ia rajin shalat berjamaah, Alif terlihat lebih displin. Disiplin waktu menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan hidup. Alif pernah berkata seperti itu ketika aku pernah mengeluh tentang antri. “Kalau kamu mau cepat dapat nasi, ya datang cepatlah ke dapur! Hahaha…” ujarnya sambil tertawa. Candaannya kepadaku sering membuatku berpikir lebih tentang diriku. Mengapa aku terus mengeluh, sedangkan aku tidak bergerak untuk menghilangkan keluhanku. Ya! Aku juga teringat kembali dengan ayat yang diajarkan guru pelajaran Qur’an Hadits. “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga mereka merubahnya sendiri.”
Hampir sebulan liburan di rumah. Kini sudah saatnya kembali ke sekolah. Beragam pengalaman dan nostalgia tersimpan di memori. Masing-masing pun mulai bercerita dengan gaya khas sendiri. Aku dan Alif tak ketinggalan untuk bergabung sambil berbagi kisah menarik. Kerinduan yang mendalam tersirat dari wajah-wajah mereka yang penuh tawa saat berjumpa. Jabatan erat dan rangkulan bersahabat pun ditunjukkan sebagai tanda ingin kembali mengukir kenangan baik suka maupun duka.
***
Selepas shalat Ashar, seperti biasa kami turun ke lapangan untuk berolahraga. Setelah mengganti dengan kaos dan celana training, Alif mengambil bola. Sore ini kami tak bermain sepakbola, melainkan bola basket. Di lapangan sudah ada teman-teman lain yang sedang melakukan pemanasan. Aku dan Alif juga larut di dalamnya. Melakukan pemanasan adalah olahraga pembuka yang dapat mencegah cedera yang serius. Guru olaharagaku selalu mengintruksikan kami untuk melakukan pemanasan sebelum berolahraga. Sebelumnya, aku tak menghiraukannya. Tetapi, setelah aku terkilir dan cedera baru ku akui kesalahan itu.
“Pemainnya udah cukup ni, yok kita main trus!” ajakku pada orang-orang yang sedang melempar bola ke keranjang. Setelah mebagi lima orang per tim kami memulai permainan. Aku dan Alif tidak tergabung dalam satu tim. Dalam permainan ini, Alif menjadi lawanku. Bergantian kedua tim memasukkan bola ke kerajang. Ada yang menembak dari posisi threepoint. Ada juga dengan kerjasama kompak menyambung bola yang terpental dari ring basket.
Permainan imbang kerap menyulut emosi pemainnya. Alif men-drible bola dan meliuk-liuk zig-zag. Aku mem-block nya dengan melompat tinggi mengangkat kedua tangan. Bola pun terpental ke arah wajah Alif. Spontan ia berteriak “anjeng!” Aku yang lagi terbakar emosi juga spontan mengambil bola yang jatuh kamudian melemparkan ke tubuhnya. Api yang semakin membesar tak dapat dipadamkan lagi.
Alif maju ke arahku dan menendang perutku. Dorongan kuat dari tendangannya membuat aku termundur hampir jatuh. Dengan berang aku membalas dengan mengayunkan kepalan tanganku bertubi-tubi ke arahnya. Tanpa memperdulikan terkena dimana. Sekelompok teman-teman menyerbu ke arahku dan Alif. Mereka melerai perkelahian kami. Empat orang dari masing-masing tim memegang tangan kami. Dengan sekuat tenaga, mereka menarik kami menepi keluar dari lapangan.
Saat keadaan mulai mereda, aku dilepaskan. Teman-teman di lapangan menasehatiku untuk bermain sportif. Aku tidak terlalu menggubrisnya. Aku tidak lagi melanjutkan permainan. Sedangkan Alif masih bermain, meskipun wajahnya sedikit lebam terkena pukulanku. Ia masih bisa bercanda dengan yang lain. Saat ia melihatku, ku tatap tajam matanya. Setan terus menggodaku untuk dendam kepadanya.
Malamnya, suasana tidak seperti biasanya. Aku tidak banyak berbicara. Setiap ku melihatnya bisikan-bisikan jahat selalu muncul. Suatu ketika tanpa sengaja pandangan kami beradu, dengan sedikit janggal kami menoleh ke arah lain. Seolah-olah tak pernah mengenal. Kebiasaan ini terus berlanjut dari awal kelas III sampai kelas V (dua aliah). Tak pernah ada yang memulai untuk meminta maaf. Entah karena gengsi atau dendam yang masih bersarang di hati.
***
Sejak dua hari sebelumnya aku merasa tidak enak badan. Badanku terasa panas. Kepalaku pusing, dan perutku lapar. Bangun saja sulit, apalagi berjalan ke dapur. Biasanya aku memang minta untuk diambilkan nasi oleh teman. Minta tolong diambilkan nasi berkali-kali membuatku merasa tidak enak. Walaupun padahal tidak ada niat dari mereka yang menolak untuk melakukannya. Lagi-lagi kekurangan itu ada pada manusia. Manusia hanya mampu memberikan bantuan sampai tiga kali mungkin. Bantuan dan pertolongannya pun sangat terbatas.
Belum lagi berbicara tentang tulus atau tidaknya bantuan yang mereka berikan. Karena terkadang juga ada maksud dan tujuan tertentu dibalik hal baik yang dilakukan kepada kita. Hanya kepada Allah saja aku memohon pertolongan. Hanya Allah yang selalu mau mendengar “curhatanku”. Dan hanya Dia yang mampu berikan pertolongan berkali-kali kapan saja aku butuhkan.
Satu per satu teman-temanku mulai keluar asrama. Setelah mengambil piring, mereka bergegas menuju ke dapur. Asrama mulai hening kembali. Hanya aku yang terbaring ditemani selimut yang setia menutupi sebagian tubuhku yang menggigil. Ku coba pejamkan mataku untuk “membunuh” rasa lapar yang terus menggangguku. Ku pegang perutku agar tak lagi terasa perih yang sesekali muncul.
Dua-tiga kali ku balikkan badan mencari posisi tidur nyaman. Tetap saja sugestiku tak berlaku. Kebutuhan biolgis ini tak mempan dengan sugesti. Tubuhku saat ini hanya butuh yang pasti, yaitu nasi. Perutku butuh makanan. Makanan untuk menghasilkan energi. Waktu sakit energi pun tak diisi, apa mungkin bisa sembuh?
Lelah sudah ku berusaha. Namun tak kunjung berhasil. Saat mataku hampir terlelap karena lelah, sesosok manusia berdiri di sebelah tempat tidurku. Disentuhnya dahiku dan dipegang pundakku. “Sudah makan?” suaranya terdengar samar. Perlahan ku buka mataku. Wajahnya terlihat kabur, akibat pandanganku yang belum stabil. Dengan suara yang lemah aku mejawab “belum.”
Terlihat rambut ikal dan hidung mancungnya pada lelaki yang berbicara denganku. Otakku berputar, berpikir keras. Mengingat nama lelaki ini. “Mana piringnya?” pertanyaan itu kembali mengingatkanku pada orang yang menjadi “musuhku.” Dan pernah menjadi sahabat baikku. Dia adalah Alif. Sambil menyodorkan kunci aku menjawab “di dalam lemari, di bawah.” Kemudian ia keluar lagi membawa piringku yang bertuliskan huruf “RF” di belakangnya.
Tidak sampai lima menit, ia kembali membawa piring yang sudah terisi. Setelah meletakkannya di atas lemari, ia mendekat ke arahku. “Makan yang banyak ya, biar cepat sembuh!” sambil tersenyum ia pun berlalu. Tanpa ku sadari setetes air mengalir dari sudut mataku. Entah karena rasa lapar yang begitu besar. Atau karena hal yang tak terduga dilakukan oleh orang yang sangat ku benci.
Hanya dua hari panas-dingin itu mendera tubuhku. Tubuhku sudah mulai fit. Aku bergegas menyegarkan diri di kamar mandi. Tak ingin berlama-lama di tempat tidur. Ingin segera bergabung kembali dengan teman-teman di kelas, dan juga di lapangan sepakbola tentunya. Satu hal yang paling kuinginkan setelah sembuh. Aku belum sempat berterimakasih kepada Alif karena telah peduli kepadaku saat sakit. Dan aku sangat ingin meminta maaf kepadanya atas perkelahian dua tahun lalu.
Prasangka buruk selalu mengotori hatiku untuk terus membencinya. Aku sadar jika terlalu dekat itu ternyata suatu saat bisa membuat jauh. Dan ketika aku terlalu membencinya, tak dapat dipungkiri bahwa aku sangat senang mempunyai sahabat sepertinya. Kini aku ingin tali persaudaraan dan persahabatan ini terus terjalin. Tak ada lagi alasan untuk memutuskan silaturrahmi. Tiga hari saja bisa disebut kafir. Apalagi dua tahun. Mudah-mudahan Allah mau mengampuni dosa-dosaku. Dan Allah lebih tahu bahwa aku benar-benar ingin menyambung silaturrahmi ini Lillahi Ta’ala.
Ma’rif Maulidil Chamis lahir di Aceh Besar tanggal 12 Desember 1991. Anak kedua dari empat bersaudara ini pernah sekolah di MIN Tungkob dan MtsN Rukoh. Pascatsunami 2004, ia pindah sekolah ke Kota Gas Arun, Lhokseumawe. Sempat belajar di Pesantren Terpadu Al-Fauzul Kabir dan mengambil ijazah Aliah. Kini ia sedang menjalani program S1 dijurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI).