Oleh: Muhamad Hamka*
DI tengah menjamurnya pelbagai media massa di negeri ini; baik itu media cetak dan online, gairah menulis masyarakat pun kian menggeliat. Maka tak heran kalau kolom opini di pelbagai media tersebut selalu di sesaki oleh tulisan yang beraneka-ragam dari para pembaca.
Hal ini tentunya merupakan trend yang positif bagi kemajuan sebuah bangsa. Namun di tengah berkembangnya trend positif tersebut, menyeruak gejala negatif soal semakin maraknya kejahatan plagiarisme. Perilaku tak etis ini semakin menemukan habitusnya di negeri ini dengan para pelaku yang lintas profesi; mahasiswa, penulis, peneliti, guru, dosen, hingga guru besar.
Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagaianya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri (situs wikipedia.org). Lebih lanjut, dalam buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah, Felicia Utorodewo dkk, sebagaimana yang dikutip situs wikipedia.org, menggolongkan hal-hal berikut ini sebagai tindakan plagiarisme. Yakni, (1) mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri, (2) mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri, (3) mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri,
Selanjutnya yang ke (4) mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri, (5) menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya, (6) meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan ke (7) Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
Di Indonesia, kejahatan plagiarisme ini sudah bukan hal baru lagi. Salah satu kasus plagiarisme yang pernah mengguncang jagad intelektual tanah air adalah kasus penjiplakan yang dilakukan oleh Prof. Anak Agung Banyu Perwita, guru besar politik Universitas Parahiyangan (Unpar) Bandung tahun 2010 silam. Mantan Dekan Fisip Unpar ini terbukti telah memplagiasi karya orang lain dalam sebuah opininya di harian The Jakarta Post yang bertajuk “RI as New Middle Power.” Anak Agung diduga menjiplak karya Carl Ungerer bertajuk “The Middle Power, Concept in Australia Foreign Policy“. Karya warga Australia itu dimuat di Australian Journal of Politics and History Volume 53 pada 2007. (indonesiabuku.com)
Masih banyak kasus-kasus plagiat lain yang pelakunya para akademisi. Untuk konteks lokal Gayo, salah satu tulisan akademisi yang patut di duga sebagaian isi artikelnya hasil plagiat bisa ditemukan dalam opini Hammaddin Aman Fatih di Media Online Lintas Gayo. Artikel dari Antropolog dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Gajah Putih ini berjudul “Pengaruh Media Barat Terhadap Budaya Gayo” (6/2/2013) diduga sebagaian isi artikelnya diambil (memplagiat) karya orang lain.
Ada empat alinea dari isi artikel Hammaddin (dari sub judul; Sentralisme Budaya) yang diduga mencopy paste (copas) tulisan orang lain tanpa menyebutkan sumber tulisan. Tulisan yang diplagiasi tersebut mirip dengan artikel yang ditulis oleh Budiman Mustofa Lc yang berjudul “Humanisme Barbarisme (Efek Penetrasi Peradaban Barat Terhadap Dunia Islam).” Tulisan ini bisa diakses di situs sabiluna.tripod.com/analysa/barbar.html
Sebagai penulis, Saya juga pernah menjadi korban dari tindakan plagiarisme. Dimana sebagaian isi artikel saya yang dimuat dikolom opini Harian Serambi Indonesia dengan judul “Obama Ingkar” (27/9/2011) diplagiat oleh Ahmad Arif dalam artikelnya di situs berita online nasional Detik.com dengan judul “Palestina Merdeka dan Kemunafikan Obama” (30/9/2011). Ternyata Ahmad Arif ini sudah sering memplagiasi artikel-artikel di media lokal Aceh untuk dipublikasi di media luar Aceh. Ia pernah membuat permintaan maaf terbuka di Harian Serambi Indonesia perihal tindakan plagiatnya tersebut.
Apapun alasannya, tindakan plagiarisme merupakan bentuk pelecehan terhadap nilai-nilai intelektual. Dan kian menjadi paradoks ketika perbuatan nista ini dilakukan oleh para akademisi yang melekat dalam dirinya predikat cendekiawan/intelektual. Untuk itu, kita mengharapkan agar akademisi bisa menjaga etika intelektualnya, untuk senatiasa jujur dalam mengartikulasikan nilai-nilai kecendekiawannya.(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)
*Analis Sosial & politik