THE leader can do no wrong, pimpinan tidak pernah berbuat salah. Ungkapan ini mungkin berlaku di negara monarkhi, dan sejatinya tidak boleh ada di negara yang menganut paham demokrasi.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, menjadi tidak relevans, dalam kasus ada Surat Keputusan Gubernur Aceh mengangkat seseorang yang sudah meninggal menduduki satu jabatan, atau tidak memenuhin kualifikasi dan cacat moral seperti yang diberitakan media massa beberapa terakhir ditumpahkan kesalahan hanya kepada bawahan.
Gubernur sebagai top leadar tidak boleh lepas tangan. Berarti dia tidak hati-hati dan tidak cermat menempatkan seseorang dalam satu jabatan menyangkut dengan urusan publik. Karena akan membawa resiko sebagaimana dalam salah satu hadis Rasulillah Muhammad saw, “apabila suatu tugas diserahkan kepada yang bukah ahlinya (profesional), tunggulah kehancuran”. Ini malah terhadap orang yang telah meninggal, tidak memenuhi kualifikasi dan cacat moral. Khususnya promosi jabatan untuk yang sudah meninggal, benar-benar tragis, dan ini saya kira belum pernah terjadi dalam sejarah birokrasi di Indonesia, mungkin bahkan di dunia.
Terhadap kasus tragis dan aneh ini, saya tidak setuju apabila secara mutlak diperselahkan Nasrullah Muhammad sebagai Kepala BKPP dan meminta Gubernur mencopotnya sebagai Kepala Badan Kepegawaian, Pelatihan dan Pendidikan (BKPP), seperti disuarakan beberapa LSM/elemen partisan dan/atau kelompok bernyali minimalis penganut paham monarkhi.
Menurut saya, Gubernur juga harus bertanggungjawab dan dengan kejadian ini pula menjadi salah satu fakta nyata betapa dia begitu gelap gulita menduduki jabatan top leader di Aceh. Juga sugguh tidak adil dan tidak ksatria, seorang pemimpin dengan kenikmatan rupa-rupa tunjangan dan fasilitas, di dampingi staf ahli ini dan staf ahli itu, asisten ini dan asisten itu yang digaji dengan uang rakyat, tetapi giliran “meuramaih” seperti kasus SK-kan PNS Almarhum, tidak memenuhi kualifikasi dan cacat moral, tanggungjawab ditumpah ruah kepada bawahan.
Dengan kejadian ini pula, selain harus introspeksi terhadap wawasan menegemen pemerintahan dan leadership dirinya, juga menyelidiki kemungkinan ada pengaruh kuat “bisikan” kekuatan tersembunyi terhadap prifosionalitas kerja BKPP. Untuk hal ini sudah ada pengakuan juru bicara kelompok yang segerbong dengannya, kendati terkesan lempar batu sembunyi tangan. Atas pengakuan ini menjadi benar apa yang disinyalir berbagai pahak selama ini berkaitan dengan reposisi dan promosi jabatan di jajaran Pemerintahan Aceh, bahkan sampai ke tingkat kabupaten sangat kental budaya nepotistisme. Mungkin ini merupakan wujud nyata dari “ideologi”, meukon ie bandum leuhop, meukon ureueng droe teuh bandum gob.
Di sisi lain, jika Nasrullah Muhammad seorang yang memiliki karakter dan berintegritas, apabila dalam posisinya itu benar-benar ada “bisikan” dari kekuatan bayangan tertentu, secara terbuka harus disampaikan kepada khalayak. Niscaya masyarakat menjadi tahu sebab musabab dan siapa serta kelompok mana yang menjadi biang kerok sehingga tetrjadinya kasus aneh dan memalukan itu.
Hal lain yang mengundang tanda tanya adalah, sekali pelantikan mencapai ratusan orang, laksana cuci gudang yang sering dilakukan pasar swalayan. Hal inipun agaknya belum pernah terjadi dalam sejarah birokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang muncul, apakan reposisi dan promosi massal yang dilakukan Gubernuh ini, benar-benar penyegaran dan revitalisai birokrasi dalam upaya peningkatan profesionalitas dan kualitas pelayanan kepada publik, atau balas jasa disertai balas dendam. Boleh jadi ini adalah wujud nyata langkah awal dari apa yang sering diulang-ulang sementara pihak selama ini, yakni self government.
Agaknya dalam rangka merspons kasus aneh dan dagelan di awal tahun 2013 tersebut, Kamis siang (07/02/2013) lalu saya mendapat SMS dari seseorang, yang isinya, “Sejarah mencatat, ada 4 (empat) orang deretan Gubernur Terhebat di Provinsi Aceh (Indonesia): 1. Ali Hasymi, beliau meresmikan Darussalam sebagai Kota Pelajar. 2. Muzakir Walad, beliau meresmikan PT AROEN (LNG) di Aceh Utara dan Free Port Sabang. 3. Ibrahim Hasan, beliau membebaskan rakit di daerah Kabupaten Aceh Barat dan Selatan. 4. Zaini Abdullah, berani mengangkat, melantik dan menyumpah pejabat yang sudah almarhum atau meninggal dunia untuk menjalankan tugas di Pemda Aceh. Aneh, tapi nyata.(ghazali.adan@gmail.com)
*Mantan anngota DPR-RI
Seperti bualan penjual obat keliling “yang sakit bisa sembuh dan yang mati bisa hidup kembali”memang enak ngurus negara???????
bener bener gila, orang yang udah mati di beri tugas