
Jakarta | Lintas Gayo—Literatur Gayo masih sangat terbatas. “Karenanya, kami coba menyusun buku “Ghayo O Ghayo”, kata Fikar W. Eda didampingi Yusradi Usman al-Gayoni, selaku penyunting buku tersebut di Jakarta, Jum’at (12/4/2013).
Tujuannya, kata alumni Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu, untuk menambah literatur Gayo. Juga, menghimpun pemikiran penulis-penulis Gayo dan nongayo. “Catatan ini pastinya akan sangat berarti nantinya bagi pendokumentasian Gayo,” tegas Fikar.
Buku ini, sambungnya, berisi soal Gayo dari pelbagai sudut pandang; politik, ekonomi, seni, bahasa, sastra, sosial, budaya, sejarah, pendidikan, gender, keamanan, hukum, lingkungan, pertanian, perkebunan, dan olah raga.
Terkait “Ghayo O Ghayo,” Fikar, menjelaskan, mereka terinspirasi dari catatan Marcopolo saat singgah di Perlak, dari perjalanan dari Cina menuju Italia, 1292. Marcopolo, menyebutkan, adanya “kerajaan kecil” dan “laut kecil” di pedalaman. Rakyat pedalaman menyebut daerahnya sebagai “Lainggow” dan rajanya dengan “Ghayo O Ghayo” atau raja gunung yang suci.
Sementara itu, Yusradi al-Gayoni, mengatakan, tulisan yang dikirimkan mesti baik, benar, dan mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD). Disamping itu, didasarkan pada fakta dan rujukan yang jelas. “Yang lebih penting, tidak menyinggung SARA. Tulisan bisa dikirim ke algayonie(at) yahoo.com,” sebutnya. (SP)
