by

Matematika ALA dan ABAS

Oleh: Yuli Rahmad*

Kemenangan pasangan Irwandi Yusuf-M Nazar dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2006 lalu harus diakui karena dukungan suara masyarakat wilayah Barat-Selatan, Aceh Besar, dan Tengah Aceh. Khususnya wilayah Aceh Rayeuk dan Barat-Selatan, sudah bukan rahasia lagi panglima GAM Aceh Rayeuk ambil andil dalam mengambil hati masyarakat “Grass root” yang masih memiliki fanatisme kepada GAM medan perang seperti Irwandi, dan aktifis seperti Nazar. Karenanya, pasangan Humam-Hasbi yang justru mendapat “restu” istimewa dari petinggi GAM/KPA dan digadang-gadang bakal menduduki tampuk pemerintahan malah terdepak.

Dilain sisi, perhelatan pesta demokrasi kepala daerah selalu diramaikan oleh kandidat yang berasal dari Utara dan Timur Aceh. Pada 2006 lalu misalnya, selain paket IRNA, paket H2O, Razali Abas Adan, dan beberapa paket lainnya juga memiliki ikatan dengan wilayah tersebut. Pada 2011 ini, iklimnya hampir sama. Meski belum pasti, namun beberapa deretan nama yang berasal dari Timur dan Utara Aceh bermunculan seperti Irwandi Yusuf, M Nazar, Tarmizi Karim, Zaini Abdullah, Prof Darni Daud, dan banyaklagi. Akibatnya, suara potensial masyarakat wilayah Timur dan Utara Aceh terpecah-belah dan saling diperebutkan.

Karena itu, Dewi Fortuna berpihak kepada pasangan IRNA. Apalagi, saban perhelatan pesta demokrasi kepala daerah, taring Barat-Selatan dan tengah Aceh khususnya mengendor untuk maju sebagai Aceh 1. Merasa mendapat wakil dengan iming-iming restrukturisasi Barat-Selatan dan Tengah Aceh, masyarakat satu barisan.

ALA dan ABAS Menuju Aceh 1?

Pada dasarnya, saya merupakan salah satu pemuda,mahasiswa, sertamasyarakat asal Barat-Selatan yang tidak menyetujui isu pemekaran wilayah Barat-Selatan, termasuk wilayah tengah Aceh dengan Aceh Leuser Antara. Matematika seperti itu hanya akan menambah kesengsaraan masyarakat sendiri karena dipastikan, bakal terjadi perebutan dan pembagian kekuasaan yang tidak berdasarkan profesionalismenya, melainkan “bak sabee weuk” alias harus adil.

Pengertian adil ini tentunya bukan seperti yang telah saya sampaikan diatas, melainkan adil dengan landasan siapa yang telah berjuang dan tidak dalam merealisasikan wacana pemekaran tersebut. Lantas bagaimana dengan kawan-kawan intelektual dan professional lainnya yang tidak berjuang dalam meraih gelar Provinsi ALA dan ABAS tersebut? Jawabannya pasti akan terjadi dinamika politik yang hanya berkelit di seputar kepentingan pribadi dan golongannya saja.

Nah, bila saja para pengusung ALA dan ABAS keluar dari wacana tersebut dan masuk secara elegan dalam momentum Pilkada (Tidak tertutup dalam Pilkada 2011 ini), mungkin mereka bisa mengkalkulasikan matematika politik dengan baik. Tentunya mereka harus berani meninggalkan ego sektoralnya masing-masing yang sama-sama ingin menjadi “Raja”.

Selain itu, para pengusung wacana ALA dan ABAS tentunya harus menegaskan komitmennya untuk membangun wilayah yang tertinggal tersebut di Aceh. Pasalnya, sudah bukan barang baru lagi, ditengarai actor serta tokoh pewacana ALA dan ABAS sendiri acap kali mangkir dari komitmennya. Mereka rela keluar dari semangat ini hanya karena “Jatah” kekuasaan yang diberikan oleh pemilik pemerintahan untuk meredam realisasi wacana tersebut.

Dengan bekal komitmen inilah, tokoh-tokoh ALA dan ABAS dapat menentukan satu calon  tunggal untuk diusung dalam momentum Pilkada ini. Penentuan satu calon tunggal ini tentunya harus melewati mekanisme fit dan propertest yang bersih. Meliputi berbagai aspek kepemimpinan yang harus dimiliki oleh bakal calon, tentunya secara terbuka dan transparan sehingga tidak memunculkan konflik baru.

Saya meyakini, jika ALA dan ABAS mampu membuat satu barisan yang kokoh, kandidat-kandidat Aceh 1 dari wilayah Timur dan Utara Aceh bakal risau bukan kepalang. Ditilik dari jumlah kabupatennya, wilayah ALA dan ABAS mengantongi 12 kabupaten/kota. Sementara wilayah Timur dan Utara Aceh mengantongi 8 kabupaten. Tersisa 3 kabupaten/kota yang bakal diperebutkan yakni Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang.

Dari delapan kabupaten/kota yang dikantongi kandidat wilayah Timur dan Utara dan Aceh, suara tersebut akan kembali terpecah kepada beberapa kandidat. Jelas, hal ini menunjukkan potensial kemenangan yang lebih besar kepada kandidat dari ALA dan ABAS. Lain lagi bila kita petakan secara terperinci berdasarkan jumlah penduduk di masing-masing kabupaten/kota. Hampir dipastikan kemenangan ini bisa diraih satu putaran.

Nggak Pede?

Masih hangat pembicaraan di berbagai jaringan social, tokoh-tokoh ALA dan ABAS belum memiliki keberanian atau bagi anak muda disebut “nggak pede” alias tidak percaya diri menuju Aceh 1. Mereka lebih memilih menjadi pelayan Aceh 1 yang belum memiliki political will konkrit untuk memajukan wilayah ALA dan ABAS. Terbukti, mereka hanya peduli ALA dan ABAS saat momentum Pilkada saja.

Kita bisa melihat gerakan itu, sejumlah bakal calon yang kuat diisukan bakal ikut serta dalam Pilkada kali ini gencar berkunjung ke ALA dan ABAS dengan berbagai lebel kunjungan. Ada yang ikut maulid, membuka acara seremonial, hingga membuka acara kalangan ulama atau apa yang kita kenal dengan muzakarah ulama. Bahkan, salah satu bakal calon yang diisukan akan kehilangan dukungan partai politiknya malah ingin menggandeng salah satu tokoh ALA dan ABAS.

Terlepas dari berbagai euphoria dan ketakutan, ironisnya justru saya melihat tokoh-tokoh ALA dan ABAS tidak memiliki political will untuk merubah pola pemerintahan. Karenanya, mereka memilih nebeng dengan kandidat tertentu daripada membangun system sendiri sehingga baik sekarang maupun lima atau 10 tahun yang akan datang, kandidat ALA dan ABAS akan muncul dengan ekslusif.

Padahal, ALA dan ABAS memiliki banyak sekali tokoh yang bergelut dalam aneka aktifitas profesionalisme. Di Aceh, mereka tidak saja intens dalam dunia politik, namun juga dalam dunia profesional baik sebagai praktisi dunia usaha, intelektual, dan birokrat. Di level nasional, tokoh-tokoh ALA dan ABAS juga berjibun. Sayangnya, belum muncul tokoh manapun yang ikhlas meninggalkan kenikmatan sesaatnya untuk memikirkan pembangunan ALA dan ABAS secara berkelanjutan.

Apapun ceritanya, kalangan muda selalu menantikan tokoh-tokoh muda yang progresif. Tokoh-tokoh muda yang tidak sekedar “jago kandang”. Tokoh-tokoh muda yang punya keinginan membuktikan diri kepada yang tua bahwa, ALA dan ABAS tidak sekedar negeri yang kaya akan hasil alam, melainkan juga sumber daya manusianya. Mungkin jika tokoh-tokoh tua tersebut belum berani unjuk gigi, ada baiknya mereka memberikan kesempatan kepada yang muda.

Memberikan sokongan moril maupun materil sehingga system menuju Aceh 1 pada 2000 sekian-sekian dapat dibangun dengan lebih matang.

*Penulis Merupakan Wartawan asal Aceh Barat Daya di Banda Aceh

Opini ini sudah dimuat di Harian Waspada cetak Rabu 20 April 2011

Comments

comments