by

Ulat Bulu, Burung dan Kunker

Fenomena meningkatnya populasi ulat bulu, faktor hayatinya disebabkan berkurangnya pemangsa alaminya, salah satunya burung yang populasi dialam semakin berkurang.

Perburuan burung yang makin marak tanpa pengawasan dari pihak terkait di Tanoh Gayo dikhawatirkan oleh segelintir orang akan memicu terjadinya peningkatan populasi ulat bulu di dataran tinggi Gayo, cepat atau lambat.

Bila ini terjadi, dipastikan baik langsung atau tidak akan berpengaruh kepada produksi pertanian dan perkebunan kopi yang merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat dikawasan ini. Ulat bulu akan memangsa daun-daun tanaman seperti pohon pelindung kopi dan bahkan daun dan buah kopi sendiri.

Produksi dan kualitas kopi akan turun. Sumber ekonomi masyarakat akan terganggu dan nama besar Kopi Gayo akan tercemar dimata konsumen.

Kejadian peningkatan populasi ulat bulu disejumlah provinsi di Indonesia hingga sejauh ini belum terdengar himbauan apapun kepada masyarakat dari pihak terkait di dataran tinggi Gayo umumnya. Seolah-olah Gayo itu  senantiasa aman dari bala bencana. Seakan merasa tak mungkin ulat-ulat bulu itu akan menjadi sumbu serangkaian bencana besar bagi masyarakat, mulai dari gatal-gatal hingga kanker alias kantong kering.

Perburuan burung, baik dengan Penjere Tama (Gayo : sangkar perangkap), senapan angin dan sejumlah model perburuan lainnya masih sangat biasa di Dataran Tinggi Gayo. Dibiarkan saja, tanpa ada kerisauan jika suatu saat burung-burung yang masih hidup tak mampu lagi mengimbangi jumlah yang harus dimangsanya, misalnya ulat bulu. Bayangan bahwa bencana sewaktu-waktu akan datang sama sekali tak terpikirkan oleh sebagian besar komponen eksekutif dan legislatif, apalagi masyarakat biasa.

Padahal, beberapa tahun silam masih sangat rapi dalam ingatan bagaimana serangan hama kutu loncat yang menyerang pohon Lamtorogung, pohon pelindung atau naungan bagi kopi. Saat itu semua kalang kabut dan produksi kopi-pun turun. Yang diuntungkan siapa ?, tentu para pemilik rantai obat-obatan pembasmi kutu tersebut. Itupun bukan sekali diberi resep langsung manjur membasminya, namun dengan resep yang berulang-ulang.

Lembar demi lembar Rupiah harus mengucur dari kantong petani. Belum lagi resiko keracunan obat saat menggunakannya di lahan perkebunan.

Pihak pemangku kepentingan di Tanoh Gayo sepertinya betul-betul tidak memahami bahwa konsep preventif atau upaya pencegahan lebih baik daripada kuratif atau pengobatan. Padahal, konsep kesehatan ini sudah diajarkan sejak sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Jadi selama ini untuk apa mengeluarkan uang banyak jika sekedar mendapat embel-embel gelar doktor dam master ditambahkan didepan dan dibelakang nama.

Hampir setiap tahun selalu ada sejumlah kunjungan dengan nama kunjungan kerja (kunker) dan study banding oleh pihak eksekutif dan legilatif di Tanoh Gayo. Mengherankan, hampir semuanya mengunjungi kerjaan orang luar yang sukses-sukses dan indah-indah saja. Belum pernah terdengar kunker ke Rawa Pening untuk melihat bagaimana kondisi kerusakan lingkungan dan penangannya disana. Padahal danau Lut Tawar secara ilmiah dipastikan akan bernasib sama seperti rawa tersebut.

Juga tak terdengar ada kunker dan study banding ke daerah-daerah yang sedang terserang bencana alam lainnya termasuk ke lokasi serang ulat bulu. Mungkin cukup menyaksikan bagaimana dahsyatnya serangan tersebut dari media pemberitaan yang ada dan mengambil pelajaran dari tontonan atau bacaan tersebut.

Pertanyaannya, bukankah menyaksikan keindahan dan keprofesionalan orang ditempat lain juga cukup hanya dengan menonton dan membacanya di media ? Sepertinya setiap penayangan bencana hanya menjadi tontonan menarik bagi mata mereka, tak sampai ke hati untuk diambil menjadi sebuah pelajaran, bahwa dunia ini hanya satu. Mereka tak menyadari bencana bisa terjadi disana, tentu akan bisa terjadi disini, di Tanoh Gayo.

Sangat bisa difahami, tentu belajar  ke wilayah bencana agak repot mengurus stempel tanda bukti kunjungan, apalagi  untuk berwisata kuliner dan mencari oleh-oleh titipan anak dan istri.

Di Gayo, sepertinya ulat bulu, burung dan kopi dianggap tidak ada hubungan sama sekali. Ampuni kami ya Rabb yang  tak mampu melihat, membaca dan belajar dari kekuasaan-Mu. (Windjanur)

Comments

comments