by

Jogja dan Mas Eko, Jangan Malu Berbahasa Gayo

Mas Eko - Lintas GayoJogjakarta | Lintas Gayo,- Sebait cerita yang cukup membuat saya dan kita perlu mengkampanyekan untuk “jangan pernah malu berbahasa Gayo.” Setibanya saya dan Yulia Rahayu Istri saya di stasiun Tugu Jogjakarta (4/1/2014) dari stasiun Pasar Turi, Surabaya. Sesuai janji, saya menghubungi rekan saya Yusri atau yang di kenal dengan panggilan Dadong seorang Mahasiswa Fakultas Hukum asal Gayo yang sedang menimba Ilmu di salah satu Universitas terkemuka di kota ini,  tidak lama berselang dadong pun mengajak kami langsung ke asrama, krna kondisinya tidak memungkinkan dadong mengajak ke penginapan di kawasan Malioboro.

Setibanya di losmen dan kami melengkapi syarat menginap yang salah satunya adalah buku nikah, dengan di  temani masing-masing secangkir kopi kami saling berceloteh melepas rindu di lobi losmen yang tarif permalamnya relatif bisa di jangkau, sedikit bergurau dengan mengenang kenakalan – kenakalan masa remaja yang masih bisa untuk di maklumi tentunya, singkat cerita.

Dadong mengajak saya ke Asrama Lut Tawar yang beralamatkan di Jl. Kyai Mojo, No.264 RT.14 RW.04, Pingit, Sleman, Jogjakarta yang di huni oleh Mahasiswa yang berkuliah dan Perantau dari Gayo, tanpa basa basi saya mengiyakan.

Bersama Istri kami bergegas menuju Asrama menggunakan Sepeda motor pinjaman Dadong,  di perjalanan kami menikmati khasnya suasana kota Jogja yang pada saat itu masih lumayan ramai karena banyak turis Domestik dan Manca Negara baru saja usai merayakan Tahun baru 2014.

Setibanya kami di depan asrama saya berpapasan dengan seorang pemuda berperawakan kekar dan kepala plontos duduk di teras depan perpustakaan asrama, sembari berkenalan dia mempersilahkan saya masuk “koas o renye” (silahkan masuk ke dalam).

Awalnya mereka sudah mengisi kamar masing untuk beristirahat, lalu dadong memberitahukan bahwa ada teman yang datang, satu persatu dari mereka datang dan berkenalan dengan saya, seingat  saya pada waktu itu ada Agus Rianto, Andi Pratama, Sabirin, Alfansi Gayto Hakka, Sahri Utomo, Guneidi, Khairi Andiko, Khairul Amri, Iwan Kenangan, bg Joel Tampeng, Hery Ranggayoni, dan Amris Albayan.

Sambutan hangat yang di sajikan penghuni asrama membuat saya serasa di rumah sendiri, sambil terus bersenggama dengan memberitahukan kabar terkini Tanoh Gayo kepada mereka yang lama tidak pulang, dengan penasaran kami coba menanyakan pria kekar di teras tadi.

Agus yang juga teman semasa Sekolah kami dulu menjelaskan bahwa pria di teras tadi adalah mas Parjono atau yang akrab di sapa Eko adalah Pemuda asli lingkungan asrama, dan 2/3 hidupnya di habiskan di asrama dan sama sekali tidak ada darah keturunan Gayo.

Penasaran dengan penjelasan Agus kemudian kami menanyakan” tadi mas Eko mempersilahkan saya masuk menggunakan bahasa Gayo Gus?”.

Dengan bahasa bercanda menggoda mas Eko yang juga mendengar pembicaraan kami, Agus sedikit mengeraskan Volume suaranya sembari berseloroh “mas Eko a ke urang Blang Kolak Due ya”( mas Eko kan warga Blang Kolak dua), sontak riuh tertawa penghuni asrama meramaikan senyapnya kota Jogja yang kurang lebih pada waktu itu sudah pukul 03.00 Wib pagi.

Sadar ada hal yang menurut kami sangat unik dari mas Eko, rangsangan untuk mencari tau profil pemuda yang ternyata di segani di jalan Suryo Utomo, Jogjakarta karena profesinya sebagai Harlan ini pun semakin menggunung . Sembari  larut dalam canda di tengah sepinya kota pelajar  ini, kami terus menggali siapa sesungguhnya mas Eko, yang menurut kami setelah berinteraksi adalah pemuda berwajah garang tapi berhati luar biasa.

Dalam uraian kisah hidupnya, mas Eko mengaku bahwa dirinya adalah seorang Duda beranak satu (menggunakan  bahasa Gayo yang cukup fasih) dan Gayo adalah bagian dari hidupnya, membenarkan pernyataan Agus, ia juga mengaku bahwa sudah sejak anak-anak ia berbaur dengan Mahasiswa yang berasal dari Gayo, seperti  bg Purnama Kahar, bg Edi Putra Kelana, Taufiq Mauza Putra, dan masih bnyak lagi pungkas mas Eko sembari mengenang.

Saya sudah berbaur dengan penghuni asrama sejak 1975, ketika itu usia saya baru 4 tahun, waktu itu saya di sini hanya pada siang hari, malam saya kembali ke rumah. Dan sejak Tahun 1981 saya merasakan punya rumah baru, saya ingat ingat pada waktu itu saya sebagai anak yang di mintai tolong untuk membeli rokok dan anehnya saya senang, urai mas Eko sembari tertawa kecil.

Penasaran dengan bahasa Gayo yang nyaris sempurna, mas Eko kembali di beri candaan kecil yang kembali memecah keheningan di tengah rekam jejak memori yang sedikitnya memaksa mas Eko mengenang kisah indah di asrama bersama para Alumni Mahasiswa yang mas Eko sendiri sampai saat ini masih terus berkomunikasi meski jarang.

Sambil menyimak dan sesekali ikut bernyanyi dalam buaian lagu Renah Rembune  yang di lantunkan Alm. Ivan WY,  mas Eko mengaku pandai berbahasa Gayo secara alamiah dan di tuntun oleh bg Taufik Mauza Putra, pada Tahun 1976 saya sudah mulai berkomunikasi dengan bahasa Gayo, bahasa Gayo itu indah dan unik, rugi jika saya tidak belajar.

Mas Eko yang juga pernah mengharumkan seni tradisi Gayo sebagai menggebuk bantal didong yang pada saat  mewakili masyarakat Gayo dalam pentas budaya UGM pada Tahun 1996 ini ternyata tidak pernah sama sekali menginjakan kakinya di Gayo.

Kami semakin penasaran tentunya, kami terus coba menyelami sosok yang di kenal rajin, pelindung,  yang keakrabannya dengan seluruh Mahasiwa dan baik penghuni asrama ataupun yang memilih kost ini tidak berlebihan jika saya ibaratkan bak beras dengan air.

Mengalir dan apa adanya, itu yang saya lihat dari sosok yang sudah 41 tahun menghirup aroma kehidupan.

Inilah rumah saya, Gayo adalah bagian dari hidup dan semua tentang Gayo saya coba cari tau, baik nama daerah seperti Wariji, Blang Kolak, Perumnas, Bener Meriah, Tetunyung saya tau dari mereka yang datang ke asrama, dan video musik Gayo, dan saya bangga berbahasa Gayo karena itu bagian dari identitas. Besar keinginan saya mengunjungi tanoh Gayo, hanya saja terkait masalah biaya transportasi saya masih belum mampu untuk mewujudkan mimpi saya. Harap mas Eko dengan nada lesu.

Sejenak suasana ruangan hening mengilhami mimpi mas Eko yang ingin menjejakan kaki di Tanah Syurga ini.

Pun demikian mas Eko mengakui tidak dapat menutupi kerinduannya pada Alumni  Asrama Lut Tawar dan mereka yang pernah memintal cerita bersamanya ketika di Jogja, sering-seringlah berkunjung kesini. Pinta mas Eko yang di awal kami telah meminta izin untuk mempublikasikan dirinya.

Dyko yang menjabat ketua Asrama mengaku, mas Eko adalah sosok bersahaja. Ia seperti kakak kami beliau melakukan pekerjaan rumah di sini meski ia adalah orang yang cukup di segani di lingkungan ini tapi ia tidak malu, sontak teman-teman seisi ruangan memberikan isyarat dengan anggukan kepala seolah membenarkan pernyataan Dyko. (Konadi Adhani) 

Comments

comments