Aceh Tengah di Bawah Kepemimpinan Nasaruddin
Oleh : Win Wan Nur
Sebagaimana kelompok manapun yang secara sosial dan politik lama tertekan lalu pada akhirnya dapat mengambil alih kekuasaan. Mereka tentu akan berusaha memanfaatkan posisi sebagai penguasa ini sebaik-baiknya. Untuk mengejar ketertinggalan bahkan mengatasi kelompok yang telah berhasil mereka kalahkan.
Itu pulalah yang terjadi pasca naiknya Nasaruddin ke kursi Bupati. Orang Gayo dari belah Ciq (Toa) yang selama ini merasa tertekan. Sekarang secara cepat mulai mendominasi birokrasi dan pemerintahan, juga bisnis yang berkaitan dengan proyek-proyek pemerintah.
Usaha Ciq untuk mendominasi ini terbantu dengan berubahnya cara pandang orang Ciq terhadap pendidikan.
Kalau dulunya, orang-orang terdidik dan kemudian menjadi pejabat rata-rata adalah orang Uken. Sebab pada masa kolonial, orang Uken lebih bisa menerima pendidikan modern.
Saat ini fenomena seperti itu bisa dikatakan sudah tidak ada. Pasca kemerdekaan yang kemudian diikuti dengan program wajib belajar di masa pemerintahan Soeharto. Telah mengubah total pandangan orang Ciq terhadap dunia pendidikan. Jika dulu, orang Ciq memilih mengusahakan kebun. Sekarang bisa dikatakan hampir setiap keluarga orang Ciq memiliki setidaknya satu anak yang berstatus sarjana, yang kuliahnya dibiayai dengan uang hasil kebun mereka.
Perubahan sikap terhadap pendidikan ini membuat pengambil alihan dominasi oleh Ciq ini jadi lebih mudah dari segi administrasi. Akibat perubahan ini, sebelum Nasaruddin berkuasa. Meskipun birokrasi dan pemerintahan masih dikuasai oleh Uken. Tapi tentu saja ada beberapa orang gayo dari belah Toa yang juga lolos menjadi PNS dan mendapat jabatan yang lumayan di pemerintahan. Nah, saat Nasaruddin berkuasa, para pegawai negeri dari belah Ciq yang dulunya kurang mendapat peluang untuk menduduki jabatan strategis, kini mendapat peluang itu. Dan yang paling mencolok adalah saat penerimaan pegawai negeri. Di saat penerimaan pegawai negeri menjadi sepenuhnya kewenangan daerah dan otoritas bupati jadi semakin penting. Kesempatan bagi CPNS dari belah Ciq untuk menjadi pegawai negeri menjadi lebih besar.
Di bidang bisnis rekanan apalagi. Sejak Nasaruddin berkuasa, para kontraktor dari belah Ciq benar-benar mengalami masa jaya.
Lalu bagaimana nasib orang Gayo dari belah Bukit (Uken)?.
Sebenarnya kalau kita lihat secara objektif, tidak terlalu buruk juga. Orang Uken masih juga ada yang lulus jadi PNS. Beberapa kepala Dinas juga masih dijabat oleh Urang Uken. Beberapa kontraktor dari belah Uken juga masih mendapat proyek.
Tapi karena sepanjang sejarah Aceh Tengah Uken sudah terbiasa mendominasi. Ketika dominasi itu hilang orang Uken seperti merasakan sebuah kehilangan besar. Sehingga ketika Toa berkuasa, seolah-olah orang Uken diperlakukan buruk sekali.
Padahal apa yang dialami oleh urang Uken saat ini sebenarnya tidak lebih buruk dibanding yang dialami orang Toa ketika orang Uken berkuasa. Karena itulah kalau kita mau objektif dalam menilai. Selain disebabkan oleh euforia yang agak berlebih yang ditampilkan oleh orang Toa ketika akhirnya berhasil berkuasa. Sebenarnya perasaan tersisih yang dirasakan sebagian orang Uken ini tidak bisa dilepaskan dari faktor hilangnya dominasi ini.
Tapi meskipun terjadi euforia yang agak berlebih. Euforia yang terjadi pasca kemenangan Toa ini sangat kecil kalau dibandingkan Euforia yang dirasakan orang Aceh pasca MoU Helsinki. Euforia yang sebegitu berlebihannya sampai menimbulkan sikap “Ueber Alles” dalam memandang rendah suku-suku asli yang tidak berbahasa Aceh dalam keseharian.
Ini terjadi karena kenyataannya konflik yang terjadi antar Uken – Toa di Gayo ini tidaklah setajam konflik yang terjadi antara Aceh – Pusat. Karena tidak seperti konflik Aceh – Pusat yang menempatkan Aceh berhadapan dengan Jakarta. Yang ketika Pusat berhadapan dengan kekuatan luar, Aceh cenderung memihak lawannya.
Konflik Uken – Toa sebenarnya lebih bersifat internal sesama orang Gayo saja. Meskipun secara internal berseteru, tapi kalau ada orang Gayo dari belah manapun berhadapan dengan Non-Gayo. Orang Gayo akan melebur dalam satu identitas yang sama.
Fenomena seperti ini sudah terjadi sejak lama. Tapi karena modernisasi, terutama kemajuan di bidang teknologi transportasi dan informasi membuat fenomena ini semakin kabur (dalam pengertian positif) di hari-hari belakangan ini. Kemajuan teknologi transportasi dan informas sangat banyak membantu mengurangi tensi konflik antara Uken dan Toa.
Keterbukaan informasi dan akses transportasi yang jauh lebih mudah telah banyak mengubah cara bergaul dan bermasyarakat orang Gayo. Terutama dari belah Ciq (Toa) yang dulunya relatif tertutup. Hasilnya, sekarang di dalam pergaulan keseharian, benturan fisik antara Uken dan Toa sudah hampir tidak pernah terjadi.
Ini berbeda sekali dengan situasi di paruh awal tahun 1980-an. Ketika itu bahkan anak sekolahan pun bisa saling beradu lempar batu antara kelompok Uken dan kelompok Toa. Pada masa-masa itu, perbedaan sebutan antara “Siut” dan “Telong” yang dalam bahasa Gayo sama-sama berarti terbakar pun bisa menjadi bahan ejekan yang berujung pada perkelahian antar anak-anak.
***
Kekuasaan itu seperti mata uang, memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Satu sisi menguntungkan dan satu sisi lagi merugikan. Sisi mana
yang dominan, itu tergantung pada kelihaian dari sang pemegang kuasa. Ketika Toa berkuasa. Mereka juga tidak bisa melepaskan diri dari kontradiksi antara kedua sisi ini.
Sebagaimana yang sudah saya singgung sedikit di tulisan bagian pertama. Sebelum Toa mendominasi birokrasi dan pemerintahan di Aceh Tengah. Toa adalah kelompok suku Gayo yang paling erat hubungan sosialnya. Ini terjadi bisa jadi karena gabungan dari kultur Toa yang mewarisi eratnya hubungan kekerabatan khas suku Batak. Dengan lemahnya posisi mereka di birokrasi dan pemerintahan Aceh Tengah.
Tapi, dalam sebuah pertarungan politis apapun. Selalu, pada masa perebutan kekuasaan. Semua kelompok begitu solid dan saling mendukung. Masalah nyaris tidak ada. Karena semua elemen perlawanan sebangun dan sejiwa untuk mengalahkan lawan.
Sejarah telah membuktikan, masalah selalu datang belakangan. Timbul ketika kemenangan sudah di tangan. Dan pada situasi kemenangan inilah kecakapan seorang pemimpin diuji.
Dalam kisah kemenangan politis Toa untuk pertama kalinya ini juga demikian. Di sinilah kecakapan Nasaruddin sebagai seorang pemimpin diuji.
***
Soal kualitas seorang pemimpin, Gayo termasuk Aceh Tengah, adalah potret Indonesia dalam skala mini. Di Indonesia secara umum dan Aceh Tengah secara umum, seolah terjadi anomali dalam hal kualitas pemimpin ketika dikaitkan dengan luasnya akses kepada pendidikan. Saat dulu pendidikan baru bisa diakses sebagian sangat kecil orang. Di Aceh Tengah justru lahir pemimpin-pemimpin dengan kadar intelektualitas dan kapasitas kepemimpinan yang tinggi (sebagaimana terlihat dalam foto ilustrasi tulisan ini). Sementara di zaman sekarang, ketika orang ramai sudah memiliki akses kepada pendidikan. Mutu pemimpin yang dihasilkan justru menurun. Bahkan ketika rakyat yang sudah jauh lebih tercerahkan dibandingkan rakyat yang hidup di masa pasca kemerdekaan diberi kesempatan memilih langsung. Kualitas pemimpin yang dihasilkan benar-benar jeblok dan hancur.
Nasaruddin adalah bukti nyata dari anomali ini.
Di saat perebutan kekuasaan kapasitas Nasaruddin seolah-olah adalah putra terbaik dari seluruh orang Gayo yang ada di muka bumi. Sehingga dialah yang paling pantas menjadi bupati. citra seperti ini berhasil dengan baik diciptakan oleh tim suksesnya di depan para pemilih. Tapi pada saat berkuasa, kapasitas asli Nasaruddin tidak dapat lagi disembunyikan.
Pada awal Nasaruddin berkuasa, rata-rata tim suksesnya cukup bahagia.
Mantan camat Bebesen yang merupakan pendukung setia Nasaruddin, langsung mendapatkan jabatan strategis sebagai Kadis Sosial. Saat Dinas Sosial dibawah pimpinan pendukung setia Nasaruddin inilah, Separuh lahan dan Mesjid milik Panti Asuhan Budi Luhur yang berada dibawah pengelolaan Dinas Sosial dijual. Beberapa jabatan strategis lain juga diberikan oleh Nasaruddin kepada anggota tim suksesnya.
Sejauh ini semua masih baik-baik saja.
Tapi apa boleh buat, minimnya pengalaman Nasaruddin dalam berorganisasi. Tidak dapat disembunyikan ketika Nasaruddin sudah menggenggam kekuasaan di tangan. Sosoknya sebagai pemimpin karbitan, tidak bisa lagi dikaburkan.
Semakin lama Nasaruddin berkuasa, dinamika yang terjadi semakin kompleks. Sesama tim sukses mulai berebut pengaruh sesama mereka sendiri. Minimnya pengalaman Nasaruddin dalam berorganisasi membuatnya kesulitan dalam mengakomodir berbagai benturan kepentingan di antara mantan tim suksesnya.
Akibatnya, ada beberapa diantara mereka yang berjaya dengan fasilitas dan kesempatan yang diberikan Nasaruddin. Sebaliknya, ada beberapa yang entah karena kurang agresif atau memang sengaja digencet sesama teman “terkancai” tanpa mendapat perhatian. Padahal semua merasa berjasa menaikkan Nasaruddin ke kursi kekuasaan.
Sehingga, sebagaimana yang telah dialami oleh kelompok Uken, jauh sebelumnya. Ketika bandul kekuasaan beralih ke Toa. Toa pun mulai mengalami berbagai friksi sesama kelompok Toa sendiri. Penyebabnya, sebagaimana yang telah saya gambarkan di atas, apalagi kalau bukan soal puas dan tidak puas dalam pembagian “hasil kemenangan”.
Belakangan, Nasaruddin terpilih sebagai ketua partai Golkar. Partai yang calonnya dikalahkan oleh Nasaruddin saat dia naik ke tampuk kuasa.
Jabatan ini membuat Nasaruddin memiliki banyak kawan baru. Sebagai konsekwensi dari banyaknya kawan baru ini, beberapa kawan lama terpaksa menyingkir.
Dan karena jabatan baru ini tujuannya jelas untuk dijadikan kendaraan untuk berkuasa. Sejak menjadi Ketua Golkar Nasaruddin pun tampak agresif sekali menghimpun pendukung baru. Dia tidak lagi peduli siapa yang direkrutnya, tidak lagi mempermasalahkan asalnya dari belah mana. Beberapa pendukung baru yang direkrut oleh Nasaruddin sekarang justru adalah orang yang dulunya berada di kubu lawannya dan merupakan penentangnya yang paling keras di masa lalu. Dengan iming-iming yang sama dengan yang dulu disampaikan kepada para pendukungnya dari belah Toa.
Ketika beberapa mantan anggota tim sukses yang berstatus pegawai negeri mulai memasuki masa pensiun. Beberapa orang anggota tim sukses yang berjasa besar atas terpilihnya Nasaruddin dulu. Mulai merasa diabaikan dan terpinggirkan oleh Nasaruddin.
Salah satu yang masuk kategori ini adalah mantan camat bebesen yang menjabat sebagai Kadis Sosial saat separuh lahan dan mesjid milik Panti Asuhan Budi Luhur dijual. Mantan camat ini adalah orang yang sangat mahir berkomunikasi dengan rakyat jelata. Berbagai kebijakan negatif bahkan blunder dari pemerintah. Oleh mantan camat ini, melalui pendekatan dan bahasa yang persuasif. Masyarakat bisa dibuat percaya bahwa blunder tersebut adalah sebuah prestasi yang mengagumkan. Jadi loyalis Nasaruddin ini sebenarnya adalah salah satu elemen terpenting dalam proses kemenangan Nasaruddin.
Tapi sekarang, mantan camat ini sudah masuk dalam masa pensiun dan tidak lagi mendapat perhatian dari Nasaruddin. Ibarat habis manis sepah dibuang.
Belakangan, berbagai kebijakan yang dikeluarkan Nasaruddin malah tidak lagi mengakomodir kepentingan mantan tim suksesnya yang membantunya berkuasa.
Dalam mengangkat pejabat tertentu misalnya, belakangan Nasaruddin mulai memilih sosok yang dia anggap bisa melindungi kepentingannya. Nasaruddin tidak lagi peduli, meskipun kebijakannya itu terkesan sangat ngawur. Contoh kebijakan ngawur ini bisa dilihat misalnya saat Nasaruddin mengangkat mantan Kadis Pendidikan yang sama sekali tidak memiliki basis keteknikan, menjadi Kadis PU. Dan beliau ini sama sekali bukan berasal dari belah Toa, bahkan etnis Gayo pun bukan.
Perkembangan yang tidak sehat dalam masa kekuasaan Nasaruddin ini tentu berdampak langsung bagi soliditas belah Toa. Jika dulu Toa satu suara dalam peta kekuasaan Aceh Tengah. Sekarang mereka pun mulai terbelah ke dalam banyak kubu. Salah satu dari banyak kubu di Toa itu adalah barisan sakit hati. Di dalamnya tentu saja termasuk sang mantan camat.
Menariknya, saat ini bahkan Nasaruddin juga tampaknya sudah tidak lagi didukung oleh wakilnya sendiri.Ini bisa jadi diakibatkan oleh karena terpinggirkannya peran sang wakil selama masa kekuasaan mereka.
Selama Nasaruddin berkuasa, wakilnya yang berasal dari belah Uken ini seolah-olah tidak mendapat apa-apa. Seolah Nasaruddin hanya membutuhkannya untuk dijadikan alat pengumpul suara dan dijadikan bemper oleh Nasaruddin ketika kebijakan kontroversialnya mendapat resistensi dari masyarakat. Contohnya, saat separuh lahan dan Mesjid milik Panti Asuhan Budi Luhur dijual oleh Nasaruddin kepada BPD berkembang menjadi kontroversi di Masyarakat. Bukan Nasaruddin atau kepala Dinas Sosial pengikut setianya ini yang tampil ke muka untuk berkonfrontasi dengan penentangnya. Tapi untuk menghadapi penentang penjualan Lahan dan Mesjid Panti Asuhan. Nasaruddin, malah menyodorkan wakil bupati yang berasal dari belah Uken, bersama orang tua kandungnya yang merupakan ketua MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh Tengah. Untuk berhadapan dengan para penentang.
Bagaimana kira-kira peta politik di Aceh Tengah menjelang Pemilukada mendatang?….Silahkan ikuti bagian ketiga yang merupakan seri terakhir tulisan ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Gayo berdomisili di Karawaci
kami selaku rakyat kecil, yang penting harga kopi naik masa kepemimpinan pak nasaruddin. tidak seperti bupati sebelumnya “melempem” yang tidak pernah mengekspose dollar nya Kabupaten Aceh Tengah ke Dunia luar……….. Bersyukurlah Rakyat Aceh Tengah.