Oleh Johansyah*
Tutur merupakan sebutan atau panggilan kepada orang yang lebih tua atau muda disebabkan adanya hubungan darah dan kekerabatan serta terjadinya pernikahan antar urang (kelompok/suku) yang berbeda. Dalam masyarakat Gayo, bagi orang yang tidak mengetahui tutur kepada seseorang karena mungkin baru berkenalan, maka dianjurkan yang lebih muda memanggil abang/aka kepada yang lebih tua. Apabila rentang umurnya sangat jauh maka yang muda dianjurkan untuk memanggil ama/ine atau awan/anan.
Dalam perbincangan dengan Awan (kakek) Tapa (panggilan penulis untuk Mustafa AK, Mantan ceh Kala Laut), setidaknya jumlah tutur dalam masyarakat Gayo ada 123 bentuk. Mulai dari rekel (tutur yang memiliki posisi paling tinggi), entah, muyang, datu, awan/anan, ama/ine dan seterusnya. Menurut keterangan beliau, anak yang menggunakan tutur berada pada posisi ketujuh karena tingkatannya berada di bawah ama/ine. Selain beberapa bentuk tutur di atas kita juga mengenal bentuk tutur lain, minsalnya; ibi, kil, ama kul, ama ucak, ama ecek, uwe, ngah, pun, encu, era, periben,kile, pemen, enen duwe, kawe, temude,lakun, impel peserinen, dengan, until dan lain-lain.
Dalam tutur bahasa Gayo dikenal adanya tutur ringen dan tutur berat. Bentuk yang pertama merupakan bentuk hubungan komunikasi yang fleksibel di mana antara satu dengan yang lainnya dapat melakukan senda gurau dan humor, seperti hubungan antar teman dan secara psikologis antara komunikator dengan komunikannya merasa enjoy-enjoy saja tanpa beban. Kondisi ini dalam bahasa Gayo sering dikatakan nguk berberakah (dapat saling bersenda gurau). minsalnya antara hubungan anak dengan bibinya, di mana ia dapat menyampaikan keluh kesah yang dianggap tabu untuk langsung disampaikan kepada orang tua, seperti ketika ingin menyampaikan kehendak untuk menikah. Sementara tutur berat merupakan bentuk komunikasi formal dan ākakuā antara dua orang dan tidak boleh saling menggeledek serta duduk berdampingan. Dengan kata lain dalam berbagai kondisi mereka memiliki banyak keterbatasan komunikasi. Minsalnya antara Bapak dengan anak atau kile (menantu laki-laki) dengan tuen (mertua)nya.
Penulis melihat, strukturisasi tutur yang merupakan warisan budaya Gayo ini dalam perkembangannya ternyata mampu membentuk karakter anak. Artinya seorang anak tidak berperilaku sembarangan dengan orang yang dihadapinya, apalagi berhadapan dengan orang-orang dalam kategori tutur berat. Tingkat keteraturan komunikasi ini ternyata berdampak positif pada perilaku seseorang. Ketika dia berhadapan dengan seorang bapak, maka dia selalu menjaga perkataan dan perbuatan yang dianggap sumang (tabu dalam adat Gayo). Orang yang melanggar rambu-rambu ini dianggap lelang (perilaku yang dianggap kurang pantas atau nyleneh dalam ukuran budaya Gayo).
Nilai filosofis yang penulis anggap positif dalam hal ini adalah bahwa ternyata bahasa dalam tutur memiliki korelasi yang erat dengan perilaku seseorang. Hal ini mungkin mirip pola hubungan antara santri dengan seorang ustadz di mana rasa taāzim (penghormatan) santri begitu besar sehingga perilaku sopannya terekspresi sendiri secara spontan ketika berhadapan dengan ustadz.
Waspadai pergeseran
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dunia yang nyaris tanpa batas ini, banyak sedikitnya memengaruhi dan mengaburkan budaya yang ada termasuk yang berkaitan dengan tutur. Banyak di antara masyarakat Gayo saat ini, terutama generasi muda tidak lagi mengetahui tutur dan posisinya yang begitu penting dalam pola komunikasi masyarakat Gayo sehingga tidak jarang banyak anak yang tidak menaruh rasa hormat dan sopan kepada orang yang lebih tua dari mereka.
Realitas semacam ini tentunya tidak sesuai dengan ekspektasi kita sebagai masyarakat Gayo yang menjujung tinggi nilai-nilai budayanya. Untuk itu, sejatinya tutur dapat dipertahankan, diwariskan dan dikembangkan kepada generasi dan anak-anak kita. Memelihara nilai-nilai masa lalu bukan berarti enggan menerima perkembangan dan perubahan. Satu hal yang harus dicermati, yakni ke mana arah perubahan tersebut?. Jika tidak mendatangkan kebaikan dan manfaat secara kolektif serta merusak khazanah kebudayaan yang ada buat apa kita terima?.
Taukah kita bahwa salah satu virus akut yang menyerang bangsa ini sebenarnya adalah ramainya suntikan-suntikan beracun dan mematikan dari budaya luar yang kita serap begitu saja tanpa proses filter. Hal ini mengakibatkan banyaknya kebiasaan-kebiasan sebagai basis budaya kita ditinggalkan begitu saja karena mungkin dianggap tidak pantas atau ketinggalan zaman.
Ketika seseorang tidak lagi menghiraukan budayanya maka sebenarnya ia berusaha menghilangkan identitas dan membunuh karakternya sendiri. Padahal saat ini program yang lagi dikuatkan dan diprioritaskan oleh Kementerian Pendidikan nasional (kemendiknas) adalah pendidikan karakter untuk membentuk karakter anak bangsa ini.
Nah, bukankan tutur dapat mengambil peran penting ini dalam membentuk karakter anak bangsa yakni dengan mengetahui pola hubungan komunikasi yang terpilih dan terpilan dengan baik. Dengan tutur secara spontan anak akan mengetahui dengan siapa dia berhadapan sehingga dengan sendirinya dia akan mengadaptasikan sikap dan perilakunya tanpa rekayasa.
Untuk itulah, hemat penulis, tutur perlu kita perkenalkan dan ajarkan kepada anak. Boleh-boleh saja kita tidak lagi berdomisili di tanah Gayo, baik di Takengon atau Bener Meriah, akan tetapi hal tersebut jangan sanpai membuat kita tidak lagi cinta budaya sendiri. Sangat baik tentunya sekiranya kita memperkenalkan budaya dan bahasa lain kepada anak-anak, namun jangan lupa mengajarkan mereka bahasa Gayo dan tutur sehingga mereka tidak kehilangan identitas dan karakter sebagai bagian dari masyarakat Gayo.
Bolehlah kita menjadi orang-orang yang progresif terhadap perubahan, namun ibarat menyetir mobil bagaimana pun kencangnya mobil melaju, toh kita harus menoleh ke arah kaca spion untuk mengetahui kondisi yang ada di belakang. Bahkan orang yang enggan menoleh ke belakang banyak yang celaka.
Apa yang penulis tegaskan dari analogi di atas adalah bahwa tutur merupakan produk budaya masa lampau. Jangan sampai karena melihat banyak perubahan lalu kita mengenyampingkan budaya lama tersebut lalu menggantinya dengan budaya baru yang bukan milik kita. Yang jelas tutur dalam pergulatan sejarah gayo memiliki peran penting dalam membentuk pribadi-pribadi yang berkarakter dan bersahaja. Mudah-mudahan kita adalah bagian dari orang-orang yang masih peduli dan menjaga khazanah budaya Gayo dan marilah kita perankan rumah tangga masing-masing untuk memelihara dan mengembangkan budaya-budaya Gayo.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh