Takengen | Lintas Gayo : Data-data teknis berupa angka-angka terkait kopi Gayo yang diproduksi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dinilai amburadul alias kacau balau oleh seorang pemerhati kopi Gayo, Wiknyo yang dinyatakan kepada Lintas Gayo, Rabu (22/6) di Takengon.
Amburadulnya data seperti luas kebun kopi menurut Wiknyo penyebabnya adalah adanya dualisme data, data proyek dan data riil. “Jika ada bantuan untuk bibit misalnya, maka yang muncul adalah data proyek. Jika harusnya hamparan lahan hanya sekitar tigaperempat hektar maka ditulis menjadi satu hektar,” ujar Wiknyo seraya menyarankan agar kedepan dilakukan pendataan ulang yang lebih objektif sesuai kondisi lapangan.
Mantan Penyuluh Pertanian di Aceh Tengah ini juga mengeluhkan tidak adanya data-data terkait klimatologi (iklim) yang harusnya juga menjadi rujukan penting dalam pertanian dan perkebunan. “Sejak lama kita tidak punya data terkait iklim seperti curah hujan,” kata Wiknyo.
Padahal, katanya, data curah hujan sangat penting dalam memantau produksi kopi. “Jika tahun ini terjadi hujan sepanjang tahun, maka produksi kopi tahun depan dipastikan akan turun drastis. Dan jika terjadi kemarau minimal 3 bulan, maka produksi tahun berikutnya akan naik,” papar Wiknyo.
Selain pengaruh cuaca, ada sejumlah factor lain yang menentukan prouksi kopi. “Faktor bibit, teknis budidaya, tipe tanah dan agroklimat sangat menentukan kualitas dan kuantitas kopi,” imbuh Wiknyo.
Wiknyo juga mengungkap pengalaman dilapangan bahwa petani yang mengelola kebun kopi dengan luas kurang dari 1 hektar hidupnya lebih makmur daripada petani yang mengurus lahan kopi lebih dari itu. “Umumnya yang punya lahan 1 hektar bisa menghasilkan kopi sebanyak 700 kilogram pertahun. Tapi yang punya lahan kurang dari 1 hektar malah bisa memproduksi sebanyak 2 ton,” banding Wiknyo.
Artinya, lanjutnya, kelola saja lahan kopi lebih kecil dari 1 hektar dengan semaksimal mungkin daripada mengelola lebih luas dari itu akan tetapi tidak dikelola dengan baik.
Terakhir terkait pernyataan Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Provinsi Aceh, Samsul Bahri seperti dirilis sejumlah situs berita online, Selasa (21/6) yang menyatakan produksi kopi di Aceh lebih baik dimasa konflik, 48.000 ton pertahun dan dimasa damai Aceh hanya 20.000 ton pertahunnya, Wiknyo kembali menegaskan agar dilakukan pendataan ulang dan koreksi secara menyeluruh.
“Saya bingung juga, mereka ambil data darimana. Jika dari timbangan di perbatasan seperti di Km 35, terus terang saja saya tidak percaya dan data disitu tidak bisa jadi pegangan,” pungkasnya.
Terkait data kopi yang dinilai amburadul ini, Lintas Gayo belum berhasil mengkonfirmasi pihak-pihak terkait di Aceh Tengah dan Bener Meriah.(Khalis/Foto Win Ruhdi)