Akankah kasus ribut dipendopo Bupati Aceh Tengah sampai ke polisi? Apakah tidak lebih baik kasus mereka diselesaikan mengedepankan hukum adat. Duduk secara baik baik, apalagi mereka menjadi “ayah dan ibunya” rakyat Gayo, Aceh Tengah.
Gesekan antara bupati dan wakil bupati Aceh Tengah, jauh jauh hari 7 bulan yang lalu Dialeksis.com sudah menurunkan tulisanya. Ketidak harmonisan mereka sudah diketahui publik, namun tidak ada pihak yang mau mendamaikan dan menyelesaikan persoalan mereka.
Kini “ledakan” itu terjadi. Shabela Abubakar, Bupati Aceh Tengah merencanakan akan melaporkan wakil Bupati Aceh Tengah Firdaus kepolisi, atas sikap wakil bupati yang datang ke pendopo “menyerang” dan mengancam bupati dan keluarganya.
Shabela dalam keteranganya kepada media menyebutkan, kedatangan wakil bupati ke pendopo bersama beberapa orang adalah bentuk ancaman. Wakil bupati marah marah dan mengancam Shabela beserta keluarganya.
Saat itu, Rabu (13/5/2020) malam, menurut Shabela, dia sedang mengadakan rapat membahas musibah banjir bandang di Paya Tumpi, serta penangan wabah corona di Aceh Tengah. Tiba tiba datang wakil bupati marah marah dan mengancam dirinya dan keluarga. Ada ancaman bunuh.
Menurut Shabela, wakil bupati datang mempersoalkan masalah proyek. Shabela mengakui tidak mengerti apa yang dipersoalkan Firdaus, karena pada saat itu dia bersama stafnya sedang membahas persoalan musibah.
Terjadilah pertengkaran mulut. Pertengkaran itu membuat sejumlah peserta rapat di pendopo kebingungan dan berupaya melerai kedua pemimpin itu. Namun Shabela tidak menerima atas sikap Firdaus yang datang “menyerang” ke pendopo dan mengancamnya.
Shabela merencanakan akan melaporkan kasus itu ke polisi. Namun pihak polisi belum menerima laporan Shabela. “Belum ada laporan,” sebut Kapolres Aceh Tengah, AKBP Nono Suyanto, melalui Kasat Reskrim, Iptu Agus Riwayanto, menjawab Dialeksis.com, Kamis malam (14/5/2020).
Bukankah sebaiknya didamaikan saja? Tanya Dialeksis.com “ Ya sebaiknya didamaikan saja, apalagi negeri kita sedang dilanda musibah. Sampai saat ini kami belum menerima laporan,” jelas Kasat Serse yang enggan memberikan keterangan lebih jauh.
Keterangan Wakil Bupati
“Duh…. Saya bukan menyerang ke pendopo. Kalau berencana menyerang ke pendopo kan bukan seperti ini caranya,” sebut Firdaus, menjawab Dialeksis.com, Kamis (14/5/2020) malam via selular.
“Saya datang ke pendopo hanya minta dihargai sebagai manusia, apalagi sebagai tim dalam membangun negeri ini. Saya sebagai wakil bupati, hanya minta dihargai sebagai wakil bupati, bukan semuanya harus bupati yang urus,” sebut Firdaus.
“Kalau ketika saya di pendopo marah marah, itu sudah silap. Akibat dari beragam persoalan selama ini, ahirnya memuncak dan silap. Ketika silap, ya marah marah, itu diluar kendali saya, saya tidak ingat,” sebut Firdaus.
Bukankah persoalan perbedaan itu dapat diselesaikan baik-baik, duduk bermusyawarah, demi kelanjutan pembangunan daerah? “Kalau mau dimusyawarahkan inti persoalanya kan sama. Bila inti persoalanya tidak disentuh, ya sama saja. Pada prinsipnya saya mau dihargai dan membangun kebersamaan,” sebut Firdaus.
Kalau ada rencana mau dilaporkan ke polisi, sebut Firdaus, tidak ada masalah. Semuanya akan diikuti. Firdaus juga menyebutkan, bila ada laporan kepolisi, dia juga bisa membuat laporan polisi.
Gesekan antara bupati dan wakil bupati, sebenarnya sudah lama menjadi rahasia umum. Bahkan Dialeksis.com sudah menurunkan tulisan pada 3 Oktober 2019 tentang gesekan itu.
Baca : “Gesekan” Bupati dan Wakil Bupati jadi pembahasan
Gesekan gesekan itu belum ada pihak yang mampu menjernihkan, menyelesaikan persoalanya, sehingga Bupati dan Wakil Bupati “sefaham” dalam mengayuh bahtera memimpin Aceh Tengah. Kini muncul “insiden” di pendopo dalam bulan Ramadan, saat negeri ini dilanda musibah.
Bila nantinya kedua belah pihak saling lapor melapor ke polisi, bukankah masyarakat yang akan menjadi korban? Seharusnya waktu dan energi kedua pemimpin ini dapat dipergunakan untuk membangun negeri, justru terbuang untuk mengurus perkara.
Mayoritas masyarakat Aceh Tengah berharap, agar perbedaan pandangan antara bupati dan wakil bupati dapat diselesaikan secara adat. Apalagi Gayo dikenal berbudaya, mengedepankan norma-norma adat.
Saat negeri ini sedang dilanda wabah corona, ditambah lagi Aceh Tengah terjadi musibah alam berupa banjir bandang, banjir, tanah longsor dan kebakaran, perpecahan pemimpin di Gayo itu, seharusnya tidak terjadi.
Masing masing pihak harus menunjukan keseriusanya memperhatikan masyarakat. Harus fokus kepada penanggulan wabah, agar negeri ini terbebas dari gempuran corona dan masyarakat dapat hidup nyaman, kembali berusaha dengan damai, demi memenuhi kebutuhan hidup.
Tidak ada persoalan yang tidak mampu diselesaikan, bila kedua belah pihak membuka diri. Isihen kin uren sigere sidang ( Hujan sudah pasti reda- Bahasa Gayo Red). Semua persoalan akan mampu diselesaikan dengan bijak.
Tidak harus semua persoalan diselesaikan melalui jalur hukum, apalagi negeri ini sedang dilanda musibah, berperang dengan wabah. Ada upaya adat yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah.
Semoga kasus ini bukan diselesaikan melalui jalur hukum, harus saling lapor melapor ke polisi. Alangkah indahnya bila diselesaikan melalui musyawarah, mengedepankan kekeluargaan dalam balutan norma adat. (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com)