by

Sulitnya Menerapkan Nilai Adat Gayo

Oleh. Quadi Azam*

“Memenuhi tuntutan Adat terkait prosesi Munirin Reje kami tidak berani menolak, karena tujuannya baik, yaitu untuk membersihkan diri atau buang sial. ”

Tulisan diatas merupakan pernyataan Bupati Aceh Tengah yang dipetik dari pemberitaan media online. Pada kesempatan tersebut Bupati Aceh Tengah sedang mengikuti prosesi adat Gayo “Munirin Reje, ” yang dalam bahasa Indonesia disebut memandikan Raja. Ada kalimat yang sangat menarik mengapa prosesi itu harus dilakukan, bertujuan untuk membersihkan diri dari kesilapan dalam menjalankan roda pemerintahan. Ketika prosesi ini dikaitkan dengan tidak harmonisnya hubungan Bupati dan Wakilnya, yang berujung pada pelaporan ke Kepolisian. Timbul prasangka atau dugaan, pelaporan ke kepolisian ini mungkin sebagai bentuk hukuman langsung dari ketidakhadiran Wakil Bupati pada prosesi memandikan Raja atau mungkin juga sebuah kesialan. Bisa jadi keduanya, karena dinilai silap dengan melanggar “Ulu Rintah” yang diartikan sebagai penangungjawab penuh kepemerintahan Aceh Tengah.

Begitupun mari kita lihat literasi tentang nilai-nilai adat Gayo, yang menurut beberapa penulis bersandar pada hukum Islam. Salah satunya menurut Jamhir dalam jurnal Ar-Raniry yang berjudul “Nilai Adat Gayo Bersandar Hukum Islam Sebagai Pedoman Menyelesaikan Kasus Hukum Masyakat Gayo.” Dalam tuisan jurnal ini disampaikan ada sembilan (9) sistem nilai adat Gayo yakni Mukemel (Harga Diri), Tertib (Tertib), Setie (Setia), Gemasih (sayang), Mutentu (Kerja Keras), Amanah (Amanah), Mufakat (Musyawarah), Alang Tulung (tolong-menolong), dan Bersikekemelen (kompetitif). Nilai-nilai ini semestinya terintegrasi atau terinkorporasi pada sistem kerja pemerintahan yang berada di Gayo, dalam hal ini pemerintahan Aceh Tengah. Begitu juga dalam prosesi Adat, nilai ini seharusnya mampu menginternalisasi pada jiwa kepala daerah yang dalam bahasa Gayo disebut sebagai Ulu Rintah.

Penulis sangat setuju dengan 9 nilai yang diterangkan. karena 9 nilai ini terintegrasi pada jiwa dan menjadi standar norma pada hampir semua Agama dan Budaya. Maka sulit dibayangkan, jika peristiwa tidak harmonisnya Bupati dan Wakilnya akan terjadi dan berkepenjangan, Jika mereka memahami secara baik 9 nilai tersebut. 9 nilai ini merupakan hakikat yang memuliakan dan mendiskripsikan secara utuh perilaku manusia bahkan pemimpin. Saling keterkaitan antara satu nilai dengan nilai lainnya akan menguatkan dan dapat membentengi dari emosionalitas sebagai Ulu Rintah.

Sebagai Ulu Rintah, sebaiknya dapat menanamkan 9 nilai tersebut pada diri dan jiwa sendiri. Bahkan jika mampu dapat mengembangkannya pada sistem norma yang dibangun secara apik dan dapat diaplikasikan oleh semua aparatur pemerintahan di Aceh Tengah. Tentu ini bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang sulit dan tidak bisa dilakukan.

Masyarakat akan menilai sejauhmana Ulu Rintah mampu bertanggungjawab pada nilai adat itu sendiri. Ketika Ulu Rintah mengabaikan satu bahkan lebih dari nilai yang disebutkan diatas, maka prosesi adat dalam bentuk apapun yang dilalui, akan sulit memberikan efektifitas pada penerapan sistem adat itu sendiri.

Kiranya dari narasi singkat ini, kita semua masyarakat Gayo yang ada di Aceh Tengah berharap pada Kepala Daerah agar kemudian menyadari pentingnya penerapan 9 nilai. Karena itu merupakan landasan filosofis dan spiritual dari kegiatan prosesi Adat Gayo. Dampak dari prosesi adat Gayo apapun bentuknya adalah mampu mengaplikasikan 9 nilai dalam kehidupan sehari-hari. Apakah bisa dikatakan Wakil Bupati langgar prosesi adat sehingga berujung pada pelaporan? Tentu ini pertanyaan harus dikembangkan dan dijawab secara keilmuan dan kedahsyatan berfikir.

*Penulis adalah Penasehat JangKo

Comments

comments