by

Bersama, Selamatkan Bahasa Gayo

Jakarta | Lintas Gayo : Bahasa adalah identitas penuturnya (suku). Namun, bagaimana kalau bahasa yang dituturkan punah? Kondisi ini sempat terjadi pada beberapa bahasa daerah di Indonesia. Khususnya, bahasa minoritas yang penuturnya cukup terbatas. Kondisi itu semakin mendekatkan ambang kepunahan bahasa.

Bahasa Gayo, salah satu bahasa daerah di Aceh dikhawatirkan mengalami hal yang sama. Dewasa ini, masyarakat Gayo, sebagai kunci pemertahanan bahasa sudah mulai “meninggalkan” bahasa Gayo. Di sini lain, dominasi bahasa Indonesia pun semakin menggejala di tanoh Gayo (Takengon, Kotacane, Gayo Lues, Bener Meriah, Lokop, dan Kalul). Dimintai tanggapannya, Yusradi Usman al-Gayoni, salah satu pemerhati bahasa, sejarah, dan budaya Gayo menyebutkan, perlu upaya ril bersama untuk menyelamatkan bahasa Gayo.

“Saya lihat, sejak tahun 2000, kesadaran kegayoan sudah mulai tumbuh. Termasuk, soal bahasa, sastra, sejarah, dan budaya. Bahkan, tahun 2009, sempat dijadikan tahun kebangkitan orang Gayo. Ini adalah hal yang positif,” ujar penggiat Ekolinguistik tersebut, Selasa (19/7) di Jakarta. Sukurnya lagi, lanjutnya, saat ini, masyarakat Gayo sedunia seperti disatukan dalam Komunitas Peduli Gayo (I Love Gayo). Di sisi lain, situs berita Lintas Gayo pun cukup up date dalam pemberitaannya yang didukung dengan tingginya animo menulis sejumlah tokoh Gayo dari sejumlah latar belakang ilmu pengetahuan.

Untuk itu, jelas Koordinator Divisi Budaya Forum Penyelamatan Lut Tawar ini, perlu lebih memperbanyak lagi kajian, penelitian, publikasi, dan pendokumentasian terkait Gayo. Juga, menjadikan bahasa Gayo sebagai salah satu muatan lokal di Gayo. Di sisi lain, Pengurus Musara Gayo Jabodetabek 2010-2013 telah pula memasukan “Workshop Bahasa Gayo” sebagai salah satu Program Kerja di Bidang Pendidikan. Diharapkan, para linguis serta pemerhati/penggiat bahasa, adat, sastra, sejarah, dan budaya, tambah pihak-pihak terkait bisa duduk bersama untuk merumuskan materi muatan lokal tersebut, terang salah satu pengurus Musara Gayo tersebut.

Soal dokumentasi, Yusradi mengajak masyarakat Gayo untuk turut berpartisifasi, terlebih di pendanaan. “Belakangan, kendala kita lebih di finansial,” aku Yusradi. Kalau memadai, lanjutnya, buku-buku Gayo lebih banyak lagi diterbitkan dan dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Gayo. “Kalau bahan penulisan, saya kira sudah memadai,” tutur pengoleksi buku-buku Gayo tersebut (sementara 89 buku)

Kalau mau dan orang Gayo lainnya ikut andil—dalam bentuk finansional—, lanjutnya, untuk jangka pendek, Kamus Istilah Tutur, Kamus Gayo Bergambar (flora, fauna, kulier, dan lain-lain) bisa dibuat. “Secara teknis, saya akan berkerjasama dengan Komunitas Fotografer Gayo (Gayo Photography Community) dan Komunitas Peduli Gayo (I Love Gayo) dalam pengambilan foto, penyusunan, dan penggalangan dana dimaksud. Kamus tersebut nantinya akan dilengkapi dengan simbol fonetik. Sehingga, penggunanya bisa melafalkan istilah Gayo [seperti gulè (ikan) dengan gulé (gula)] dengan benar” terang Yusradi yang sejak tahun 2008 sudah me-listing sejumlah 6773 entri (sementara) untuk penyusunan Kamus Gayo-Indonesia.

Secara terpisah, Khalisuddin yang berdomisili di Takengon, bersama anggota Komunitas Fotografer Gayo lainnya menyatakan, siap membantu dan terlibat langsung. Termasuk, dalam aksi penggalangan dana melalui laman Lintas Gayo dan Komunitas Peduli Gayo (I Love Gayo). “Kami akan melaporkan setiap pendanaan yang masuk dan keluar secara transfaran dan rutin melalui Lintas Gayo,” tegas penggiat olah raga dan lingkungan di Takengon ini.

Bagi masyarakat Gayo yang mau terlibat dalam kegiatan bersama untuk menyelamatkan bahasa Gayo (dan pendokumentasian lainnya), dapat mengkonfirmasinya melalui email lintasgayo@yahoo.com,” ajak Khalis. Kalau orang Gayo bisa besitulung-tempuhen. Pastinya, pekerjaan apa pun dan perubahan ke arah yang lebih baik di Gayo akan mudah diwujudkan, harapnya lagi. (Win Kin Tawar)

Comments

comments