Kekeberen merupakan bahasa Gayô yang berarti berita-berita atau cerita turun menurun, sama halnya dengan hikayat Pase atau Hikayat Aceh. Perbedaannya hanyalah orang Gayô lebih suka menggunakan metode ini kepada anak cucunya untuk mengingatkan sejarah dari masa lalu mereka, berbentuk lisan.
Kekeberen ini berasal wawancara dengan Tengku Ilye Lebee, yang juga bila didengarkan ucapan dari Beliau mengambil bahan dari A. Djamil seorang Sejarawan Gayô dan Acih.
Dalam cerita ini ada cerita yang sedikit mistis akan tetapi ini lebih merupakan kepada sebuah perumpamaan. Seperti ketika mereka berubah dikutuk menjadi batu, maka ini bisa jadi merupakan perumpaan adanya sebuah pertikaian yang menyebabkan terjadi saling bunuh. Oleh karena itu, sebenarnya terdapat kebenaran disitu.
Dalam kekeberen ini diceritakan 2 Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô yaitu Kerajaan Lingë dan Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri pada abad ke 10, sedangkan Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya Kerajaan Pérlak (abad ke 8 s.d. 12 M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13, sedangkan masa kejatuhannya pada abad 12 M atau 13 M)
Asal Mula Kata Gayô
Ketika akhirnya diketemukan Merah Mege pada saat itu di Luyang datu terucap kata-kata Sansekerta yaitu Dirgahayu, kemudian dilafazkan menjadi DirGayô = Sehat Walafiat, ini semua terucap karena Mérah Mégé berhasil selamat walau sudah lama di Loyang Datu tadi.
Atau ada lagi yang mengisahkan bahwa kata-kata Gayô berasal dari sebutan sebuah daerah yang penuh dengan gerep (Kepiting). Sewaktu masyarakat membawa-bawa Depik mereka selalu mengatakan akan ke Gayô, berjangkat ke Isak, owak, Blang Kéjérn. Bertemu dengan orang Rikit, saya dari Pegayôn. Begitu juga ketika Kuté Bélang masih belum diketemukan, didapat akhirnya dibelakang kampung toran, ada satu paya (payau) yang hidup gerep (kepiting), dalam bahasa Gayô sedangkan bahasa Karônya Gayô. Waktu itu ada sebuah budaya bahwa sebutan Gayô penting buat Karô, begitu pula sebaliknya. Seperti jug sebutan untuk orang Karô bahwa di kuté panyang (Kuté panjang) ada pertempuran antara orang Gayô dan Karô karena tidak mau masuk kedalam Islam. Karena lari maka disebut dengan Karô, yang berarti Kejar atau buru dalam Basa Gayô.
Ada sejarah Aceh, bahwa orang Gayô berasal dari Kayô atau mutérih, takut masuk ke agama Islam, maka lari ke gunung. Ini tidak benar, karena yang pertama kali Islam adalah orang Gayô. Sedangkan yang tidak masuk Islam ada kemungkinan ada sebuauh nama yang bernama marga Ginting Pasé terasing dan tidak ada hubungan dengan yang lain. Ada kemungkinan ini adalah ini berasal dari keturunan Lingë.
Kerajaan Lingë
Kerajaan Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau Turki, asal kata Lingë berasal dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé yang artinya suara yang terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam bernama Réjé Genali atau Tengku Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam bahasa Acih) atau Tengku Kik Bétul (pancing yang lurus dalam Bahasa Gayô).
Agama Islam yang dianut bisa dililhat dari bendera Kerajaan Lingë tersebut, dimana ada Syahadat di atas benderanya dan di bawahnya bernama 4 sahabat nabi, sedangkan warnanya belum diketahui karena sudah kusam, antara merah dan putih (bendera ini masih bisa dilihat dan disimpan di daerah Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja Lingë yang pergi ke Karô).
Raja Lingë mempunyai 4 anak, 3 laki-laki dan satu perempuan. seorang perempuan bernama Datu Beru, dan ketiga anak laki-lakinya bernama Djohan Syah, Ali Syah dan Malam Syah.
Ketika besar khusus anak laki-lakinya akan disunat seperti halnya ajaran Islam, anak yang ke-3 bernama Ali Syah tidak bisa disunat karena kemaluannya tidak dimakan pisau. Hal ini tentu saja membuat malu. Hal ini menyebabkan ia meminta ijin kepada Raja Lingë untuk pergi ke daerah Karô.
Walau pada mulanya Raja tidak mengijinkan namun akhirnya dengan berat hati sebelum kepergian mereka dibagikan pusaka untuk anak laki-lakinya yaitu Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak Mujangut, Mérnu dan élém (Bendera Pusaka). Sedangkan Datu Béru memegang kunci khajanah Kerajaan Lingë.
Ali Syah, anak ke-3 Raja Lingë I
Ali Syah bersama rombongan berangkat menuju Karô menuju daerah yang disebut Blang Munté. Pada daerah tersebut Ali Syah bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti dan menetapkan bahwa tempat itu sebagai tempat ia terakhir bersama rombongan.
Tinggallah Ali Syah seorang diri selama berbulan-bulan tinggal disitu, dalam sebuah kesempatan ketika kemudian mencari ikan di Uih Kul Renul, bertemu dengan gadis dan bujang sedang menyekot (mencari ika) yang kemdian diketahui berasal dari negeri Pak-Pak. kemudian menjadi teman dan bergaul, akhirnya menikah dengan beberu pak-pak tersebut sampai berketurunan. Ali Syah pun akhirnya belajar bahasa dan hidup disana.
Terdapat sebuah kisah yang menarik yaitu ketika suatu saat Bélah dari Ali Syah yang sudah tua tersebut akan pergi bersawah yang sebelumnya diadakan kenduri (dinamai kenduri Mergang merdem). Acara kenduri tersebut diadakan agak jauh dari tempat Ali Syah tinggal sehingga keturunannya atau cucunya ditugaskan untuk memberikan nasi beserta ikan kepadanya. Ternyata ketika sampai di sana didapatinya ikannya hanya tinggal tulang belulang saja karena telah dihabisi oleh anak cucunya, mendengar ini ia amat murka dan mengutuk semua (kélém-lémén) anak cucu keturunannya menjadi batu semua, semua nya masih bisa dilihat buktinya disana di Blang Munté perbatasan Karô dan Alas.
Namun, ternyata ada yang lolos dari kutukkannya seorang aman mayak (pengantin Pria), inén mayak (Pengantin Wanita) yang sedang hamil dan satu lagi adiknnya inén mayak tersebut. Melihat tersebut Aman Mayak pergi meninggalkan daerah tersebut untuk menceritakan hal ini kepada Raja Lingë. Mendengar hal tersebut segera dikirimkan rombongan kesana untuk mencari tahu atau menguburkan bila ada yang meninggal.
Setelah lantas diketemukan pohon kelapa yang menandakan ada kampông, yang disebut dengan Kampung Bakal, mereka ingin kesana karena lapar. Saat itu di pinggir sungai tersebut terlihat Giôngén (Kijang) yang sedang minum, mereka mecoba menangkap Giôngén tersebut untuk kemudian membantu mereka berdua melewati sungai tersebut. Dalam suatu ketika mereka hampir terlepas dari pegangan kepada Giôngen tersebut, sehingga Inen Mayak yang sedang mengandung tersebut mengucapkan dalam bahasa Karô ‘ngadi ko lao’, atau ‘berhentilah kau air’, sehingga sampai sekarang ada pusaran air disana. Dan karena ada kejadian inilah orang-orang Gayô disana dilarang memakan daging Giôngén.
Sesampai diseberang sungai Inén Mayak tersebut melahirkan, karena kelelahan iya dibawa arus air sungai (Wih Kul) tersebut. Sedangkan anaknya diselamatkan oleh adiknya di pinggir sungai. Pada saat anak tersebut kehausan datanglah seekor Kerbau atau Kôrô Jégéd, yang kemudian adiknya membiarkan anak kakaknya untuk menyusu terhadap kerbau tersebut.
Akhirnya mereka berdua ditangkap oleh orang kampông tersebut, saat itu mereka sedang mencari Kôrô jégéd (Kerbau berwarna putih Krim) punya Raja yang hilang. Ketika menemukan kerbaunya sedang menyusui seorang anak manusia maka orang-orang Kampung tersebut menganggap bahwa Kerbau keramat tersebut telah melahirkan.
Mereka lantas melaporkan kepada Raja Bakal, lantas oleh Sang Raja anak tersebut dianggp sebagai penerusnya, karena ia sampi saat itu tidak mempunyai seorang anakpun. Adik dari Inen Mayak tersebut di tahan sekaligus memelihara anak kakaknya yang sudah tiada.
Dalam keadaan tersebut sampai rombongan Réjé Lingë. Ketika sampai di kampungnya Aman Mayak mereka sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi, maka mereka pun berusaha mencari istri dan adik istri dari Aman Mayak tersebut.
Mereka pun akhirnya sampai di perkampungan Bakal tersebut, lantas merekapun mendengar berita tentang keganjilan-keganjilan yang terjadi saat itu. Mereka memutuskan untuk dapat menunggu lebih lama untuk mencari informasi. Sampai akhirnya bertemu dengan adik dari istrinya dan bercerita tentang desas-desus tersebut serta kebenaran bahwa sesungguhnya anak dari anak Kôrô jégéd sebagai anak Aman Mayak atau keturunan Raja Lingë.
Mengetahui hal tersebut rombongan dari Lingë menghadap Réjé Bakal, menyampaikan tujuan ke kampông di sini, kemudian menceritakan bahwa anaknya Kôrô Jégéd itu adalah anaknya atau cucunya Réjé Lingë, bahkan mengatakan ada saksi dari adiknnya istrinya. Untuk mengambil keputusan maka diambil keputusan akan ada perkelahian antara Pang untuk bersitengkahan (bacok-bacokan). Pang Sikucil, dan Pang Réjé Bakal bertengkah, panglima Réjé Bakal selalu bergeser bila ditengkah. Sedangakan Pang Sikucil dari Lingë tidak bergeser sedikit pun. Zaman terebut setelah bertengkah maka bersesebutan antara Réjé Bakal dan Réjé Lingë. Akhirnya anaknya ditinggal di Kerajaan Bakal tersebut dengan syarat nama Lingë tersebut jangan ditinggalkan, pagi hari pelaksanaannya. Dukun Kul (Paranormal Hebat), mengeturunkan si Bayak Lingë Karô. Inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara Réjé Lingë Di Gayô dan Réjé Lingë (Lingga) di Karô.
Djohan Syah, Anak ke 2 Réjé Lingë
Sepeninggal adiknya Djohan Syah juga ingin pergi mengaji ke Pérlak,Weh Ben, atau Bayeun (dalam bahasa Aceh) di Kuala Simpang. Ingin belajar kepada Tengku Abdullah Kan’an dari Arab, seorang Tengku yang terkenal. Cukup lama Djohan Syah menuntut ilmu hingga mencapai gelar Mualim.
Ketika jumlah muridnya cukup 300 orang muridnya Ia menanyakankepada murid-muridnya bahwa ia berencana akan mencoba mengembangkan Agama Islam ke Kuté Réjé, yang pada waktu itu masih belum Islam.
Ketika rombongan Tengku tersebut sampai di sana Kutéréjé sedang dalam peperangan antara Raja-Raja Besar yang ada dengan utusan dari Nan King atau China yang bernama Nian Niu Lingkë , Pétroneng. Namun kekuatan dari Puteri Cina tersebut tidak terlawan karena ada ilmu sihir, sehingga banyak Raja yang berhasil dikuasai dan takluk kepada mereka, sampai akhirnya sampai kesebuah Kerajaan di Langkrak Sibreh.
Ketika tiba rombongan tersebut ke daerah tersebut Tengku menawarkan bantuannya kepada ke Réjé Lamkrak dengan syarat mereka diberikan tempat khusus serta meminta syahadat dari Raja Langkrak. Dengan alasan tersebut akhirnya masuk Islam Raja Langkra.
Setelah itu akhirnya ia melihat siapa yang akan diangkat menjadi Panglima Perang, satu per satu dilihat hingga akhirnya sampai kepada Djohan Syah, yang akhirnya menjadi Panglima Perang saat itu. Lantas diberi bekal oleh Tengku bekalnya, juga kepada semua murid-muridnya untuk berperang.
Ke 300 orang ini kelak disebut sebagai marga Suke Leretuh atau suku 300, asal mulanya dari salah satu Bangsa Aceh ini.
Setelah itu Djohan Syah memimpin peperangan dengan berbekalkan ilmu Al quran sehingga akhirnya Puteri dari Cina tersebtu akhirnya berhasil dikalahkan, Ratu Petromenk kalah, sehingga ia mundur pada basis pertahannya terakhir di Lingkë.
Melihat hal tersebut Djohan Syah merubah strateginya dalam memenangkan peperangan dengan memblockade saja benteng terakhir ini, hingga Putri Neng meminta damai. Dalam perjanjian damainya Tengku Abdullah megatakan mau berdamai dengan syarat Putri Neng mengucapkan syahadat.
Putri Neng mengatakan sanggup akan tetapi dilakukan secara rahasia. Akhirnya di tengah laut mereka berdamai, ntah kenapa setelah pedamaian terjadi dan sudah memandikan Puteri Cina tersebut Tengku menangis, ia merasa belum sempurna perdamaian sebelum dilangsungkan pernikahan antara Djohan Syah dengan Putri Neng. Lalu dinikahkan Keduanya Oleh Tengku Kan’an.
Kemenangan tersebut megah sampai dengan kerajaan Melayu manapun sehingga diangkat menjadi Sultan Aceh yang pertama bergelar Djohan Syah. Sehingga Raja-raja yang bergabung disana mengangkat menjadi Raja Kutéréjé I Djohan Syah, dan menjadikan Agama Islam berkembang dengan pesat disana.
Malam Syah dan Datu Beru tetap bersama Raja Lingë I, Malim Syah akan meneruskan Pemerintahan Kerajaan Lingë sedangkan Datu Beru akan menjadi pemegang kunci rahasia Kerajaan Lingë.
Kerajaan Malik Ishaq
Islam pertama kali datang dari Ghujarat dan Arab yang singgah di Perlak, sehingga menjadi salah satu Kerjaan Islam di Pesisir Utara Sumatera.
Sewaktu terjadi perangan Kerajaan Perlak dengan Sriwijaya dari Palembang sampai 20 tahun. Sultan Malik Ishaq waktu itu ia menyuruh mengungsikan perempuan dan anak-anak, ada suatu negeri yang ada Kuté-kuté yang akhirnya bernama dengan Ishaq, daerah Ishaq sekarang.
Anak Malik Ishaq adalah Malik Ibrahim, anaknya kemudian adalah lantas Muyang Mersah. Kuburannya sampai sekarang tempatnya masih ada akan tetapi tidak bisa diketahui lagi kuburannya karena sudah diratakan dengan tanah, namun telaga muyang mérsah masih ada.
Muyang Mérsah menpunyai 7 orang anaknya yaitu Mérah Bacang, Mérah Jérnah, Mérah Bacam, Mérah Pupuk, Mérah Putih, Mérah Itém, Mérah Silu dan yang bungsu Mérah Mégé. Namun Mérah Mégé adalah anak kesayangan dari kedua orang tuanya yang kerap kali membuat iri dari adik-adiknya, sehingga mereka merencanakan akan membunuhnya.
Kesempatan itu datang pada saat merayakan Maulid Nabi di Ishaq maka pihak perempuannya menyiapkan kreres (lemang) sedangkan laki-lakinya mungarô (berburu) untuk lauk dari kreres tersebut. Akhirnya si bengsu diajak ngarô untuk kemudian dibunuh, namun kakak-kakaknya ternyat tidak sampai hati membunuh adiknya tersebut sehingga hanya dimasukkan ke Loyang datu. Mengetahui bahwa anak bungsunya hilang membuat marah orang tuanya.
Ketika Mérah Mégé ada di Loyang Datu ia ternyata mendapatkan makanan dari anjingnya yang bernama ‘Pase’. Melihat tuannya dimasukkan kedalam lubang oleh abang-abangnya anjing tesebut kemudian selalu mencarikan makanan untuk Mérah Mégé. Bahkan makanan yang diberikan kepadanya. Dibawanya ke Loyang Datu untuk kemudian diberikan kepada Mérah Mégé.
Keanehan atau keganjilan dari Pase ini tentunya akhirnya mendapat perhatian dari Muyang Mérsah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk dapat mengikuti anjing tesebut dengan berbagai upaya, yaitu ketika memberikan makanan kepada anjing tersebut ia juga menaruh dedak sehingga kemanapun anjing tersebut akan meninggalkan jejaknya. Hingga akhirnya diketemukan Mérah Mégé tersebut. Yang kemudian dirayakan dengan besar-besaran oleh Muyang Bersah.
Kemudian Mérah Mégé menjagai pusaka, dan keturunannya tersebar diseluruh Aceh, Meulaboh, Aceh Selatan daerah Kluet, seluruh perairan diseluruh Aceh, didahului dengan nama Mérah.
Keenam Anak Muyang Mérsah
Keenam Saudara Mérah Mégé akhirnyua lari, pertama kali lari ke Ishaq karena malu. Namun begitu diketahui Raja dan kemudian akan disusul mereka lari kembali ke Tukél kemudian membuka daerah yang bernama Jagong, dikejar kembali sampai akhirnya ke Sérbé Jadi (Serbajadi Sekarang). Dikejar terus anaknya, karena rasa sayang, setelah rasa marahnya Raja tersebut hilang. Namun mereka sudah amat malu kepada ayahnya akhirnya mereka sepakat untuk berpisah dengan catatan akan menyebarkan Agama Islam pada daerah yang akan ditempatinya.
Mérah Bacang, si sulung, pergi ke batak untuk mengembangkan Islam ke daerah Barus, Tapanuli.
Yang ke-2 Mérah Jérnang ke Kala Lawé, Meulaboh.
Yang ke-3 Mérah Pupuk Mengembangkan agama Islam ke Lamno Déyé antara Meulaboh dan Kutéréjé.
Yang ke- 4 dan 5 Mérah Pôtéh Dan Mérah Itém di Bélacan, di Mérah Dua (sekarang Meureudu) masih ada kuburannya.
Yang ke-6 Mérah Silu ke Gunung Sinabung, Blang Kéjérén
Mérah Sinabung
Mérah Silu mempunyai seorang anak yang bernama Mérah Sinabung (Dalam bahasa Gayô Mérah Sinôbông). Mérah Sinambung ternyata lebih berwatak sebagai Panglima, sehingga hoby adalah mengembara. Sampai ia berada pada suatu daerah yang sedang berperang. Perang yang terjadi antaran Kerajaan Jémpa dan Samalanga. Kerajaan Jémpa waktu itu sudah beragama Islam, hingga akhirnya ia menawarkan bantuan kepada Raja Jempa tersebut dan berhasil memenangkan peperangan dengan Kerajaan Samalanga. Jasa baiknya tersebut akhirnya membuat Raja Jémpa menikahkan putrinya kepada Mérah Sinabung.,
Keduanya mempunya 2 orang anak yang bernama Malik Ahmad dan Mérah Silu. Setelah Mérah Sinabung wafat maka naiklah Malik Ahmad menjadi Raja Jempa, akan tetapi ada syak wasangka terhadapa Mérah Silu, karena ia lebih berbakat dan lebih alim serta lebih dicintai rakyatnya maka timbul kecemburuan yang terjadi.
Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan maka Mérah Silu akhirnya pergi ke daerah Arun, Blang Sukun, untuk menghabiskan waktunya ia bekerja sebagai pande emas, besi dan barang logam lainnya sedangkan malamnya ia mengajar mengaji.
Lama kelamaan orang sekitar menjadi mengenal Mérah Silu sebagai Mualim, tokoh masyarakat, akhirnya menjadi Réjé di Lhoksmawé. Sehingga kemudian ia diangkat menjadi Sultan Pase pertama atau disebut dengan Sultan Malikus Saleh. Sebutan daerahnya Pase merupakan sebutan yang diambil dari nama anjing yang telah menyelahamatkan Datunya, Mérah Mégé.
Réjé Lingë ke XII
Sultan Aceh , Sultan Ali Mugayat Syah Al Kahar, yang mengembangkan Aceh Darussalam. Aceh sewaktu Iskandar Muda sudah matang menjadi satu pada zaman Réjé Lingë yang ke 12 tersebut, memimpin peperangan untuk berperang dengan Malaka.
Ketika akan menyerang Portugis membantu Kerjaan Johor dengan Perahu Cakra Donya, maka yang memimpin peperangan tersebut adalah Raja Lingë ke XII. Dengan berbagai upayanya ia berhasil mengalahkan Portugis. Sebagai rasa terimakasih ia dikawinkan dengan anak Raja Johor dan mempunyai anak yang bernama Bénér Mériah (Bénér Mérié dalam bahasa Gayô) dan Séngëda.
Dalam perjalanan pulang ia sakit perut dan akhirnya meninggal di Pulau Lingga, ia dimakamkan disitu, dan banyak orang Melayu tiap tahun berziarah ke makamnya, dan makamnya sudah dibuat dengan bagus.
Istri ke-2 dari Raja Lingë ke XII bersama kedua anaknya meneruskan perjalanan dan menetap di Kutéréjé pada salah satu messnya untuk Janda Raja Aceh dan anak-anaknya.
Ketika mereka besar mereka menginginkan pergi ke asal Ayah mereka, namun berkenaan dengan adanya pertemuan tahunan antara Raja-raja di Aceh di Kuté Réjé (Banda Aceh sekarang), maka ibunya menyaramkan untuk bersabar karena akan ada rombongan Réjé Lingë ke XIII (anak Raja Lingë ke Xll, dari istri pertama) ke sini dan mereka bisa ikut pulang ke Lingë bersama rombongan.
Selama sebulan dalam perjalanan. Sampai ke Lingë menghadap, ketika melihat Cincin dan Rencong bertuliskan Réjé Lingë pada anak-anak Réjé Lingë 12, Bénér Mériah dan Séngëda. Réjé Lingë Xll dengki, dan menuduh kalo Ayahnya Raja Lingë XlI diracuni oleh Bénér Mérié dan Séngëda, dan Raja Lingë Xlll tidak tahu kalau mereka adalah saudaranya sekandung seayah. lantas menugaskan kepada PM-nya Cik Serule, Syekh Réjé Juddin, diperintahkan untuk membunuh Séngëda. Akhirnya mengetahui akan dibunuh Oleh Réjé Lingë XlIl Bénér Mérié Oleh Réjé Lingë XlIl berangguk-angguk menangis. Cik Sérulé tidak sampai hati membunuh Séngéda, diganti darahnya menjadi darah kucing, seolah-olah telah dibunuh, sehingga ada daerah yang bernama daerah Tanom Kucing.
Séngëda ingin bertemu dengan Ibunya, maka di perjelek wajanya sehingga tidak dikenal untuk ikut dengan rombongan Réjé Lingë ke XIII. Diistana ada satu kamar yang bernama Balé Gadéng, disitu Séngëda menggambar Gajah Putih, melihat gambar tersebut seorang Putri Aceh melihat ada Gajah Putih kemudian meminta kepada ayahnya, Sultan Acih dan Sultan Aceih segera memerintahkan pencarian Gajah Putih tersebut dengan hadiah barang siapa yang berhasil mendapatkannya akan mendapatkan pangkat.
Kemudian rombongan Réjé Lingë ke XIII kembali ke Gayo. Sesampai di Gayo Sengeda ke kuburan Abangnya Bener Meriah, untuk kemudian menceritakan apa yang menjadi persoalannya selayaknya seorang adaik yang mengadu kepada Abangnya. Akhirnya dengan seijin Allah SWT diketemukan Gajah Putih oleh Sengeda, kIemudian dicoba untuk dapat ditaklukkannya.
Ketika Réjé Lingë ke XIII mendengarkan hal tersebut lantas memerintahkan kepada Perdana Menetrinya yang berasal dari Serule agar Sengeda memberikan Gajah tersebut kepadanya. Sesampai di kediaman Réjé Lingë ke XIII Gajah Putih tersebut sepertinya tidak suka didekati oleh Reje hingga menyemprtokan air ke tubuhnya yang menyebabkan ia menjadi basah kuyup.
Akhirnya dibawalah Gajah Putih tersebut ke kutéréjé, asal sebutan Timang Gajah, ketika Gajah kabur dari rombongan. Begitu juga dengan Sigeli, ketika Gajah Putih tidak mau beranjak dari tempatnya. Baru sampai ke Kutéréjé. Kemudian diarak-arak Gajah Putih tersebut di keliling Kutereje tersebut. Keadaan Kutereje pada waktu itu sudah begitu pada dengan manusia sehingga Gajah Putih tersebut menjadi tontonan mereka dengan suka cita, Pada saat itu memang banyak penduduknya disana jutaan. Kemudian diserahkan ke Istana Darul Dunia.
Lantas Gajah Putih tersebut di bawa ke Kediaman Sultan yang bernama Darul Dunia. Ketika sampai di kediaman Sultan kembali Gajah Putih menjadi marah, kembali menyeburkan air kepada Sultan. Melihat hal ini kemudian Sultan memanggil orang yan bisa menjinakkannya, sehingga hanya Séngëda yang berhasil menjinakkannya.
Kemudian Sultan bertanya kepada rombongan Réjé Lingë ke XII siapa kiranya anak tersebut, Reje Linge sudah barang tentu tidak mengetahuinya hingga Perdana Menteri dari Réjé Linge tersebut akhirnya mengatakan kepada Sultan siapa Sengeda tersebut.
Akhirnya terbongkarlah kejahatan dari Réjé Lingë ke XII, sehingga sidang dibuka untuk mengadili kejahatan Réjé Lingë ke XIII yang telah membunuh Bener Meriah. Darin keputusan Qadhi Al malikul Adil Réjé Lingë ke XIII dijatuhi hukum qishas.
Ketika mendengar hal tersebut Datu Beru yang pada waktu itu menjadi satu-satunya penasehat dari Sultan mengatakan keberatan dengan keputusan tersebut, dengan alasan bahwa hukum qishas dapat dilakukan apabila kepada korban sudah dimintakan atau ditawarkan dengan hukum diyat (hukum ganti rugi) terlebih dahulu.
Yang menarik adalah bahwa sebelumnya Datu Beru telah menemui Ibu dari Sengeda untuk mengutarakan maksud hatinya bagai perdamaian, yaitu mengampuni Réjé Linge ke 13 untuk kemudian Sengeda menjadi penggantinya.
Sudah barang tentu dengan berbagai pertimbangan akhirnya Sengeda menerima diyat tersebut dan pulang ke Tanoh Gayo untuk menjadi Reje Linge ke 13. (kos/ariga/uwn).
Ilustrasi Bendera Kerajaan Linge
Inilé Elem/Bendera si pemulo muképak-képak i Buntul Lingë
Warnaé gërë néh terasi aku, karna ngé tué, apakah wé potéh atau pé kônéng, itepi atas bertulén Lailahailallah, itepi toyoh bertolésën geral sahabat si opat: Abu bakar siddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib” kene Tengku Ilyas Lébé.”
Klik disini untuk medengarkan Kekeberen yang disampaikan oleh Tengku Ilyas Lébé