
Oleh: Agus Muliara*
Wacana pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) tak pernah benar-benar mati, namun sering layu di terpa angin perjuangan. Tapi mari jujur, dalam realitas politik dan hukum saat ini, memperjuangkan pemekaran daerah pemilihan (dapil) DPR RI untuk wilayah Gayo-Alas jauh lebih masuk akal ketimbang terus menggantungkan harapan pada provinsi baru yang masih samar.
Secara hukum, peluang membentuk daerah otonom baru seperti provinsi ALA terhambat. Pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah membekukan sementara Daerah Otonom Baru (DOB). Alasan utamanya: efisiensi anggaran dan stabilitas nasional. Jadi, meskipun semangat ALA tetap ada, secara konstitusional perjuangan ini tengah menemui tembok tebal, jalurnya sedang tidak terbuka.
Di sisi lain, pemekaran dapil justru lebih memungkinkan. Revisi Undang-Undang Pemilu yang mengatur tentang jumlah dan pembagian dapil adalah ruang politik yang lebih fleksibel dan terbuka untuk diperjuangkan melalui advokasi, lobi, koalisi, dan dorongan dari daerah, peluang ini semestinya bisa dimanfaatkan oleh para elite politik dan tokoh masyarakat dari wilayah dataran tinggi Aceh, ini langkah yang lebih legalistik dan realistis.
Dari sisi sosial-politik, pemekaran dapil akan meningkatkan representasi masyarakat Gayo-Alas (Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara) di tingkat nasional.
Saat ini, keempat kabupaten tersebut masih tergabung dalam satu dapil besar bersama wilayah pantai timur dan barat Aceh yang sangat berbeda secara kultural dan geografis. Aspirasi masyarakat dataran tinggi seringkali tenggelam dalam dominasi suara dari wilayah pesisir.
Bayangkan jika dapil Gayo-Alas berdiri sendiri. Figur-figur lokal akan lebih berpeluang terpilih dan bisa menyuarakan langsung kepentingan masyarakat dataran tinggi di Senayan bukan sekadar menjadi “penggembira” dalam kontestasi politik yang tak setara.
Kita bisa bercontoh kepada daerah Papua yang sukses dalam penyesuaian dapil. Pemerintah dan DPR pernah melakukan penyesuaian dapil seiring pemekaran wilayah administratif dan kekhususan Papua, yang memungkinkan keterwakilan yang lebih adil bagi kelompok adat dan wilayah terisolasi.
Daerah lain juga seperti Kalimantan Utara, provinsi termuda di Indonesia, revisi dapil juga dilakukan untuk memastikan daerah baru tersebut memiliki representasi proporsional di DPR RI, meskipun jumlah penduduknya relatif kecil.
Langkah serupa sangat mungkin diterapkan di wilayah tengah Aceh. Dengan pendekatan politik yang cerdas dan argumentasi yang solid, peluang pemekaran dapil bisa diperjuangkan melalui jalur legislasi nasional tanpa harus menabrak moratorium daerah otonom baru.
Lebih penting lagi, perjuangan dapil tidak menimbulkan ketegangan antarsuku atau potensi disintegrasi sosial-politik seperti halnya isu provinsi ALA. Ia lebih “adem”, tidak memecah wilayah administratif, dan tetap menjaga keutuhan Provinsi Aceh.
Sebagai mahasiswa hukum tata negara, saya melihat bahwa pemekaran dapil adalah solusi jangka menengah yang moderat, legal, dan strategis.
Ia dapat menjadi jembatan antara tuntutan representasi politik dan upaya pembangunan berkeadilan di wilayah tengah Aceh.
Keadilan tidak selalu harus lahir dari pembentukan provinsi baru. Kadang, ia datang lewat langkah-langkah cerdas yang mungkin terlihat sederhana namun bisa menjadi penawar, seperti memperjuangkan dapil sendiri untuk Gayo-Alas.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Bung Karno.