Aipda Candra Sugara, Bhabinkamtibmas yang Selalu Hadir untuk Warga Kecil

Doc. Kolase Foto Aipda Chandra Sugara saat membantu masyarakat. Ist

Redelong| Lintasgayo.com – Dua puluh tahun sudah Aipda Candra Sugara mengabdi di Korps Bhayangkara. Sebuah perjalanan panjang yang tak hanya dipenuhi laporan dan patroli, tetapi juga peluh, air mata, dan doa-doa tulus dari masyarakat yang merasakan sentuhan tangannya.

Sebelum bertugas sebagai Bhabinkamtibmas di Polsek Bandar, ia lebih dulu menempati bagian logistik dan Samapta Polres Bener Meriah, belajar tentang ketekunan, keikhlasan, dan ketangguhan.

Lahir di Kota Cane pada 11 Agustus 1986, Aipda Candra tumbuh dari keluarga sederhana yang mengajarkannya nilai keikhlasan. Ia adalah anak dari Alhuda dan Ibu Isnaini, yang sejak kecil menanamkan dalam dirinya bahwa hidup bukanlah tentang mengumpulkan untuk diri sendiri, melainkan tentang memberi tanpa batas.

Namun, tugas sejatinya ia temukan di tengah rakyat. Sebagai Bhabinkamtibmas di empat kampung. Bahgie Bertona, Ponok Ulung, Kala Nempan, dan Pakat Jeroh.

Ia hadir lebih dari sekadar aparat. Ia adalah tetangga yang peduli, saudara yang setia, sahabat yang tak pernah berpaling saat warga membutuhkan.

Sebagai polisi, Aipda Candra selalu berpenampilan rapi. Tubuhnya tegak gagah, mencerminkan disiplin seorang Bhayangkara. Namun dalam sikapnya, tak sedikit pun tampak kesombongan.

Ia menyapa setiap orang dengan senyum ramah, merendahkan hati kepada siapa saja, tanpa memandang kaya atau miskin, tua ataupun muda. Karena baginya, kehormatan sebagai polisi adalah menghormati rakyat yang dilayaninya.

Tak sedikit pula yang melihat bagaimana ia memperlakukan orang-orang dengan kebutuhan khusus, termasuk ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Di saat banyak orang menghindar, suami dari Mulyani Rahman ini justru mengulurkan tangan.

Ia sering mengajak mereka sekadar duduk bersama, makan, atau menikmati secangkir kopi hangat di warung sekitar tempatnya bertugas. Ia berbincang dengan mereka bukan dengan pandangan kasihan, tapi dengan penghormatan. Seolah berkata lewat sikapnya, bahwa setiap manusia, betapapun keadaannya, tetap berharga.

Dalam kesederhanaannya, ia kerap terlihat membagikan sembako, membantu warga difabel dengan kursi roda, dan memberikan perhatian kepada anak-anak yatim. Baginya, senyuman mereka yang ia bantu adalah penghargaan yang tak ternilai.

“Bagi saya, pengabdian tidak bisa diukur dengan angka atau materi. Kebahagiaan yang saya rasakan adalah saat melihat mereka merasa diperhatikan dan dihargai,” ungkapnya kepada lintasgayo.com dengan mata yang penuh haru disebuah warung kopi yang tepat berada di depan kantornya bertugas.

Tidak berhenti sampai di situ. Ia tahu, dalam misi kemanusiaan ini, ia tidak sanggup berjalan sendiri. Maka, ia menjalin jembatan-jembatan harapan. Dengan rendah hati, ayah dua anak ini sering memberikan informasi tentang keadaan di wilayah binaannya kepada wartawan kenalannya, tentang kondisi fakir miskin, anak yatim, dan warga berkebutuhan khusus.

Ia percaya, dari tangan-tangan para dermawan yang tersentuh berita itu, akan lahir bantuan dan uluran kasih yang lebih luas. Ia sadar, menolong sesama adalah tugas bersama, dan kekuatan kecilnya akan bermakna besar jika bergandengan dengan banyak hati.

Ia tidak hanya mengunjungi, tapi juga mendengar. Tidak hanya menasihati, tapi juga memeluk dengan ketulusan. Kadang, ia mengajak warga berkebutuhan khusus ke toko, membelikan baju baru dengan tangannya sendiri, memastikan mereka merasa dihargai dan disayangi.

Semua itu tak ia simpan sendiri. Lewat halaman media sosialnya, Alumni Diktuba Polri 2005 ini membagikan momen-momen kecil namun penuh makna itu kepada dunia. Ia percaya, dengan membagikan kebaikan, semangat berbagi akan menular, dan dunia akan sedikit lebih hangat.

Ia bukan ingin pamer jasa, tapi berharap menyalakan bara kecil di hati banyak orang, agar tak pernah lelah berbuat baik, sekecil apa pun itu.

Pada setiap postingan itu, Aipda Candra selalu menyematkan satu kalimat sederhana namun penuh makna.

“Humanisme dan ketulusan adalah napas kami.” Kalimat itu bukan sekadar slogan, melainkan cermin hidupnya. Nafas yang menghidupi setiap langkah, setiap Keputusan dan setiap pengorbanannya.

Di mata banyak orang, ia bukan polisi biasa. Ia berbeda. Ia adalah sosok “limited edition” yang hadir dengan ketulusan yang langka, mengabdi dengan hati yang tak semua orang mampu menandingi.

Dalam setiap derap langkahnya, ia menyelipkan satu doa yang tak pernah putus. Ia berharap setiap kebaikan yang ia lakukan menjadi amal jariah bagi almarhum ayahnya yang telah tiada dan pahalanya terus mengalir kepada ibunda tercinta yang telah menyapih dan mendidiknya sejak kecil. Baginya, pengabdian ini bukan hanya soal tugas duniawi, tetapi tentang mengukir pahala yang abadi.

Di sela-sela kesibukannya sebagai abdi negara, Aipda Candra memeluk impian yang sederhana namun dalam. Ia ingin menjadi contoh bagi kedua putranya.

Ia sadar, umur manusia adalah rahasia Tuhan. Tapi selama napas masih berhembus, ia ingin menanamkan teladan yang abadi, agar kelak, meski raganya tiada, anak-anaknya akan terus meneladani jejak kebaikan yang pernah ia tapaki sepanjang masa.

Dalam kehidupannya yang sederhana, Aipda Chandra tetap menjalani peran ganda. Sebagai suami dari Mulyani Rahman, S.E, dan ayah dari dua orang putra, yang juga ia ajarkan tentang arti kepedulian dan pengabdian.

Atas segala dedikasi itu, ia menerima berbagai penghargaan diantaranya dari Kapolres Bener Meriah, Bupati Bener Meriah, hingga Reje Kampung di desa-desa binaannya.

Tak hanya itu, pengabdian tanpa batasnya juga telah mengantarkannya untuk berangkat umrah, sebuah perjalanan suci yang diberikan Kapolda Aceh sebagai penghormatan atas ketulusan hatinya.

Namun, bagi Candra, penghargaan terbesar bukanlah medali, piagam, atau sekedar prestasi. “Penghargaan sejati adalah saat hidup kita berarti untuk orang lain, dan saat kebaikan yang kita tanam tumbuh menjadi cahaya bagi banyak hati.” Tutupnya dengan tersenyum.

Begitulah Aipda Candra Sugara. Dalam dua dekade pengabdian, ia telah membuktikan bahwa di tengah dunia yang terkadang keras dan gelap, selalu ada tempat untuk kasih, untuk harapan, dan untuk kebaikan yang tidak pernah menuntut balas. (Hermansyah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.