Pendidikan Karakter: Jangan Terburu-Buru Menilai Gagal

Arkiandi ( Foto : Doc)

Oleh: Arkiandi, ST, CGCAE *

Di tengah derasnya arus perubahan zaman dan tantangan moral yang makin kompleks, pendidikan tak bisa lagi hanya bertumpu pada angka dan prestasi akademik. Kita sedang bertaruh pada masa depan bangsa. Apakah akan melahirkan generasi yang sekadar cerdas secara intelektual, atau juga berintegritas, berakhlak, dan memiliki kepedulian sosial?

Untuk itu, sistem pendidikan kita harus dibangun di atas fondasi yang tak hanya mengejar aspek kognitif, tetapi juga menekankan pengembangan moral, spiritual, dan emosional. Ada lima hal mendasar yang perlu diperkuat.

Pertama, pendidikan karakter harus terintegrasi secara menyeluruh ke dalam kurikulum dan aktivitas sekolah. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, empati, dan kedisiplinan tidak cukup hanya diajarkan lewat teori. Ia harus dilatih, dibiasakan, dan diteladankan setiap hari.

Kedua, guru dan lingkungan sekolah harus menjadi sumber keteladanan moral. Anak-anak belajar lebih banyak dari perilaku orang dewasa di sekitarnya ketimbang dari buku teks. Sekolah harus menjadi ruang yang aman, adil, dan menyenangkan sebagaintempat membentuk watak, bukan sekadar mengasah otak.

Ketiga, dalam konteks masyarakat yang mayoritas Muslim, pendidikan berbasis Islam harus menjadi ruh dari kurikulum, bukan sekadar tambahan mata pelajaran. Pembentukan kepribadian yang berpikir dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai Islam (syakhsiyah Islamiyah) harus menjadi arah utama pendidikan. Dari sinilah lahir generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas dan berjiwa sosial tinggi.

Keempat, peran keluarga dan masyarakat harus diperkuat. Tak adil jika seluruh beban pembentukan karakter ditumpukan hanya pada guru dan sekolah. Sinergi kolektif antara rumah, sekolah, dan komunitas mutlak dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai luhur secara konsisten.

Kelima, sistem penilaian pendidikan harus menggunakan pendekatan yang lebih holistik (menyeluruh). Karakter tidak tumbuh dalam bentuk angka. Dibutuhkan instrumen evaluasi yang mampu menangkap perubahan sikap, kebiasaan baik, dan kematangan emosi secara kualitatif, bukan sekadar mengandalkan nilai akademik.

Dalam kerangka pemikiran ini, kita perlu menyikapi kritik terhadap Sekolah Belangi di Kabupaten Bener Meriah dengan lebih bijak. Menilai keberhasilan sebuah program pendidikan karakter dengan tolok ukur instan dan konvensional tentu tidak adil. Apalagi jika tujuannya adalah membentuk akhlak dan kepribadian Islam, yang buahnya baru akan tampak dalam jangka panjang.

Pendekatan Sekolah Belangi memang berbeda. Ia menanam nilai-nilai kehidupan yang tumbuh perlahan namun mengakar kuat. Maka, wajar jika keberhasilannya tak bisa diukur hanya lewat nilai rapor. Apakah kejujuran, tanggung jawab, atau kepedulian bisa diukur dengan angka? Tentu tidak.

Karena itu, bukan programnya yang gagal, tetapi mungkin cara kita menilainya yang belum tepat. Justru program seperti ini harus diperkuat, dikawal bersama, dan disempurnakan. Bukan justru digugurkan hanya karena belum menampilkan hasil yang kasat mata.

Saatnya semua pihak; sekolah, pemerintah, tokoh masyarakat, dan orang tua bersatu membangun sistem pendidikan yang benar-benar membentuk manusia seutuhnya. Karena pada akhirnya, pendidikan sejati bukan soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling benar dalam berpikir dan bertindak.

 

* Penulis merupakan pemerhati Pendidikan di Aceh Tengah dan Bener Meriah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.