Tinjauan Hukum Tata Negara dan Kritik Terhadap Penunjukan Komisaris PT. PEMA

Doc. Agus Muliara. Pribadi

Oleh: Agus Muliara*

Sebagai fungsionaris organisasi kemahasiswaan yang menjunjung supremasi hukum dan transparansi, saya Agus Muliara menilai bahwa kasus pengangkatan Firdaus Noezula sebagai Komisaris Independen PT. PEMA menyentuh isu fundamental dalam praktik ketatanegaraan daerah, khususnya pada aspek good governance, akuntabilitas publik, dan netralitas jabatan dalam BUMD.

Kita tidak sedang membahas soal kapasitas personal Firdaus, melainkan soal legitimasi hukum dan etika jabatan publik. Sebab dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, jabatan dalam BUMD bukanlah hak prerogatif yang dapat ditetapkan sesuka hati, apalagi jika melanggar peraturan yang berlaku.

1. Potensi Pelanggaran terhadap PP No. 54 Tahun 2017

Merujuk pada Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, disebutkan secara tegas bahwa pengurus partai politik tidak diperkenankan menjadi komisaris atau direksi BUMD.

Jika penunjukan dilakukan saat yang bersangkutan masih aktif dalam kepengurusan partai, maka tindakan tersebut secara hukum dapat dikategorikan sebagai maladministrasi dan cacat prosedur.

Kritik:

Pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur sebagai pemegang saham tunggal PT. PEMA harus bertanggung jawab untuk memastikan seluruh tahapan seleksi dan penunjukan komisaris memenuhi prinsip legalitas dan integritas jabatan. Jika fakta di lapangan menunjukkan bahwa Firdaus masih berstatus pengurus partai saat penunjukan, maka keputusan gubernur bukan hanya cacat hukum, tetapi juga dapat mencederai kepercayaan publik terhadap tata kelola BUMD.

2. Ketidakterbukaan Dokumen dan Lemahnya Prinsip Akuntabilitas

Sejak awal munculnya polemik ini, tidak ada satu pun bukti otentik baik berupa surat pengunduran diri maupun berita acara penerimaan yang dipublikasikan ke publik.

Ini menimbulkan kesan bahwa terdapat benturan kepentingan dan upaya sistematis menutupi jejak administratif yang seharusnya bersifat terbuka.

Kritik:

Sebagai entitas yang dibiayai oleh dana publik dan memiliki fungsi strategis dalam pembangunan ekonomi daerah, PT. PEMA tidak boleh menjadi alat kompromi politik kekuasaan.

Pemerintah Aceh dan jajaran direksi BUMD harus menghormati hak publik atas informasi dan tidak boleh bersembunyi di balik dalih administratif internal.

3. Dugaan Manipulasi Waktu Kegiatan dan Surat Pengunduran Diri

Klaim bahwa kegiatan Bimtek dan Rakerda Demokrat Aceh selesai pada 29 April, dan surat pengunduran diri juga diajukan pada tanggal yang sama, mengindikasikan adanya sinkronisasi waktu yang mencurigakan.

Dalam konteks hukum administrasi negara, hal ini membuka ruang kecurigaan atas rekayasa administratif untuk memenuhi syarat formil pengangkatan.

Kritik:

Menurut mekanisme organisasi Partai Demokrat sebagaimana lazim dipraktikkan berdasarkan AD/ART, proses pengunduran diri kader tidak bersifat instan. Proses ini mencakup pengajuan surat tertulis, verifikasi pengurus, dan penerbitan surat keputusan pemberhentian resmi.

Dalam praktiknya, proses ini memerlukan waktu sekitar 2 hingga 4 minggu sejak surat diterima hingga keputusan dikeluarkan.

Oleh karena itu, logikanya kita berfikir klaim pengunduran diri dan penunjukan jabatan pada hari yang sama sangat janggal dan patut diduga tidak melalui prosedur resmi partai.

Ini menunjukkan lemahnya pemeriksaan yang cermat (due diligence) dari pemerintah daerah dalam memastikan independensi calon komisaris.

Bila benar ditemukan manipulasi waktu dan dokumen, maka hal ini patut diselidiki lebih lanjut melalui mekanisme pengawasan legislatif (DPRD) atau bahkan pelaporan kepada Ombudsman dan Komisi ASN.

Penulis merekomendasikan:

1. Gubernur Aceh wajib mempublikasikan surat pengunduran diri Firdaus, tanggal penerimaan, dan verifikasi resmi dari Partai Demokrat sebagai syarat akuntabilitas publik.

2. DPR Aceh harus segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menelusuri dugaan penyimpangan dalam penunjukan komisaris PT. PEMA.

3. Jika pelanggaran terbukti, pencopotan jabatan Firdaus Noezula harus menjadi opsi yang dipertimbangkan demi menjaga integritas hukum dan demokrasi di Aceh.


*Penulis merupakan Mahasiswa Pasca sarjana Universitas Bung Karno Jurusan Hukum tata negara dan Fungsionaris PB HMI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.