Asu Kolak Kemereng dan Gema Gong Kosong: Sebuah Cermin untuk Gayo

Mustawalad (Foto: Ist)

Oleh : Mustawalad*

Di sebuah perbukitan sepi di utara Linge, hiduplah seekor anjing tua dengan telinga yang luar biasa lebar—begitu lebar hingga menyerupai selimut saat ia tidur. Penduduk desa menamainya Askomer, yang dalam bahasa Gayo berarti Asu Kolak Kemereng atau anjing bertelinga lebar. Askomer bukan anjing biasa. Ia tidak menggonggong pada pencuri, tidak menggertak kucing liar, tidak menggeram ketika Babi dan rusa lewat dan bahkan tidak menggoyangkan ekornya saat disapa. Askomer hanya bangun jika satu hal terjadi: Denting palung makanan. Tak peduli petir menggelegar, rumah roboh, atau manusia berteriak—jika tidak ada denting logam yang menandakan ada daging atau “kekap” (kerak nasi) dilemparkan ke mangkuknya, ia akan tetap bergelung dalam tidurnya yang tebal dan dalam.

Fenomena ini menjadi bahan tertawaan sekaligus perenungan warga. Tapi mereka tidak sadar: mereka adalah Askomer. Mereka adalah anjing bertelinga lebar itu.

Masyarakat Gayo, yang konon dikenal dengan keteguhan dan budayanya yang kaya, kini sering terperangkap dalam diam yang menyesakkan. Ketika tanah longsor menutup jalan desa, saudara mereka dizalimi, suara yang terdengar hanya keluhan pelan. Ketika dana pembangunan menguap entah ke mana, dana desa digunakan memperkaya pihak ketiga, mereka sibuk dengan kopi dan wacana basa-basi. Ketika hutan digunduli, ketika air keruh mengalir dari mata air yang dulu jernih, ketika tambang dan getah dikuasai orang lain —tidak ada yang menggonggong. Ketika Tidak ada yang berdiri dan berkata: “Nge genap!”, ” Cukup!”

Namun, tunggu sebentar. Denting logam terdengar: bantuan sembako datang menjelang pemilu. Gong pemilihan berdentum. Tiba-tiba, semua bangun. Semua keluar dari sarang, tersenyum, menjabat tangan, bahkan berteriak lantang mendukung. Tapi bukan karena mereka peduli. Mereka, seperti Askomer, hanya terjaga oleh suara mangkuk yang terisi. Mereka hanya bergerak jika ada yang bisa ditelan.

Ini bukan sekadar kritik, ini adalah teriakan. Di tanah yang subur ini, lahir penyair, seniman, dan petani tangguh. Tetapi sekarang, potensi itu tertidur, terbungkus dalam selimut ketidakpedulian. Kearifan lokal berubah menjadi kenangan, bukan tindakan. Diskusi menjadi hiburan, bukan perlawanan. Dan seperti Askomer, kita nyaman dalam tidur, selama perut bisa diisi, selama hidup bisa dilanjutkan satu hari lagi, tanpa perlu terusik oleh pertanyaan moral.

Telinga kita lebar—mendengar banyak, tapi menyaring semuanya. Kita mendengar derita, tapi tidak merasa terpanggil. Kita tahu siapa yang menjual tanah adat, siapa yang mempermainkan proyek desa, siapa yang hidup mewah di atas penderitaan rakyat kecil, siapa yang menggerogoti tiang masjid. Tapi kita memilih tidur. Sampai kapan?

Bangunlah, sebelum yang tinggal hanya tidur abadi. Bangunlah, sebelum tanah ini tidak lagi memberi makan, dan bel tidak lagi berbunyi. Karena saat itu tiba, tidak akan ada gunanya telinga selebar apa pun.

Askomer hanyalah seekor anjing. Tapi kita adalah manusia..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.