
Oleh : Azman, S.S., M.A.*
Beberapa hari terakhir, Aceh Tengah diramaikan oleh polemik mengenai topi Kerawang Gayo yang dikenakan oleh Bupatinya.
Konon, ada seseorang yang mengatakan dalam tulisannya, bahwa topi Kerawang yang dikenakan Bupati tersebut adalah simbol yang tak Gayo, atau dianggap bukan merupakan bagian dari identitas budaya Gayo. Lebih dari itu, topi tersebut bahkan dikatakan mirip topi Mitre Keuskupan Katolik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa penutup kepala (topi) atau dalam bahasa Gayo disebut “Bulang” merupakan salah satu simbol identitas bagi tiap-tiap entitas suku bangsa yang ada di dunia.
Bulang tidak hanya berfungsi sebagai atribut pelengkap penampilan semata, lebih dari itu, ia juga bisa berfungsi sebagai simbol kebesaran dan keagungan dari suatu entitas budaya tertentu, sehingga keberadaanya sangat penting, melekat, dan bermakna bagi si penggunanya.
Memang tidak semua Bulang bisa digunakan di sembarang tempat, sembarang waktu atau oleh sembarang orang. Ada bulang-bulang tertentu yang keberadaan dan penggunaannya hanya bisa diwaktu, tempat dan oleh orang tertentu saja. Maka dari itu pemahaman akan makna, hakikat dan tujuan dari bulang yang sedang dikenakan menjadi kunci dan penting adanya.
Simbol budaya dalam bentuk “bulang”, antar entitas bisa saja memiliki bentuk yang sama, tetapi hakikat, tujuan dan makna pasti berbeda, tergantung pada konteks sosial dan budayanya.
Motif “tapak sleman” dalam Kerawang Gayo misalnya. Motif ini berbentuk hampir sama dengan “derafsh kaviani” dari Sasanid Persia. Topi “Patonro” dari Gowa memiliki bentuk yang hampir sama dengan topi “kebesaran Raja Nagan”. Topi “Deta Runcing” dari Minangkabau dan Tanjak Melayu, juga memiliki bentuk yang hampir sama dengan “Bulang Sapu Tangan” di Gayo.
Kesamaan bentuk, Bulang satu dengan yang lainnya, bukan berarti serta merta mengandung hakikat, tujuan, dan makna yang sama pula. Terlalu banyak bentuk produk budaya yang hampir sama di dunia, tetapi hakikat, makna dan tujuannya berbeda.
Kesamaan bentuk Bulang tentu lumrah terjadi diberbagai tempat dan berbagai ekspresi budaya, karena kreasi dan imajinasi manusia berkembang tak terbatas.
Hal penting yang tidak boleh terjadi adalah bahwa satu entitas dengan yang lainnya saling mengklaim sebagai pemilik otoritas historis atau hak dalam dimensi kekayaan intelektualnya.
Karena produk-produk kebudayaan semacam ini, umumnya lahir dan berkembang dari pengetahuan tradisi atau dinamika sejarah masing-masing. Produk-produk kebudayaan ini dilahirkan oleh para leluhur, lalu kemudian secara turun temurun diwariskan menjadi identitas bagi generasi penerusnya.
Kesamaan bentuk dalam produk budaya, tidak boleh serta merta disimpulkan sama makna, tujuan dan nilai yang terkandung didalamnya. Karena dalam teori kebudayaan, kita mengenal istilah script budaya.
Setiap ekspresi budaya memiliki latar dan script budayanya masing-masing. Gayo memiliki Script budayanya sendiri, keuskupan Katolik juga memiliki Script budayanya sendiri, jadi jangan cocoklogi.
Janganlah sekali-kali menggambarkan bahwa seolah-olah Gayo miskin imajinasi dan kering ide dalam hal identitas dan seni budaya, sehingga untuk membuat penutup kepala sejenis “Bulang Sapu Tangan” orang Gayo harus mencontek bentuk topi keuskupan Katolik. Cara pandang seperti ini tentu mengada-ngada.
Perlu diketahui bahwa, dalam setiap lahirnya sebuah produk budaya, disana ada sejarah dan dasar yang melatarbelakanginya, dan dalam konteks menjawab tulisan yang menganggap Bulang Kerawang Gayo, tak Gayo. Hal ini saya asumsikan orang yang menulis tersebut tidak memahami judul yang ditulisnya.
Terkait dengan Bulang yang dikenakan oleh Bupati Aceh Tengah beberapa waktu yang lalu, saya bisa sampaikan bahwa, Bulang dengan bentuk-bentuk tersebut ada dan dikenal dalam tradisi budaya Gayo dengan sebutan “Bulang Sapu Tangan”.
Bulang ini biasanya dikenakan saat acara-acara tertentu yang berkaitan dengan pelestarian dan pemanfaatan seni budaya. Dan yang mengenakan Bulang ini biasanya adalah pelaku-pelaku seni, pelaku-pelaku budaya, pegiat Budaya, seniman, budayawan, atau siapa saja yang sedang mengekspresikan seni budaya Gayo.
Sejak dahulu, Bulang Sapu Tangan sudah eksis dalam kebudayaan Gayo, meski dari sisi bentuk dan motif, masih amat sangat sederhana ketika itu, karena Gayo masih belum memiliki alat semacam mesin jahit atau bordir yang memadai, jadi masyarakat Gayo membuat produk budayanya secara manual.
Perlu diketahui, bahwa motif-motif Kerawang Gayo dituangkan dalam media kain dengan menggunakan alat-alat sejenis mesin jahit, baru ada di era 1960-an, dan masyarakat Gayo saat itu mengenal salah seorang Maestro penjahit kerawang yang mashur, yaitu Bapak Shaleh (Pak Tuo Kerawang) dari Hakim Bale Bujang, Allah yarham.
Beliaulah orang yang dikenal pertama sekali menuangkan gagasan motif-motif Kerawang Gayo kedalam media kain, dengan menggunakan alat-alat sejenis mesin jahit.
Awalnya ketika itu, Beliau membuka jasa menjahit Kerawang Gayo di depan Masjid Taqwa Hakim Bale Bujang, lalu setelahnya Beliau berpindah tempat ke dekat Kayu Kelaping yang berdekatan dengan toko miliknya Cina Asyiong, tidak jauh dari lokasi Rakan Ayu sekarang.
Setelah adanya perkembangan alat-alat mesin jahit dan bordir modern, barulah produksi dan kreasi Kerawang atau spesifiknya Bulang Kerawang Gayo semakin berkembang dan semakin tersempurnakan, baik dari sisi bentuknya dan juga dari sisi motif-motif yang dituangkan.
Tulisan ini ingin menegaskan bahwa semua produk budaya ada latar belakang dan sejarahnya masing-masing, termasuk “Bulang Sapu Tangan”. Jadi, jika Bulang yang telah sejak lama ada dalam budaya masyarakat Gayo dan senantiasa dipakai oleh para Bupati, para seniman, budayawan, tokoh-tokoh dan secara umum digunakan oleh masyarakat Gayo, dianggap secara sepihak “tak Gayo”, maka menurut saya, itu adalah bagian dari penghinaan, pengkaburan dan mengandung bias kepentingan.
Upaya menyama-nyamakan bentuk Bulang yang dikenakan oleh masyarakat Gayo dengan topi Mitre keuskupan Katolik, ini juga sangat berlebihan, karena berdasarkan analisa komisioner Majelis Adat Gayo bidang khazanah adat, Win Elma Naura menyampaikan bahwa “dari sisi bentuk, dan motifnya saja jelas-jelas sudah sangat berbeda, apalagi dari sisi makna dan hakikatnya”, terang beliau.
Si Penulis tentu menyadari dan memahami suasana batin masyarakat jika menyama-nyamakan dengan item yang sensitif ini. Berhati-hatilah, karena ini betul-betul bisa menjadi sangat sensitif.
Dan jika menyimpulkan bahwa Bulang tersebut tak Gayo, didasarkan hanya semata pada kamus seorang yang sangat kontroversial semacam Godard Arend Johannes Hazeu, maka kesimpulan tersebut tentu kurang bahan, dangkal dan bisa menyesatkan.
Jangan sekali-kali menyandarkan eksistensi budaya Gayo hanya semata dari literatur-literatur penjajah, karena pasti bias adanya. Karena penjajah ketika itu sangat berkepentingan untuk mengubur sejarah, membumihanguskan adat dan melenyapkan identitas budaya Gayo.
Upaya-upaya penguburan itu dapat kita lihat dari beberapa catatan peristiwa sejarah yang telah terjadi di Gayo dan Alas. Salah satu peristiwa yang menonjol ketika itu adalah saat pasukan penjajah dibawah komando Van Daalen masuk ke wilayah Gayo.
Catatan-catatan dan buku-buku, termasuk rumah-rumah penduduk habis-habisan dibakar, dihancurkan dan barang-barang berharga milik penduduk Gayo ketika itu dibawa oleh mereka.
Setelah membakar catatan-catatan, membumi hanguskan rumah dan membantai orang-orang, termasuk mereka yang telah tua renta, anak-anak kecil, dan perempuan-perempuan di Gayo, mereka lalu menulis cuplikan-cuplikan peristiwa tersebut dalam perspektif tunggal penjajah.
Tulisan-tulisan yang mereka buat tentu mengandung bias, karena harus mereka sesuaikan dengan kepentingan penjajahan. Dan tulisan-tulisan tersebut kemudian mereka sebarluaskan ke publik dalam bentuk koran, buletin, laporan dan buku-buku perang.
Hal ini Belanda lakukan, tentu agar membuat musuhnya tuna sejarah, tuna identitas, tuna budaya, tidak lagi mengenali adatnya sendiri, kehilangan harta dan barang berharga, terpecah belah, bodoh, dan lemah sehingga akhirnya orang Gayo dengan mudah dapat dikalahkan.
Jadi, jika ada upaya menyimpulkan secara sepihak mengenai, ini item budaya Gayo atau ini bukan item budaya Gayo, dengan semata merujuk pada literatur-literatur penjajah, dalam konteks adat dan budaya Gayo, itu sama artinya si penyimpul sedang bermain-bermain dengan bayangan kuburannya sendiri. Karena di Gayo ada amanah bijak “pesaka diri, enti sawah jema murecakke”.
Terkait dengan bulang tradisional Gayo, tulisan ini akan membaginya dalam dua kategori, yaitu pertama, Bulang yang digunakan sehari-hari, dan kedua, adalah Bulang yang digunakan dalam acara atau prosesi khusus, atau tertentu (Bulang edet).
Berikut beberapa jenis Bulang Gayo, berdasarkan studi literatur dan berdasarkan informasi dari para tokoh adat budaya Gayo, yang pernah dan masih digunakan oleh masyarakat Gayo sejak dahulu hingga sekarang, Bulang-Bulang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bulang Pengkah.
Bulang ini umum dipakai oleh pemimpin dalam berbagai tingkatannya, Bulang ini terbuat dari pilinan kain khusus yang terdiri dari beberapa warna filosofis yang menggambarkan anasir Opat ataupun Sarak Opat, yang ada dalam adat Gayo.
2. Bulang Kriel Reje.
Bulang ini biasanya dipakai oleh para Reje di Gayo, khususnya Reje Linge. Bentuk Bulang ini menyerupai mahkota Reje, bulat agak tirus ke atas. Bulang Kriel Reje ini pernah dipamerkan pada PKA 2004 yang diletakkan dalam sebuah etalase kaca yang bagus, saat itu berada di stand pameran Kabupaten Gayo Lues.
3. Bulang Kriel biasa.
Bulang ini umum dipakai oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Untuk Bulang jenis ini, bahkan Reje Sasa dari Linge pun masih pernah tampak mengenakannya di era penjajahan Belanda.
4. Bulang Sapu Tangan.
Bulang ini biasanya dipakai oleh masyarakat, khususnya pelaku-pelaku seni, dan pelaku budaya. Bulang ini juga sering dipakai oleh tokoh-tokoh adat saat bemelengkan, atau dipakai oleh Telangke Sange Kekelang rukut, atau bisa juga dipakai oleh Kerani. Dahulu bahan kain Bulang Sapu Tangan ini dibuat secara khusus oleh masyarakat, sehingga dapat berbentuk keras dan ujungnya lancip keatas. Dan Bulang ini telah sejak dahulu digunakan oleh masyarakat Gayo.
5. Bulang Siring
Bulang Siring adalah penutup kepala yang dipakai oleh pelaku seni, khususnya bagi peniup Bebelen. Bentuk ikatan dari Bulang Siring ini berbeda dengan bentuk ikatan dari penutup-penutup kepala dalam kesenian lainnya. Perlengkapan pakaian dari peniup bebelen ini sama seperti pakaian harian biasa yaitu baju putih tangan panjang dan kain sarung.
6. Bulang Cekarom
Bulang Cekarom merupakan penutup kepala yang terbuat dari kain yang telah disulam/dikasap sedemikian rupa dengan menonjolkan motif-motif yang khas Gayo. Kain ini berbentuk empat persegi dan setelah dibentuk sedemikian rupa ia akan menjadi penutup kepala secara penuh. Cekarom ini khusus dipakai bagi peniup Bensi. Jadi secara
tradisional seorang peniup Bensi harus melengkapkan pakainnya dengan Cekarom. Untuk pakaian lain yang biasa dikenakan sebagai bagian dari pakaian seseorang tersebut adalah baju hitam bersulam, celana panjang dan kain sarung.
8. Jembolang.
Jembolang ini umumnya dipakai oleh para cerdik pandai, atau bisa juga dipakai oleh para tokoh adat, namun Bulang ini juga bisa dipakai oleh masyarakat umum. Pemakaiannya yaitu dengan cara melilitkan kain bahannya itu pada kepala, sehingga semua bagian atas kepala dapat tertutupi.
Masih ada banyak potensi Bulang Gayo yang terdapat di masyarakat, meskipun potensi tersebut belum tergali dan termanfaatkan dengan baik. Ada Bulang Cekala, Terbus, Besomol, Cekarom, Bedang, Teleng, dan lain-lainnya.
Dari banyak jenis Bulang diatas, terdapat dua bulang edet yang umum di Gayo yaitu Bulang Pengkah dan Bulang Kriel Reje, kedua Bulang ini tidak akan dipakai untuk sehari-hari. Keduanya hanya dipakai pada acara atau momen dan acara tertentu saja.
Warna ilang, kuning, putih, ijo dalam Bulang Pengkah atau Bulang Kriel Reje yang disematkan kepada seseorang pemimpin dalam berbagai tingkatan dan dimensinya mengandung makna filosofis yang sangat dalam, yaitu sebuah prinsip “syari’et berules, hakiket besebu”.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas terkait dengan Bulang Sapu Tangan, sama halnya seperti Jembolang. Bulang Sapu Tangan awalnya juga tidak berbentuk dan bermotif sempurna seperti yang berkembang sekarang. Baru setelah teknologi mesin semakin maju dan berkembang, maka jadilah Jembolang dengan bentuk dan motif yang baik seperti yang ada sekarang.
Jadi, Bulang Kerawang Gayo yang dipakai oleh Bupati Aceh Tengah beberapa waktu yang lalu, itu adalah Bulang asli Gayo dan dipakai di Gayo sejak dahulu. Dan dalam konteks acara-acara khusus yang dimaksudkan untuk pelestarian dan pemanfaatan budaya Gayo, maka seorang pemimpin Gayo sah untuk menggunakannya.
Penyimpulan sepihak yang mengatakan bahwa Bulang yang dipakai para Bupati dan masyarakat Gayo selama ini, dianggap tak Gayo adalah kesimpulan yang mengada-ngada, menghina, dan sangat bias kepentingan. Jangan karena belum mengetahui sesuatu, lalu menyimpulkan sesuatu itu tidak ada, hal itu tentu tidak bijaksana.
Wallahu a’lamu bissawab.
*Penulis adalah Penggiat Budaya dan Sejarah Gayo