
Oleh : Suyanto*
Mutasi terhadap ratusan pejabat eselon III dan IV yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bener Meriah pada 26 Mei 2025 lalu menyisakan banyak tanda tanya, sekaligus membuka ruang tafsir atas dinamika politik serta arah tata kelola pemerintahan ke depan.
Sorotan paling tajam tertuju pada pidato Bupati Bener Meriah, Tagore Abubakar, yang dalam sambutannya melontarkan pernyataan penuh makna.
“Mutasi ini bertujuan untuk kemajuan daerah. Dan perlu diketahui, kondisi Bener Meriah hari ini tidak baik-baik saja diakibatkan pemimpin sebelumnya,” kata Tagore, sebagaimana dikutip dari salah satu media.
Pernyataan ini jelas tidak dapat dianggap sekadar basa-basi seremoni. Ia mengandung pesan kuat yang merefleksikan kekecewaan mendalam terhadap warisan pemerintahan terdahulu.
Jika dicermati, ungkapan “tidak baik-baik saja” adalah kritik terselubung yang menandakan bahwa Tagore menerima tongkat estafet kepemimpinan dalam kondisi yang jauh dari ideal.
Setidaknya ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa pernyataan ini muncul. Pertama, kekacauan dalam pengelolaan keuangan daerah yang kini mengalami defisit serius.
Kedua, buruknya penempatan pejabat sebelumnya yang tampaknya lebih mengedepankan kedekatan personal ketimbang kompetensi.
Keduanya menjadi alasan kuat, namun menurut analisa penulis, alasan pertama sedikit lebih dominan sebagai sebab Tagore mengucap itu dalam sambutannya di Aula Setdakab Bener Meriah, karena secara fakta Bener Meriah sedang mengalami kondisi defisit anggaran yang mengkhawatirkan.
Dalam konteks ini, pernyataan Tagore bisa dibaca sebagai bentuk kegelisahan terhadap warisan kebijakan yang menyulitkan langkah awal pemerintahannya.
Pernyataan “diakibatkan pemimpin sebelumnya” juga layak disorot. Meski tak menyebut nama secara eksplisit, arah kritik ini sangat mudah ditebak.
Jika ditelusuri secara kronologis, nama Haili Yoga muncul sebagai sosok yang paling mungkin dimaksud, sebab meski hanya sebagai Penjabat (Pj) Bupati namun ia menjabat dengan waktu yang cukup lama sehingga memungkin kan ia dapat berbuat banyak untuk Kabupaten Bener Meriah.
Meskipun setelahnya di pimpin oleh Mohd Tanwier namun jabatannya terlalu singkat untuk meninggalkan dampak yang signifikan. Maka sangat wajar jika perhatian publik mengarah pada Haili Yoga yang kini justru menjabat sebagai Bupati definitif di Aceh Tengah.
Persoalannya, jejak kebijakan Haili Yoga tampaknya tidak memberikan kemudahan bagi penerusnya. Alih-alih mewariskan fondasi yang kokoh, ia justru diduga meninggalkan persoalan yang kompleks. Sehingga, dalam perspektif Tagore, warisan tersebut lebih mirip batu sandungan ketimbang pijakan awal.
Namun kini, tantangan sebenarnya ada di tangan Tagore Abubakar. Apakah ia akan terjebak dalam narasi menyalahkan masa lalu, atau mampu tampil sebagai pemimpin transformatif yang membersihkan birokrasi dari sisa-sisa sebelumnya?
Pertanyaan ini menjadi sangat relevan, karena mutasi bukan sekadar pergantian kursi, melainkan instrumen penting menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Tanpa prinsip meritokrasi, mutasi hanya akan melanjutkan siklus kegagalan yang sama. Reformasi birokrasi membutuhkan ketegasan, tetapi juga keadilan dan keberanian untuk membongkar sistem yang tidak sehat tanpa tersandera oleh kepentingan politik sesaat.
Sebagai penutup, harapan kita tentu agar analisa ini keliru. Bahwa kondisi “tidak baik-baik saja” yang disampaikan Tagore semata-mata merupakan penegasan atas semangat perubahan, bukan pembenaran atas kegagalan yang akan datang.
Kita juga berharap, Bener Meriah dapat benar-benar dibenahi, dan warisan buruk jika memang ada tidak menjalar ke Aceh Tengah, tempat Haili Yoga kini membuka lembaran baru kepemimpinannya.
Yang paling penting, sebagai Bupati yang baru semoga Tagore tidak berhenti pada retorika dan kritik, tetapi benar-benar mengeksekusi langkah-langkah pembaruan. Karena pada akhirnya, yang paling dirugikan oleh kegagalan kepemimpinan bukanlah pejabat, melainkan Rakyat itu sendiri.
* Penulis adalah Ketua HMI Cabang Takengon Priode 2019-2020.
* Mahasiswa Pascasarjana di Jakarta.