Oleh : Sofyan Griantara*
Sudah menjadi budaya perusahaan kami (coorporate culture) setiap pagi menyelenggarakan morning briefing sekitar 10 hingga 15 menit, sebagai menu mengawali aktivitas kantor di hari-hari kerja. Acara ini sering diisi dengan berbagai agenda, antara lain sharing informasi tentang kendala-kendala yang dihadapi dihari sebelumnya atau membahas tentang rencana dan schedule kerja hari ini. Dalam forum tersebut setiap orang berhak dan digugah untuk berbicara tentang berbagai persoalan yang dihadapi di unit kerjanya serta berbagi pendapat tentang solusi yang paling baik untuk ditempuh agar penggunaan sumber daya yang ada menjadi lebih efesien dengan formula kerja yang semakin efektif sehingga waktu yang tersedia dapat termanfaatkan lebih optimal. Kesemuanya itu tentu berorientasi pada pencapaian target yang telah ditetapkan dalam rentang waktu yang telah disepakati bersama.
Salah satu agenda morning briefing yang tidak kalah menariknya adalah motivation speaking, dimana salah seorang diantara peserta menuturkan kisah-kisah atau ajaran yang bersifat meningkatkan gairah dan motivasi kerja serta pengembangan kepribadian diri. Sementara salah seorang lainnya akan bertindak sebagai reviewer yang akan menganalisis dan mengomentari kisah dan materi yang disampaikan oleh sang penutur. Biasanya yang bertindak sebagai reviewer adalah peserta yang dianggap lebih senior dan mumpuni.
Suatu hari seorang peserta bercerita tentang kisah Kuda Putih, dimana penulis berkebetulan diserahi tugas sebagai reviewer. Sebuah kisah yang menurut analisis dan renungan saya memiliki makna yang mendalam dan multi tapsir serta dapat diterjemahkan menjadi berbagai versi, tergantung pada profesi apa yang sedang kita tekuni dan norma-norma serta kaedah prisipil apa yang kita anut sebagai tatanan nilai yang tertinggi.
Alkisah di sebuah negeri di jaman dahulu kala tinggalah seorang Petani dengan istri dan seorang anak lelakinya di sebuah desa sejauh sehari perjananan berkuda dari istana tempat seorang raja bijaksana berdomisili. Mereka memiliki seekor Kuda Putih jantan yang elok dan gagah perkasa serta menarik bagi setiap orang yang melihatnya. Sang Petani sangat menyayangi kuda putihnya, setiap hari diberi makan, dimandikan dan dibersihkan bulu-bulunya. Bila siang hari kudanya di hantarkan ke padang hijau untuk memperoleh rumput segar dan bila malam ia kandangkan dalam istal yang bersih dan nyaman. Tidak berlebihan bila ia sedikit memanjakannya, karena baginya kuda putih itu adalah sebuah peliharaan yang tidak ternilai harganya. Dengan tetap memilikinya membuat hidupnya bergairah dan termotivasi setiap hari.
Begitu indah dan moleknya kuda putih tersebut, tidak heran bila segera masyhur di desa tempat tinggalnya. Banyak orang yang menawar untuk membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga kuda biasa tapi sang Petani tidak bersedia menjualnya. Tak ayal populeritas kegagahan kuda putih ini sampai pula ketelinga Sang Raja, sehingga ia merasa perlu meluangkan beberapa hari perjalanan untuk melihat langsung dan membawa beberapa pundi emas sebab ia pun bermaksud untuk membelinya. Namun tak dinyana ternyata sang Petani menghaturkan sembah sujud kemulian kepada Raja dan dengan sopan memberikan ketegasan tidak akan menjual kuda putihnya walau dihargai dengan beberapa pundi emas sang Raja yang ia hormati itu.
Orang-orang yang tadinya menaruh simpati pada si Petani mulai mencibir dan mencemoohkannya. Sungguh bodoh si Petani itu padahal harga yang ditawarkan sungguh menggiurkan tapi ia tetap mempertahankan kuda putihnya, yang dinilai tidak akan memberikan keuntungan material apa- apa bila hanya sekedar dipelihara dan dikoleksi saja.
Suatu hari Kuda Putih lepas dari pengawasan Petani, ia menghilang sehingga membuat hati Petani sekeluarga menjadi pilu tak terkira. Kejadian ini menjadi pembenaran bagi orang sekampung akan kebodohan si Petani, coba kalau tadinya ia jual kepada raja pasti dia sudah kaya. Sekarang baru tau rasa dia tidak mendapatkan apa apa lagi, begitu komentar salah seorang diantara mereka.
Tiba-tiba dua minggu kemudian si Kuda Putih kembali kepekarangan Petani dan membawa sepuluh ekor kuda liar dari padang havana pengembaraannya. Orang-orang pun menjadi terkesima kembali, wah beruntung sekali si Petani itu ternyata kuda putihnya membawa rejeki baginya, sekarang dia sudah memiliki sebelas ekor kuda karena si kuda putih berhasil mengajak kuda liar ikut bersamanya. Namun pujian itu kembali menjadi cercaan ketika beberapa bulan kemudian orang-orang kampung mendengar anak si Petani menderita patah tangan dan kaki gara-gara terjatuh ketika belajar menunggangi kuda putihnya. Apa kubilang kuda itu memang selalu membawa sial, berharap membawa untung tapi sekarang malah mendapat buntung ucap tetangga si petani yang dari dulu memang telah menyimpan iri.
Beberapa waktu kemudian, karena di salah satu bagian negeri sedang dilanda pemberontakan, maka Raja memerintahkan Panglima Tentara merekrut anak-anak muda yang berbadan sehat untuk ikut wajib militer. Hampir semua orang di desa si Petani bersedih karena anak-anak lelaki mereka dipaksa untuk ikut sebagai anggota laskar kerajaan dan dikirim ke medan perang. Kepada si Petani merekapun berkata, alangkah beruntungnya engkau, karena anakmu menderita patah tangan dan kaki ia menjadi selamat dari pemaksaan wajib militer, sungguh kuda putih mu itu membawa keberuntungan bagimu.
Bila kita renungkan kisah di atas, sosok Kuda Putih dapat dimaknai sebagai sebuah Idealisme yang sangat prinsipil, berupa norma-norma atau kaedah yang diyakini sebagai tatanan nilai yang tertinggi bagi diri pribadi. Sebuah idealisme yang tidak tergantikan oleh uang dan material sejumlah apapun, yang kalau tidak kita miliki, maka eksistensi kita dalam kehidupan ini menjadi tak bernilai apa-apa.
Pada dasarnya setiap kita memiliki kuda putih yang wajib dipelihara dan dipertahankan walaupun sudah ditawar untuk diperjualbelikan dengan harga yang tinggi. Sebab kuda putih ini akan menjadi penyelamat ketika kita terperosok kedalam situasi dan posisi yang sulit, dan membawa keberuntungan dalam kehidupan keseharian. Dengan memiliki kuda putih nama baik akan selalu terpelihara, kita jadi termotipasi dan memiliki tujuan utama untuk diperjuangkan dalam hidup ini.
Perwujudan Kuda Putih boleh jadi sedikit berbeda nama dan bentuknya tergantung pada profesi apa yang sedang kita tekuni. Bagi seorang Guru, kuda putih yang selalu ia pelihara barangkali berwujud idealisme untuk membuat murid-muridnya menjadi terdididik dan bukan sekedar terpelajar. Bagi seorang Tentara barang kali kuda putihnya berwujud kesetiaan pengabdian pada negara dan bersedia mati dalam membela kedaulatan. Bagi seorang PNS barang kali kuda putihnya adalah keikhlasan dalam memberikan pelayanan kepada rakyat. Dan bagi seorang pejabat kuda putih yang harus dimiliki adalah kejujuran dan nurani keberpihakan pada keadilan yang tidak mudah terjual dengan praktek- praktek KKN.
Kuda Putih bagi seorang Bangkir adalah sosok yang amanah dan terpecaya dalam menyimpan dana nasabah dan selalu menepati janji serta ucapan sesuai dengan kesepakatan, sebagaimana slogannya “ My Wort is My Bond” (Ucapanku adalah Garansiku). Karakter yang baik, moralitas dan integritas yang tinggi menjadi salah satu persyaratan utama untuk menjadi seorang Bankir
Bila kita gali kembali nilai-nilai luhur dari Datu Muyang, bagi urang gayo kuda putih adalah sifat “Mukemel” (bukan pekemel/minder). Urang gayo harus mampu memelihara sifat Mukemel ini sampai akhir hayat, artinya kemel ike berbuet kotek, kemel ike kite kurang pane, kemel ike kite gere semiang, kemel ike kite gere mumetehi edet, kemel ike kite gere mu integritas sebagai urang gayo, kemel ike sara saat ternyata negeri gayo dipimpin oleh orang non gayo, kemel ike kite gere sangup mupertehenni Nahma ni Gayo.
*Penulis Putra Asir-Asir, bermukim di Banda Aceh
Oh ini aslinya cerita dalam kisah-kisah TAO dari Cina. Dan seperti kisah-kisah TAO lainnya, kisah ini memang sangat inspiratif.