Disadari atau tidak, banyak penyebutan dan penulisan Bahasa Gayo yang berubah. Pengalihbahasaan nama kampung, dan nama-nama jalan di Takengon (ada yang menyebutnya Takengen). Peteri Bensu misalnya, kini dialihbahasakan menjadi Puteri Bensu. Begitu juga halnya Singah Mata, sekarang jadi Singgah Mata. Atu Lintang menjadi Batu Lintang.
Selanjutnya sebutan Tebes Lues, berubah menjadi Tebas Luas, Lukup Penalam Peteri Ijo menjadi Dermaga. Sebutan Atu Lintang kini jadi Batu Lintang. lain lagi dengan penyebutan Takengon atau Takengen, Blang atau Belang dan lain sebagainya. Untung saja Jamur Laya tidak bisa dirubah sebutannya menjadi Gubuk Syetan, atau Bebuli menjadi Botol-Botol, One-one berubah menjadi Pasir-pasir dan seterusnya.
Kondisi ini dikeluhkan sejumlah tokoh Gayo baik yang berdomisili di Takengon maupun yang telah menetap di sejumlah daerah lainnya. Misalnya Drs. Ibnu Hajar Lut Tawar, budayawan Gayo yang juga mantan Sekdakab Aceh Tengah, kepada Lintas Gayo pernah mengeluhkan perubahan penyebutan nama berbahasa Gayo tersebut.
“Banyak sebutan berbahasa Gayo sudah berubah dan banyak diantaranya malah hilang tak pernah kedengaran lagi,” kata Ibnu Hajar sambil mencontohkan nama Ujung Baro sudah berganti nama Renggali karena di sana berdiri hotel berbintang dengan nama Renggali.
Ibnu Hajar dalam sebuah seminar 2009 silam di Takengon juga mengeluhkan adanya budaya gengsi untuk berbahasa Gayo sehingga banyak terjadi pergeseran dan penghilangan nama-nama tempat. “Dalam radius kurang dari 1 kilometer sudah puluhan nama tempat yang kini sudah hilang di Gayo,”ungkap Ibnu Hajar yang mengaku sedang menulis buku bertajuk “Saya Generasi Gayo yang berdosa”.
Senada dengan Ibnu Hajar, tokoh adat lainnya, Mustafa AK yang berdomisili di Kebayakan juga pernah mengakui banyaknya nama tempat yang hilang di Gayo. Di seputar danau Lut Tawar saja sudah puluhan nama tempat yang tidak lagi populer saat ini. “Dalam pendataan saya bersama M Jihad dari Bintang serta dengan bantuan rekan-rekan, ada 127 nama tempat. Akan tetapi hanya beberapa saja yang masih dikenal sekarang,” ungkap Mustafa.
Dicontohkan Mustafa, nama tempat wisata Pante Menye Kecamatan Bintang yang kini sangat populer dulunya bernama Pasir Lintang dan merupakan tempat pertama dilaksanakannya pacuan kuda tradisional Gayo yang dikenal sekarang.
Selanjutnya pernyataan Yusradi Usman al-Gayoni, pemerhati budaya Gayo yang tergolong muda, Senin (26/9/2011) mengaku miris dengan kondisi perubahan-perubahan nama tersebut. ”Kalau dirinci, banyak sekali kesalahan penulisan, dan pengalihbahasaan lainnya. Hal ini merupakan kekurangperhatian, dan kelalaian Pemkab Aceh Tengah,” ujar al-Gayoni.
Ini persoalan identitas, tegas al-Gayoni yang juga menjabat Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Gayo-Sumatera Utara. “Melalui bunyi, bentukan kata, frasa, kalimat dan aspek lain dari bahasa ini, orang bisa tahu, bahwa yang bersangkutan orang Gayo. Meski masyarakat Gayo terbuka, toleran, dan akomodatif terhadap perubahan,” ujar al-Gayoni lebih lanjut.
Ditambahkan al-Gayoni, Pemkab punya kebijakan pembangunan, bukan berarti arah pembangunan yang ada dapat menanggalkan dan membelakangi kearifan lokal yang dimiliki orang Gayo. Malah sebaliknya, pemkab Aceh Tengah harus menguatkan kearifan lokal yang ada dalam setiap kebijakannya.
Dengan demikian, timpal al-Gayoni dalam memarwahkan dan memartabatkan daerah ini tetap berciri dengan berlandaskan, menguatkan, dan memertahankan kearifan-kearifan lokal (budaya tempatan). “Kita lihat bangsa yang besar dan maju seperti Amerika, Perancis, Jerman, Jepang, Cina, dan lain-lain bangga dengan identitas mereka sendiri, orang Gayo malah sebaliknya,” kata al-Gayoni kesal .
Kalau ini dibiarkan, lantas apa bedanya orang Gayo dengan suku lainnya. Orang Gayo punya penulisan tersendiri, tidak perlu mengikut ke bahasa lain, atau dialihbahasakan, ucap al-Gayoni. Lebih jauh, al-Gayoni melihat, orang Gayo saat ini mengalami syndrome ‘inferiority complex’, yaitu malu akan identitas mereka sendiri.
Buktinya, penutur bahasa ini lebih berbahasa Melayu (Indonesia), tidak lagi ‘betutur’ (sistem kekerabatan atau bentuk sapaan), ‘mukemel’ (berbudaya malu), pola pikir, bersikap, karakter, pola tindak lainnya semakin jauh dari tuntunan budaya lokal, termasuk terjadinya kesalahan penulisan, dan pengalihbahasaan tadi.
“Pemkab Aceh Tengah segera mendaftar dan memperbaiki kesalahan dan pengalihbahasan nama-nama jalan, kampung-kampung ke dalam bahasa Gayo,” pintanya serius. (Khalisuddin)