Oleh Johansyah*
Masihkah kita sadar bahwa permasalahan pendidikan saat ini bukanlah pada pengembangan kecerdasan intelektual, melainkan pada aspek kecerdasan spiritual yang berkaitan erat dengan kecerdasan dan kedewasaan batin sebagai substansi kemanusiaan itu sendiri. Kejahatan dengan beragam bentuknya, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin menggurita, kekebalan hukum bagi si kaya dan penguasa, kesenjangan ekonomi di negeri ini menjadi bukti valid bagi kita untuk mengklaim bahwa permasalahan bangsa ini adalah pada robohnya moral. Nilai-nilai budaya dan agama hanya dijadikan slogan atau ocehan di saat kampanye maupun promosi diri.
Sekiranya kita menoleh sistem pendidikan, banyak yang mempertanyakan apa yang keliru dan salah dengan sistem pendidikan kita, mengapa Indonesia yang dikenal dengan budaya santun dan baik ternyata banyak menyimpan masalah-masalah kejahatan sosial, mengapa pula Indonsia dengan mayoritas penduduknya Islam menjadi juara dalam bidang korupsi, padahal Islam sangat mengecamnya.
Banyak juga yang berasumsi bahwa pendidikan di Indonesia selama ini (terutama pendidikan formal) lebih pada upaya pengayaan pengetahuan (kognetif) dengan berbagai cara dan metode sekalipun dalam idang studi pendidikan agama atau akhlak. Sementara di sisi lain melupakan pembinaan sikap, moral dan perilaku, atau dengan menggunakan bahasa Binjamin S. Bloom yakni ranah afektif pendidikan. Ranah ini jarang disentuh dan menjadi target pembelajaran di lembaga pendidikan kita, sehingga muncul program pendidikan karakter.
Terlepas dari berbagai analisis dan asumsi-asumsi yang dibangun terkait dengan permasalahan negeri ini, terutama jika dikorelasikan dengan pendidikan maka penulis melihat ada satu akar permasalah yang serius dalam hal ini yakni pendidikan informal (keluarga). Artinya setiap permasalahan pendidikan yang terjadi di sekitar kita selalu menyorot dan terkesan menyalahkan pendidikan formal. Padahal antara pendidikan formal dan informal merupakan entitas edukatif yang memiliki jalin kelindan yang sangat erat.
Hemat penulis, pendidikan afektif di sekolah akan gagal total (Gatot) jika tidak ditopang penuh oleh pendidikan keluarga. Sebab harus diakui transformasi afektif yang sangat efektif adalah keluarga, di mana orang tua menunjukkan perilaku-perilaku yang patut dan layak menurut neraca cultur dan agama. Selain itu membiasakan anak untuk jujur, adil, penyantun, dan sifat-sifat baik lainnya dapat diatur sedemikian rupa dalam keluarga.
Di era ‘jahiliyah’ ini sebagaimana dipahami bersama, para ibu rumah tangga sudah banyak beraktifitas di luar rumah, baik sebagai pegawai negeri, karyawan atau pengusaha. Para ibu banyak yang mengemukakan alasan ketika ditanya; adakah mengontrol kegiatan anaknya setelah selesai sekolah maka alasannya tidak sempat karena sibuk bekerja, pergi pagi pulang petang dan malam kelelahan sehingga permasalahan sang buah hati jarang dihiraukan. Demikian juga bapak, banyak di antara mereka yang bernafsu mengumpulkan materi namun lupa meluangkan waktu untuk mengetahui dan memahami keluhan anak mereka.
Akibatnya, anak menauladani dan meniru apa yang ditemukan di luar keluarganya; gaya bicara, sikap, perilaku dan sebaginya. Lebih parah lagi ketika dia menyimpulkan apapun bisa dilakukan karena tidak pernah mendapat lampu kuning dari orang tua. Akhirnya anak tidak punya garis pemisah yang jelas tentang sesuatu yang bertentangan dengan budaya maupun agama, mana yang boleh mana yang tidak.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU sisdiknas) telah mengakui secara jelas keberadaan pendidikan informal (pasal 1 ayat [13]), sayangnya pemerintah tidak mengurusinya sebagaimana pendidikan formal. Seharusnya ada sebuah konsep pendidikan informal yang jelas terkait dengan hak dan kewajiban orang tua sebagai pendidik dalam rumah tangga. Artinya, jika pemerintah mengakui keberadaan pendidikan informal, sejatinya sistem dan mekanismenya haruslah jelas. Jika tidak, maka untuk apa diakui dalam undang-undang. Padahal sesuatu yang diundangkan pasti dianggap penting dan berposisi sebagai payung hukum. Yang kita tau orang tua bebas berapa jam pun di luar rumah karena memang tidak ada batasan, terutama bagi istri sebagai pegasuh anak.
Penulis berkeyakinan, bahwa permasalahan di pendidikan formal; tauran pelajar, bolos, gaya jadi-jadian, serta perilaku tidak layak lainnya lebih disebabkan oleh rendahnya atensi orang tua dalam mengarahkan dan membimbing anak-anak mereka. Lihatlah anak-anak yang bermasalah di sekitar kita, secara umum banyak disebabkan oleh kurangnya perhatian orang tua, atau orang tuanya cerai dan umumnya dilatarbelakangi oleh permasalahan rumah tangga.
Pembatasan Jam Kerja Perempuan
Salah satu solusi yang penulis tawarkan adalah pembatasan jam kerja kaum perempuan, baik di kantor, perusahaan dan instansi-instansi lainnya. Artinya kaum perempuan harus memiliki waktu lebih banyak di rumah selepas bekerja. Salah satu keberhasilan pendidikan di Iran ternyata adalah perhatian yang lebih para ibu terhadap pendidikan anaknya terutama pada usia kanak-kanak.
Hal ini tentunya tidaklah mudah, bahwa untuk merealisasikan gagasan ini kita akan berhadapan dengan pemerintah sebaik produser kebijakan, perusahaan atau instansi tempat berkerja kaum perempuan. Di samping itu, barangkali kaum pria akan dituding sebagai kaum yang tidak menghargai kesetaraan gender atau persamaan serta argumen-argumen lainnya. Akan tetapi, apa yang penulis inginkan adalah bahwa jangan sampai kita selalu mencela bangsa ini yang dihadapkan pada permasalahan moral, sementara akar masalahnya tidak pernah menjadi perhatian dan dianggap sepele.
Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sepertinya harus direinterpretasi oleh semua kalangan, khususnya yang bergelut dalam dunia pendidikan. Artinya apakah persamaan itu dimaknai dengan hak dan kewajiban kerja, mencari nafkah, mendidik, sampai hak dan kewajiban melahirkan (mungkin). Dengan kata lain, kita menginginkan kejalasan interpretasi persamaan yang bersipat pemerataan ataukah adil yang proporsional.
Pendidikan informal merupakan wadah yang sangat strategis untuk membentuk karakter anak-anak bangsa ini. Bukankah mereka terlahir dari rahim ibunya, lalu haruskan sang orang tua pergi keluar rumah hanya mengusahakan sesuap nasi untuk anaknya, membelikan pakaian, membuat rumah sebagai tempat berteduh, akan tetapi mengabaikan kebutuhan batin mereka yaitu pendewasaan spiritual melalui pendidikan, ketauladanan serta pembiasaan untuk selalu berbuat baik.
Untuk itu, penguatan pendidikan informal adalah keniscayaan dalam menggoalkan pendidikan karakter yang lagi dikembangkan. Dengan demikian penatan dan penerjemahan kedudukan pendidikan informal dalam UU sisdiknas harus menjadi perhatian kita bersama dalam rangka mencari sebuah formulasi dan kebijakan baru tentang pendidikan informal guna memperbaiki kondisi kerobohan moral generasi bangsa ini.
*Penulis adalah Mahasiswa asal Gayo di Banda Aceh