Win Wan Nur*
Hari ini saya membaca sebuah link di Group Facebook Acehnet yang menyoal soal Freeport yang katanya hanya memberi 1% royalti emas.
Dalam link http://www.syabab.com/akhbar/ummah/2010–hanya-1-royalti-emas-freeport-seharusnya-pemerintah-mengusir-mereka-dan-menguasai-penuh-semua-pertambangan.html yang dipost oleh seseorang yang menempatkan diri sebagai pejuang tegaknya khilafah ini. Mengutip pernyataan Anggota Komisi VII DPR-RI Chandra Tirta Wijaya yang mengatakan sejak tahun 1996 pemerintah Indonesia hanya menerima US$ 479 juta, sedangkan Freeport menerima US$ 1,5 miliar. Kemudian, di tahun 2005, pemerintah hanya menerima US$ 1,1 miliar dan sedangkan pendapatan Freeport (sebelum pajak) sudah mencapai US$ 4,1 miliar.
Kata Chandra kemudian PT Freeport sejauh ini hanya memberikan royalti bagi pemerintah senilai 1% untuk emas, dan 1,5%-3,5% untuk tembaga. Royalti ini jelas jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan 6% untuk tembaga dan 5% untuk emas dan perak.
Pernyataan inilah yang dijadikah oleh pejuang tegaknya khilafah ini untuk mendesak pemerintah mengusir Freeport dari Indonesia.
Membaca informasi ini saya jadi bingung sendiri, bagaimana korelasi antara pemerintah Indonesia hanya menerima US$ 479 juta, sedangkan Freeport menerima US$ 1,5 miliar. dengan PT Freeport sejauh ini hanya memberikan royalti bagi pemerintah senilai 1%. Karena setahu saya, kalah saya menghitung menggunakan matematika yang saya pelajari sejak SD 1% dari 1,5 milyar sama dengan 15 juta. Saya tidak tahu matematika apa yang digunakan sehingga 1% dari 1,5 Milyar menghasilkan 479 juta.
Tapi sudahlah, biarlah chandra dan si pejuang khilafah ini berurusan dengan matematika mereka sendiri. Saya sendiri lebih tertarik soal keterbukaan informasi dari Freeport dan membandingkannya dengan perusahaan milik pemerintah.
Untuk mengetahui duduk persoalan sebenarnya, saya tertarik untuk membuka website resmi freeport untuk mendapatkan data yang sebenarnya untuk dibandingkan dengan berbagai informasi yang begitu provokatif di link ini membuat.
Asumsi saya, sebagai perusahaan publik yang sahamnya bisa dipegang oleh siapa saja yang berada di berbagai penjuru dunia, tentu freeport harus terbuka memaparkan data-data kinerja mereka, termasuk keuangan. Dan benar saja, dengan bantuan Google saya pun mendapatkan link ini http://www.sec.gov/Archives/edgar/vprr/11/9999999997-11-010067
Di situs tersebut saya mendapatkan informasi tentang kinerja freeport di Indonesia pada tahun 2008. Dan dari situs tersebut saya mendapatkan angka-angka demikian dari hasil penjualan produk freeport dari tambang mereka di Indonesia pada akhir tahun 2008 Mereka berhasil menjual Tembaga senilai 2,628 Milyar dollar, dipotong ongkos produksi dan royalti sebesar 80 juta dollar mereka mendapat keuntungan kotor sebelum pajak sebesar 1,028 milyar dollar. Kemudian untuk emas mereka berhasil menjual 1,018 Milyar Dollar, untuk itu mereka membayar royalti sebesar 31 juta Dollar, setelah dipotong biaya produksi mereka mendapat keuntungan kotor di luar pajak sebesar 369 juta dollar. Dan terakhir mereka berhasil menjual Perak senilai 49 juta dollar dan membayar royalti sebesar 3 juta dollar, lalu dipotong biaya produksi mereka mendapat keuntungan kotor di luar pajak sebesar 18 juta Dollar. Lagi-lagi saya tidak mendapatkan angka 1 % untuk royalti di sana.
Dan soal klaim anggota DPR tersebut bahwa di negara lain biasanya mendapat royalti sampai 6 kali lipat dari yang diterima Indonesia, saya juga tidak mendapatkan kebenarannya di link ini, karena di sini saya bandingkan dengan royalti yang dibayarkan Freeport untuk tambang mereka di Afrika. Untuk hasil penjualan sebesar $904 juta, mereka membayar royalti sebesar $16 juta.
Saya tidak tahu berapa idealnya bagi hasil usaha pertambangan antara pemerintah sebuah negara dengan perusahaan yang mengelola. Yang saya tahu kalau bagi hasil sawah, 1/3 bagian untuk pemilik tanah dan 2/3 bagian untuk yang mengusahakan. Itu saya tahu karena di kampung saya si Isaq, saya memiliki sawah yang dikerjakan oleh orang lain. Dalam sistem bagi hasil sawah ini saya sama sekali tidak mendapat laporan detail mengenai hasil dan biaya produksi plus pajak dan zakat dari yang mengusahakan. Saya hanya menerima hasil saja yang seringkali secara hitungan logika jauh di bawah hasil seharusnya, untuk itu yang mengelola sawah itu cukup mengatakan, padi diserang hama, kekeringan membuat hasil kurang bagus dan berbagai alasan lainnya.
Apakah ada pemilik usaha pertambangan yang pengelolaannya membutuhkan modal raksasa, teknologi serta sistem manajemen yang mumpuni dan modal awal yang luar biasa besarnya juga mau menerima proposal bagi hasil dengan porsi seperti yang didapatkan oleh orang yang mengelola sawah saya?…saya tidak tahu.
Jadi soal royalti ini saya tidak ingin berkomentar lebih jauh lagi, karena berapa idealnya royalti untuk usaha pertambangan bukanlah bidang yang saya kuasai, apakah seharusnya pemilik tanah mendapatkan hasil lebih besar dari yang mengusahakan?…Hanya Tuhan, Hisbut Tahrir dan para politisi yang tahu.
Dibanding segala permainan politik di balik angka-angka itu, saya lebih tertarik kepada keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan PT. Freeport ini. Keterbukaan mereka ini menunjukkan keprofesionalan perusahaan ini. Dengan keterbukaan itu, kita rakyat Indonesia yang merasa memiliki tanah yang diusahakan oleh Freeport bisa dengan mudah mengetahui bagaimana pengelolaan dan hasil yang kita dapatkan dari tempat itu.
Ini sangat kontras dengan sebagian besar perusahaan yang dikelola oleh pemerintah, entah itu BUMN atau BUMD yang rata-rata dijalankan dengan manajemen tertutup, hanya manajemen dan pemerintah saja yang tahu isi perut perusahaan itu.
Di sini saya menggunakan Bank Aceh sebagai pembanding.
Pada tanggal 10 Desember 2008, Pemerintah Aceh Tengah menjual tanah milik Panti Asuhan Budi Luhur beserta dengan mesjidnya kepada Bank Aceh. Tidak ada masyarakat yang tahu berapa harga tanah itu dijual, lalu bagaimana mekanismenya dan keuntungan apa yang didapatkan oleh masyarakat atas penjualan itu.
Baru setelah masalah ini heboh di Media, Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKD) Kabupaten Aceh Tengah memberikan penjelasan ke Media, kalau tanah panti asuhan itu dijual seharga 8 Milyar, dipotong berbagai biaya lain tinggal 7.484.000.000,-(tujuh milyar empat ratus delapan puluh empat juta rupiah). Yang dimaksudkan sebagai penyertaan modal pemda Aceh Tengah di Bank Aceh.
Hanya itu informasinya, apa keuntungan Pemda dari keberadaan uang tersebut, berapa royalti yang diterima oleh Pemda Aceh Tengah dengan penyertaan modal tersebut. Sama sekali tidak dipublikasikan. Secara pribadi saya hanya mendengar informasi tidak resmi dari salah seorang pegawai Pemda Aceh Tengah yang mengatakan bahwa dari hasil penjualan Panti Asuhan dan mesjidnya itu PEMDA Aceh Tengah mendapat uang riba sebesar 200 juta rupiah setahun. Benar tidaknya informasi itu tidak dapat saya pastikan, karena tidak seperti Freeport yang memuat kinerja keuangan, pengeluaran dan pemasukannya di website resminya, Bank Aceh sama sekali tidak melakukan itu.
Membandingkan transparansi keuangan kedua perusahaan ini, Bank Aceh dan Freeport, saya jadi tergelitik membaca judul link website yang dipost oleh pejuang tegaknya khilafah ini “Hanya 1% Royalti Emas Freeport, Seharusnya Pemerintah Mengusir Mereka dan Menguasai Penuh Semua Pertambangan”
Membaca itu saya jadi bertanya-tanya, apakah benar rakyat Indonesia akan mendapatkan hasil lebih besar kalau pemerintah yang menguasai penuh pertambangan?.
Mengaca pada kinerja beberapa BUMN seperti Garuda Indonesia dan Merpati contohnya, setelah dikuasai pemerintah, bukannya pertambangan ini nanti jadi kacau balau, mulai dari manajemen pengelolaan sampai laporan keuangan yang tidak transparan.
Atau seperti Bank Aceh dan Pemda Aceh Tengah yang menjual panti Asuhan dan mesjid untuk penyertaan modal, berapa hasil yang didapatkan oleh PEMDA yang merupakan pelayan rakyat. Hanya sang pelayan rakyat dan perusahaan tersebut yang tahu.
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tengah, Majelis yang berperan sebagai pemberi pertimbangan dari segi agama dan moral melalui ketuanya memang mengatakan; “Pemerintah Daerah tentu saja punya alasan yang kuat menjual aset tersebut demi kepentingan masyarakat luas” http://www.bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=534:aset-budi-luhur-bukan-wakaf&catid=1:beritawakaf&Itemid=134&lang=ar.
Tapi sejauh apa kepentingan masyarakat luas itu terakomodasi dengan penjualan Panti Asuhan beserta Mesjidnya itu?, hanya Ketua MPU dan PEMDA yang tahu, Rakyat sebagai pemilik aset itu cukup menerka-nerka saja…
Wassalam
*Urang Gayo, Pemerhati Ekonomi tinggal di Jakarta