“Hello Win, I have ticket for bus going directly From Medan to Takengon. So I will be in Takengon tomorrow early in the morning. Around 8:am. How I can get to your house from bus station?”, begitu pesan singkat kuterima dari Maja (baca : Maya).
Aku membalas sms Maja dengan mengirimkan alamat tempatku bekerja pada Maja, Kantin Batas Kota yang dilewati bus jurusan Medan-Takengon. Saat itu Tanggal 30 September 2011. Pagi Sabtu, sekitar pukul 06.00 Wib, kakak Iparku , pemilik Kantin Batas Kota, meneleponku.
“Arake jamumu male geh ?, ini ara bule I julen jema”, kata Inen Fauzul lewat telepon. Aku masih tidur saat telepon masuk. Biasanya, setelah shalat Subuh, aku tidur lagi. Bergegas aku bangun meski mata masih berat. Aku percaya yang datang adalah Maja.
Tapi kenapa Maja tidak langsung menghubungiku?. Aku teringat Maja menuliskan dalam smsnya bahwa Dia tiba sekitar pukul 08.00Wib. Padahal aku tahu Maja memperoleh info tersebut tentu saja dari awak bus yang ditumpanginya.
Maja menjaga komitmennya. Pukul 08.00Wib. Aku salut pada komitmen para bule. Apa yang diucapkan, terutama komitmen pada waktu, mereka akan sepenuh jiwa menjaga dan melindungi janji yang terucap. Berbeda dengan apa yang terjadi di Takengon, janji para wakil rakyat serta balon pemimpin seperti air bah.
Asal ucap tapi tidak komitmen menjalankannya. Apalagi komitmen atau janji itu tertulis dalam visi dan misi. Hebatnya lagi para wakil rakyat tidak pula mengawal komitmen pemimpin dengan alat ukur parameter yang terukur dan terarah.Munafik. Mengekploitasi rakyat untuk kepentingan suksesi, kekayaan kelompok dan rasis.Jauh lebih hebat dari pakar pecah belah penjajah Doktor Snouck Hurgronje.
Aku memacu kenderaan roda dua. Hehehe warisan orang tua. Selembar kain sarung kuikatkan dileher menahan dingin udara gayo kala pagi dan petang . Apalagi aku memang rentan terkena penyakit amandel. Beberapa kawan pernah mengatakan kain sarung yang kerap kupakai dan bersemayam di leher, kampungan. Tapi aku suka sebutan itu, “Kampungan”.
Sampai di Kantin, aku berjumpa dua wanita, Maja dan seorang Ibu dari Medan yang berjilbab. Maja berpostur jangkung. Kurang enam centimeter lagi, Maja sudah dua meter. Maja menyalami aku sambil tersenyum.
Menurut si Ibu yang tidak sempat kutanyakan namanya, Dia dan Maja satu bus dari Medan. Keduanya ketiduran hingga tiba di Takengon. Kantin Batas Kota kelewatan saat mereka tiba di gayo. Si Ibu yang bijak ini, kemudian mengantar Maja ke Batas Kota dari Terminal bus.
“Dua hari sekali saya berbelanja ke Takengon. Khususnya sayur. Seperti buah agur dan sejumlah sayuran khas gayo lainnya untuk dijual ke Medan”, kata Ibu ini. Selama di perjalanan, keduanya saling bercerita dengan bahasa Inggris si Ibu seadanya.
Karena Maja tidak bisa berbahasa Indonesia. Aku salut pada si Ibu yang ramah ini. Betapa tidak, meski tidak kenal dengan Maja dan aku, dia begitu peduli dan merasa bertanggungjawab pada orang asing yang datang.
Hingga mengantarkannya kealamat yang kuberikan pada Maja. Padahal si Ibu bukan orang Takengon. Selama di Bus si Ibu juga membantu Maja pindah tempat duduk. Karena dengan ukuran tubuh Maja yang begitu jangkung, kakinya terhimpit diantara tempat duduk kursi bus. Si Ibu mencarikan tempat yang sedikit renggang. Semoga si Ibu ini disayangi Allah.
Setelah bercerita, si Ibu meminta saya mengantarkannya kembali ke pasar pagi di seputaran Putri Ijo. Putri Ijo, meski jalanan umum, tapi menjadi tempat terbesar warga Takengon berjualan segala jenis sayur. Pasar pagi ini dimulai sejak sebelum waktu Subuh hingga sekitar pukul 09.00 Wib, setiap hari.
Di pasar inilah petani sayuran kumpul dari seantero Takengon bahkan Bener Meriah dan juga Pesisir Aceh, melakukan transaksi. Jika pingin melihat wajah dan keadaan warga gayo yang sesungguhnya , disinilah tempatnya.
Aku kembali lagi ke Kantin. Setelah bercerita dengan Maja, dia kubawa kerumahku. Sebelum Maja datang, aku sudah menggambarkan keadaan rumah dan keluarga pada Maja. Karena aku tidak mau Maja membayangkan rumah di Takengon sama dengan rumah di Erofa Tengah, Polandia, Kampung halaman Maja. Maja hanya menjawab “, no worries”. Jadilah Maja bagian dari keluargaku.
—–
Hari pertama di Takengon Maja ingin melihat Danau kebanggaan warga gayo, Luttawar. Danau ini merupakan ikon wilayah tengah Aceh. Beberapa kawasan sempadan danau pernah dijadikan lokasi galian C. Di Bebuli dan Toweren. Setelah diributkan LSM dan diberitakan media, barulah galian C ini berhenti beroperasi meski ijin sudah dikeluarkan dinas terkait. Aneh.
Padahal begitu banyak aturan tentang Danau untuk melindunginya. Namun, aturan tinggal diatas kertas, termasuk qanun (perda). Buktinya kini sempadan danau di bagian Barat telah dijadikan tanah timbun.
Dari Kampung Mendale hingga Boom. Areal paya penyangga bibir pantai ini dijadikan daratan oleh pemkab Aceh Tengah bernilai milyaran rupiah dari beberapa kali anggaran. Benteng terakhir komunitas burung yang hidup di danau dalam areal pohon pelu, tepatnya dibagian Timur Kampung Boom , hancur sudah. Habitat dan burungnya hilang.
Unsyiah pernah meneliti keadaan danau beberapa tahun silam, termasuk berbagai jenis burung yang hidup disana. Kini burung seperti Jongok, tak lagi mangkal dan membuat rumah disana, pindah entah kemana.
Maja memintaku mencarikan sebuah kenderaan roda dua otomatis. Maja berencana memutari kawasan danau. Aku meminjamkannya kenderaan yang diminta. Sebelum pergi,aku bertanya pada Maja, apakah dia memiliki surat ijin mengemudi.
Maja mengaku memiliki sim C Internasional. Aku percaya. Karena bagi kebanyakan masyarakat barat, kebenaran seperti kitab suci bagi mereka. Kebenaran adalah harga diri. Menurut Maja yang bekerja di biro iklan di Polandia, dia juga memiliki kenderaan otomatis yang dipakainya bekerja.
Pergilah Maja berkeliling danau. Aku mewanti-wanti Maja jika menemui kesulitan selama berwisata, untuk menghubungiku. Karena sudah kewajibanku membuatnya nyaman melakukan aktipitasnya sebagai tamu asing.
Aku meneruskan aktipitasku sebagai pelayan. Menyediakan berbagai jenis menu kopi bagi pelangganku. Mulai dari espresso, black coffee, Americano, cappuccino dan latte. Apalagi sejak adanya wifi, jumlah pelanggan, khususnya wartawan Aceh Tengah kerap mengumpul dan membuat berita di Kantin.
Para wartawan ini memang agak semrawut. Jika sedang membuat berita dan mengirim gambar untuk berbagai jenis media mereka, rokok dan kopi menjadi teman setia mereka. Asbak rokok cepat penuh berisi abu, punting dan bungkus rokok. Abu bertebaran diatas meja.
Petang, di hari Sabtu (1/10/’11) Maja tiba di Kantin. Aku bersyukur dia pulang selamat. Dia membawa semangka (Water melon) . Tampaknya dia senang dan menikmati tournya di Takengon. Maja merencanakan keliling dunia berwisata hingga bulan Maret tahun depan.
‘Everything is perfect. I’m on lake side enjoying the sun”, demikian tulis Maja dalam SMSnya sebelum tiba di Kantin karena aku menanyakan keadaannya. Maja kemudian larut dengan laptop kecilnya berwarna merah jambu.
Maja memiliki blog dan suka menulis. Maja menuliskan kisah perjalanannya dalam blognya. Melihat cara Maja mengambil objek foto, aku yakin Maja adalah seorang Fotografer juga. Terkadang Maja terlihat memelototi laptopnya yang semua menunya berbahasa Polandia.
Selain memelototi laptop, Maja juga memegang kepalanya. Aku berharap Maja benar-benar senang di Takengon dengan keindahan alamnya dan keramahan warga gayo . Karena saat masih di Bali, lewat pesan jejaring social yang kuikuti bersama Maja, komunitas mereka yang hobi berwisata, Maja menyatakan “Home Sick”.
Tapi Maja meyakinkanku bahwa, “Everything is Oke”. Maja selalu mengirim kabar kepada kedua orang tuanya di Polandia. “Jika sangat rindu pada keluarga saya bisa memakai fasilitas berkomunikasi dengan Skype”, ujar Maja.
—-
Sepanjang malam Minggu (1/10) kami bercerita. Dia juga bercengkerama dengan anak dan istriku. Maja dilahirkan di Polandia. Sebuah Negara komunis di Erofa tengah, awalnya. Kini sudah berubah jauh lebih demokratis dan sangat maju . Maja memiliki seorang kakak yang bekerja sebagai dokter hewan. Maja bekerja di sebuah biro iklan.
Untuk bisa mengellingi dunia, Maja menabung. “Sebagian uang gaji saya tabung selama kurun waktu tiga atau empat tahun”, terang Maja. Perempuan berkulit bersih memakai kaca mata dan mengkikuti trend berpakaian ini pernah kuliah di India.
“Lho kenapa harus ke India?,” kataku heran. Menurut Maja, di negaranya banyak sekolah umum hingga Universitas yang gratis. Namun terkadang mengurus berbagai administrasi begitu rumit sehingga lebih memilih ke India. Sementara sekolah pribadi juga ada tapi lebih mahal.
Maja menikmati suasana baru di India. “Hanya sekitar dua mingguan menyesuaikan diri dengan suasana baru di India”, cerita Maja. Jika dijadikan bintang iklan, aku yakin Maja akan cepat popular dan produk yang dibintangi Maja, akan laku keras.
Tapi apa jawab Maja saat hal itu kutanyakan hal itu padanya, “Saya tidak suka menjadi bintang iklan”, “tapi bukankah menjadi bintang iklan bisa mendapatkan uang ?”, kataku. “Iya, tapi memang saya tidak suka meski tawaran ada”, ucapnya.
“Apa yang kamu dapatkan dari perjalanan mengelilingi dunia?”, tanyaku kepada Maja. Aku ingin mengetahui secara mendalam tentang hobi para bule yang menghabiskan waktunya mengelilingi dunia , khususnya yang datang dan pergi ke Takengon. Bagiku itu penting agar kuperoleh apa sesungguhnya yang mereka cari.
Maja mencari ilmu dari setiap daerah dan penduduk yang dijumpainya.”Semua yang kualami menjadi catatan dan ilmu bagiku. Tentang budaya dan hidup”, paparnya. Hal baru sangat berarti bagi Maja. Umpanya kebudayaan yang berbeda. Bahkan saat berada di Bukit Tinggi, di tempat orang yang menampungnya (host) Maja coba memakai jilbab.
Yang tampak hanya bagian wajahnya saja. “Bagaimana rupaku memakai jilbab?”, Tanya Maja. Aku memperhatikan fotonya dalam laptop. “Kamu lebih cantik memakai jilbab”, ujarku. Maja tampak senang.
Di Bukit Tinggilah pertama kali Maja menyatakan belajar menggunakan tangan memakai nasi. Meski tampak masih “cakah”, atau kaku, tapi Maja tetapkan menggunakan tangannya sehingga tampak lucu.
Apalagi saat akan menyuap nasi dari tangan ke mulutnya. Tubuh jangkung harus membungkuk lebih rendah sehingga benar-benar lucu. Dikisahkan Maja, saat di Polandia sono, ibu Maja melarang dia menggunakan tangannya karena dianggap tidak bersih dan seperti pantangan.
“Jika makan menggunakan tangan, ibu langsung memukul tanganku”, kenang Maja .Maja rencananya setelah dari Takengon akan menuju Sabang, yang merupakan destinasi terbesar di Aceh untuk daerah kunjungan wisata.
Aku meminta tanggapan Maja tentang kesan yang diperolehnya setelah satu malam dua hari di Dataran Tinggi Gayo.’Amazing people and place. Really, Iam very Happy here”, kata Maja lagi meyakinkanku.
“Lantas dari mana Maja tahu tentang Takengon?’, kataku mencecarnya dengan pertanyaan. Karena dalam buku panduan wisata yang dibaca Maja, “South East Asia”, tidak tertulis Takengon menjadi daerah yang layak dikunjungi wisatawan dunia.
Meski dalam Lonely Planet, panduan wisata lainnya, Takengon tertulis dengan beberapa kalimat. “Sebelum ke Takengon, saya mencari tahu tentang daerah ini lewat internet”, sebut Maja. Maja menilai, Kantin Batas Kota layak direkomendasikan untuk dimasukkan dalam buku panduan Lonely Planet.
“Gaya dan arsitekturnya bagus dan tempatnya bersih. Style seperti ini disukai turis yang datang dari Barat”, imbuh Maja meyakinkan. Caranya, dikirim rekomendasi ke alamat Lonely Planet. “Saya akan coba juga”, janji Maja.
Sambil menunggu bis L300 yang akan membawanya ke Banda Aceh, seorang pelangganku , sempat bertanya , “apa yang kamu dapat dari menjamu bule yang datang ke Takengon. Apakah ada nilai pinansial yang kamu terima”, kata teman ini.
Aku sempat tersekat dengan pertanyaan itu. Karena bagiku dan keluargaku, menjamu mereka tidak mendapatkan apa-apa. Kecuali arti sebuah persahabatan yang universal. Tanpa pamrih.Tentang arti dan makna hidup yang kujalani bersama keluargaku. Aku dan keluargaku ingin memperlihatkan makna dari agama yang kami pahami secara langsung dan tidak berteori. Bahwa Islam itu indah, lembut dan tidak keras.
Dan semua itu harus ditunjukkan dengan bukti. Membumikan ajaran agama sehingga tidak boleh ada orang yang merasa takut dan trauma mendengar kata Islam yang acapkali berlabel negative. Karena Islam adalah Rahmat bagi alam, bagi semua ras manusia dan lingkungan.
Sambil menunggu jemputan L300, Maja menuliskan beberapa kalimat yang ditulisnya dalam sebuah kertas foto 10 inchi, berbahasa Polandia.
KAWIARNIA
WIN A WYGRYWA
→NAJLEPSZA←
KAWA NA KOŃCU
SWIATA. I TEN
DZIENNIKARSKI
SWIATEK….
BOSKO!
FROM POLAND TO TAKENGON
MAJA 2 POLSKI
02-10-2011
“Selamat jalan Maja. Semoga Gayo memberi kesan mendalam bagimu. Tentang alam dan keramahan penduduknya dan membuatmu selalu ingin kembali. Paling tidak, kata Takengon, Aceh Tengah dan Gayo, menjadi perbendaharaan baru bagimu. Semua tentang ‘Negeri Antara’ nun jauh dari Polandia. Kita tidak pernah tahu tentang pertemuan dan perpisahan. Tapi harapanku, pertemuan ini membekaskan kesan mendalam tentang arti pertemanan lintas batas yang tidak membedakan suku, ras dan agama. Aku percaya, selalu ada peran Allah dari semua peristiwa. Bukan terjadi begitu saja. Kita tidak pernah tahu maksudNya. Kecuali mengisi dan menjalankan hidup yang singkat sesuai dengan titahNya, semampu kita. Itu saja”. (Win Ruhdi Bathin)